Dear all pengelola sekolah RSBI (atau SBI), Berikut ini saya kirimkan sebuah e-mail dari Bambang S. PhD, dosen di Univeristas Johor Malaysia yang baru saja mengikuti seminar tentang penggunaan bahasa Inggris di sekolah. Tolong dibaca baik-baik dan resapkan. Jangan sampai kita ikut terjerumus hanya karena tidak berani berkata tidak. Semoga kita tidak mengalami kehancuran hanya karena latah dan tidak mau belajar dari kesalahan. salam Satria
Kepada semuanya, kebetulan sore tadi saya ikut seminar tentang pengajaran sains dan matematik di sekolah-sekolah di Malaysia [disini disebut PPSMI] yang akan dihentikan pada 2012 nanti. Dari berbagai paparan dijelaskan bahwa dimunculkannya itu memang terlebih sebagai ide dari seorang saja, yaitu Mahatir, di ujung pemerintahannya dulu, tahun 2002. Ibaratnya, untuk menumbuhkan hal yang baru maka perlu membinasakan yang lama [model yang kerap dipakai beliau saat menjalankan pemerintahannya] . Para hardliner penentangnya dari awal memang sudah ramai-ramai menunjukkan berbagai dampak yang bakalan terjadi (tergerusnya identitas bahasa dan bangsa, penurunan pemahaman pelajaran sains dan matematik, menurunya prestasi pendidikan, ketidaksiapan guru dll). Tapi bukan Mahatir kalau tidak keukeuh-peteukueh (Sunda: keras kepala), yang ternyata kebijakan itu ditetapkan tanpa merubah berbagai regulasi yang berhubungan dengan politik bahasa nasional seperti mengenai bahasa pengantar di sekolah, buku teks dan ujian dll, singkatnya ini syndrome Malaysia Boleh-ness (Melayu: boleh = bisa). Dari satu hasil riset skala besar yang diterangkan (melibatkan pakar dari sembilan universitas negeri disini dan lebih dari 15 ribu siswa), PPSMI ini memang tidak menghasilkan apa yang diharapkan pendetusnya. Yang bisa survive hanya sekolah yang berada di kota besar dan sekolah berasrama di kota; jenis sekolah lainnya nyaris tanpa ampun terjadi degradasi penurunan mutu. Misalnya disebutkan jumlah siswa yang mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian nasional Malaysia (UPSR di tingkat SD dan SPM di tingkat SMA) [disini ujian nasional ada juga, tapi penyelenggaraannya sangat ketat dan tidak ada yang berani main mata seperti di kita], populasinya menurun [yang mendapat nilai A, sekitar 90% menjawab benar]; yang meningkat hanya populasi yang mendapat nilai C. Jurang prestasi antara siswa di kota besar dan daerah lain (kota kecil, desa dan pedalaman) pun makin besar. Yang mencemaskan bagi puak Melayu adalah, populasi siswa di kota besar yang berprestasi bagus itu mayoritas justru keturunan Cina bukannya bumiputera. Praktek yang terjadi di kelas pun bukan menggunakan Inggris sebagai bahasa komunikasi, namun lebih pada menggunakan kata Inggris dalam kalimat dan konteks Bahasa Melayu. Tidak aneh bahwa ini dianggap sebagai model kebijakan kontoversial yang sekaligus membasmi kemampuan Berbahasa Ibu (bahasa Melayu), Bahasa Inggris dan juga pemahaman terhadap sains dan matematik. Dijelaskan juga fakta yang ada bahwa guru-guru di Malaysia pada saat program ini dimulai, tahun 2003, memang tidak didisain untuk mengajarkan sains dan matematik dalam English, sehingga 'akrobat' penggunaan English setiap hari terjadi di kelas sains dan matematik; yang tentunya membawa dampak membekas bagi siswa bahwa sains dan matematik sebagai pelajaran menakutkan dan susah dipahami. Hal yang wajar berhubung ketidakpahaman semantik memang berlanjut pada kegagalan syntax. Gejala di Indonesia adalah justru sedang ke arah yang sebaliknya, khususnya dalam program RSBI; dimana guru MIPA diarahkan untuk berkomunikasi dalam English, menyiapkan administrasi pelajaran dalam English dan bahkan mengevalusi belajar siswanya pun dengan English. Kalau dengar cerita kegagalan PPSMI di Malaysia yang memang didukung dana mencukupi dan training intesif saja begitu, apalagi di RSBI yang cuman dapat tambahan 'modal usaha' Rp 0,5 M per tahun? tapi siapa tahu kita kan penuh akal, modal nekat dan tentu berani :). wassalam, Bambang