bangsa indonesia secara fisik memang sakit, tdk perlu seorang yg ahli
utk menjelaskan ini. 
tetapi apakah ada hak bagi pihak lain laksana burung nazar mengeksekusi
bagian demi bagian sampai ajal menjemput bangsa ini.
bahkan emosi, caci maki yg keluar dari energi psikis yg tersisa inipun dianggap
suatu kebodohan. oleh orang yg mengaku anggota bangsa ini lagi.
sekali lagi penting dijadikan perhatian semua khalayak, bahwa harga diri adalah
adalah diatas segala galanya. bangun bangsa ini, perbaiki segala hal yg telah
rusak, hadapi semua lawan. jangan selalu merasa inferior. kembalikan kejayaan
indonesia.


  ----- Original Message ----- 
  From: sari 
  To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com 
  Sent: Friday, August 28, 2009 11:55 AM
  Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] pandangan lain terhadap permasalahan dengan 
malaysia


    All,
  Maaf sumbernya bukan dari KOMPAS, td pagi saya sempat baca dan bagus sekali.. 
dan ingin berbagi dengan miliser disini..

  Gbu,
  Sari
  
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/28/Opini/krn.20090828.175101.id.html
  Sikap Kanak-kanak Menghadapi Malaysia
  Farid Gaban
  WARTAWAN, KINI SEDANG MELAKUKAN PERJALANAN KELILING INDONESIA DALAM EKSPEDISI 
ZAMRUD KHATULISTIWA (www.zamrud-khatulistiwa.or.id) 

  Amarah kepada Malaysia berkaitan dengan "pencurian" khazanah seni dan budaya 
Indonesia hanya mempertontonkan sikap kanak-kanak kita sebagai bangsa. Emosi 
menggelegak atas kasus Manohara dan sengketa Ambalat, misalnya, hanya 
menegaskan sikap rendah diri kita. Dan ini bukan sekali-dua berlangsung. 
Narsisisme berlebihan dibarengi kecintaan semu belaka pada hal-hal yang 
menyangkut identitas tradisional dan lokal negeri yang beragam ini tidak akan 
menolong. 

  Kita sendiri kurang peduli kepada khazanah kekayaan alam dan budaya. 
Menjelajahi Sumatera selama dua bulan lebih, sebagai bagian dari Ekspedisi 
Zamrud Khatulistiwa, saya menyaksikan banyak pulau tak terurus, khazanah seni 
budaya tradisional punah perlahan-lahan dalam sunyi, serta sejarah yang hilang 
jejak tanpa bekas ditelan ketidakpedulian. 

  Pulau Enggano, pulau terluar di Samudra Hindia, hanya dijaga tiga serdadu 
rendahan tanpa pekerjaan jelas. Jejak Portugis, yang pertama kali menemukan 
pulau ini yang menyebutnya sebagai "pulau keliru" dalam bahasa mereka 
(enggano), tak lagi bisa ditemukan. Budaya lokal hampir punah dihantui 
kemiskinan kronis. Pertanian muram, nelayan tidak lagi menemukan ikan. 

  Saya hampir tidak bisa lagi menemukan jejak sejarah Barus, Sumatera Utara, 
kota pelabuhan tua yang namanya harum dalam catatan perjalanan pengelana 
legendaris Marcopolo dan Ibnu Battuta. Terkenal dengan kapur barusnya, dia juga 
merupakan salah satu pintu masuk agama Islam di Indonesia. Barus, atau fanzur 
dalam bahasa Arab, terabadikan dalam nama pujangga sufi terkenal Hamzah Fanzuri 
yang lahir di sini. Tapi, sekarang di dekat Lobo Tua (kota tua), Makam Mahligai 
di perbukitan, makam para bangsawan, saudagar dan ulama, hanya tersisa 
batu-batu berinskripsi Arab tak terurus. Hampir tidak ada informasi bermakna di 
kota kecamatan ini. Kota yang hilang dan tersesat. 

  Koto Tinggi, dekat Bukittinggi, seperti sebuah kota mati meski ini pernah 
menjadi ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Hanya ada tugu besar 
dan sebuah bangunan kecil tempat terpampang susunan kabinet Syafruddin 
Prawiranegara. Bangunan kecil itu terlalu sederhana dan hanya bisa menjadi 
tempat pemungutan suara dalam pemilu 2009 tempo hari. 

  Rumah Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia, di Pandan Gadang, Kabupaten 
Limapuluh Kota, lapuk dimakan rayap dan usia. Tidak ada biaya untuk renovasi. 
Sebagian ruang menjadi sarang satu-dua burung walet. Cicit Tan Malaka berharap 
penjualan sarang burung walet bisa membiayai salah satu situs sejarah ini. 

  Di Banda Aceh, saya bertemu dengan Tarmizi Ahmad, seorang pegawai negeri yang 
punya hobi mengoleksi naskah kuno atas inisiatif dan biaya sendiri. Sebagian 
koleksinya, yang berusia seabad-dua abad antara, lain buku karya Nurruddin 
Ar-Raniry, hilang waktu tsunami. Dia tak bisa ikut Pameran Kebudayaan Aceh yang 
dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Agustus lalu, karena tak bisa 
membayar stan, dan memutuskan memamerkan koleksinya di rumah pribadi. Dia 
merasa lebih dihargai oleh pemerintah Malaysia, Singapura, dan Brunei ketimbang 
pemerintah Indonesia maupun Aceh. 

  Benteng Inong Balee, benteng laskar janda yang dipimpin Panglima Malahayati 
pada abad ke-18, terbengkalai tak terurus meski menempati sebuah bukit 
menghadap teluk yang indah tak jauh dari Kota Banda Aceh. Omo Hada, rumah 
tradisional Nias di Hilinawalo Manzingo, kusam dan lusuh. Bangunan berusia 300 
tahun ini merupakan adi-karya arsitektur tradisional dari kayu dan tahan gempa. 
Penghuninya tak punya biaya untuk merawatnya. Bangunan ini masuk daftar 100 
situs kuno yang terancam punah versi World Museum Watch tahun 2000. 

  Tengku Mohammad Fuad, salah satu ahli waris Kesultanan Riau di Pulau 
Penyengat, mengeluhkan rendahnya kepedulian pemerintah kepada situs, sejarah, 
dan khazanah sastra Melayu yang pernah berjaya di sini. Penyengat merupakan 
mata air sastra dan bahasa Indonesia modern, salah satunya lewat ketekunan Raja 
Ali Haji (1808-1873). Fuad masih menyimpan koleksi pribadi surat-surat dagang 
kuno yang kini hanya dilapis plastik untuk mengurangi laju kelapukan, antara 
lain kuitansi dan surat saham kepemilikan penambangan timah di Johor, Malaysia, 
bertahun 1917. Meski makam, masjid, dan mushaf Al-Quran abad ke-19 masih 
terawat bagus, Pulau Penyengat sudah kehilangan sebagian besar jejak sebuah 
kesultanan Melayu terbesar. Ironi di tengah ambisi Malaysia untuk menjadi pusat 
peradaban Melayu dunia di alam modern. 

  Pengabaian terhadap khazanah budaya digenapi dengan ketidakpedulian kepada 
khazanah alam yang potensial menjadi daya tarik wisata lingkungan (ecotourism). 
Kepulauan Mentawai adalah salah satu paradoks. Kekayaan hayati yang hebat, 
namun kemiskinan yang menyengat. Ini pulau yang dikenal dengan banyak 
flora-fauna unik alias endemik, sering disebut sebagai Madagaskar-nya 
Indonesia, mengilhami para ilmuwan dunia mencari konfirmasi teori evolusi 
Charles Darwin. Taman nasional di Pulau Siberut, yang diproklamasikan oleh 
UNESCO sebagai cagar biosfer warisan dunia, terbengkalai. Museum dan kantornya 
rusak serta roboh tak diperbaiki setelah gempa besar 2007. 

  Resor dan jasa wisata alam, seperti selancar dan trekking, di Mentawai 
(Sumatera Barat), Nias (Sumatera Utara), dan Simeulue (Aceh), lebih banyak 
diminati oleh orang asing ketimbang investor lokal maupun pemerintah. Belasan 
anggota kru sebuah televisi Prancis sedang membuat film tentang alam dan budaya 
Siberut ketika saya sedang berkunjung ke sana, Juli lalu. 

  Dan itu semua baru sebagian kecil saja kekayaan serta keragaman khazanah 
alam, sejarah, seni dan budaya yang kita sia-siakan. Indonesia, negeri 
kepulauan terbesar di dunia, tampak bodoh dan kerdil. Dilihat dari luar, 
minimnya kepedulian, kurangnya informasi dan pengetahuan tentangnya, menjadikan 
negeri ini sama muram dan kusamnya dengan Museum Bahari di Pelabuhan Sunda 
Kelapa, Jakarta. 

  Rendahnya tingkat kepedulian dibarengi dengan miskinnya keterampilan 
mengelola informasi dan dokumentasi. Informasi, dalam bentuk museum, buku, dan 
produk multimedia, adalah tulang punggung bisnis wisata. Meski Internet sudah 
demikian maju, demikian pula saluran komunikasi dan teknologi media, kita masih 
keteteran mengurus hal ini. Dan Malaysia tahu benar kelemahan Indonesia itu. 

  Negeri-negeri kecil seperti Malaysia dan Singapura sadar persis tak memiliki 
kekayaan alam dan budaya sekaya dan seberagam Indonesia. Mereka tak perlu 
memiliki Indonesia, cukup menjadi beranda dan pintu gerbangnya. Mereka 
menjadikan Indonesia sebagai "halaman belakang", atau dapur dari bisnis wisata 
besar, sementara mereka menjadi koki dan pemilik restorannya. 

  Emosi yang meledak-ledak, perang kata yang menggelora, caci-maki 
kekanak-kanakan, tidak akan mengubah keadaan. Justru kita akan kelihatan makin 
konyol. Lebih bagus jika energi sia-sia itu diubah menjadi gairah untuk 
mengubah sikap kita dalam menghargai khazanah alam, budaya, dan sejarah sendiri 
serta kemampuan untuk mengemasnya.

  [Non-text portions of this message have been removed]



  
PT. BANK ARTHA GRAHA INTERNASIONAL TBK. DISCLAIMER:

This email and any files transmitted with it are confidential and
intended solely for the use of the individual or entity to whom they
are addressed. If you have received this email in error please notify
the system manager. This message contains confidential information
and is intended only for the individual named. If you are not the
named addressee you should not disseminate, distribute or copy this
e-mail. Please notify the sender immediately by e-mail if you have
received this e-mail by mistake and delete this e-mail from your
system. If you are not the intended recipient you are notified that
disclosing, copying, distributing or taking any action in reliance on
the contents of this information is strictly prohibited.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke