http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/12/03345996/kabinet.baru..harus.profesional
Jakarta, Kompas - Dengan dukungan publik serta politik yang kuat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya bisa membentuk kabinet secara profesional dan tidak lagi melakukan politik bagi-bagi kekuasaan. Mereka yang dipilih dalam kabinet harus yang mau dan mampu bekerja keras untuk kepentingan bangsa. Pendapat itu dikemukakan secara terpisah oleh Daniel Sparringa, pengamat politik dari Universitas Airlangga; J Kristiadi dari Centre for Strategic and International Studies; Syamsuddin Haris dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; dan Irman Putra Sidin, ahli hukum tata negara. "Ini pertaruhan terakhir SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) untuk menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin yang mampu memajukan bangsa," kata Kristiadi. Daniel yakin, kali ini Yudhoyono akan menjalankan rasionalitas politik yang orientasinya untuk membangun perubahan yang lebih bermakna. "Dia akan lebih mempertimbangkan orangnya semacam apa dan kerjanya bagaimana dibandingkan mementingkan keseimbangan koalisi besar," kata Daniel. Keyakinan Daniel didasarkan pada tiga realitas politik, yaitu Yudhoyono memperoleh dukungan kuat dari publik dengan perolehan suara dalam pemilihan umum yang mencapai 65 persen dan semakin kuatnya sistem presidensial di negeri ini. Yudhoyono juga tidak lagi memiliki beban politik dalam pemilihan umum mendatang karena dia tak akan bisa mencalonkan diri lagi. "Jika dia mau menunjukkan kapasitas kepemimpinannya, inilah saatnya," katanya. Kristiadi mengatakan, ketika realitas politik tak lagi menjadi hambatan, pemilihan anggota kabinet sudah seharusnya didasarkan pada kaidah-kaidah profesional. Untuk itu, ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu mempersiapkan kontrak kinerja dari calon anggota kabinet. "Jika calon yang terpilih kemudian ternyata tidak mampu bekerja dengan baik, maka dia harus mundur," katanya. Hal lain yang harus dilakukan adalah menyiapkan perjanjian integritas kepada para calon. "Mereka yang dipilih harus berjanji untuk mengutamakan kepentingan bangsa dibandingkan golongan atau partai politik masing-masing. Selama ini kesetiaan pada partai dan golongan di dalam tubuh kabinet sering menjadi ganjalan dalam mengoptimalkan kinerja," kata Kristiadi. Dengan kedua dasar itu, Yudhoyono bebas memilih siapa saja calon anggota kabinetnya. Walaupun sang calon datang dari partai politik, hal itu tidak akan jadi masalah asalkan memenuhi prosedur pemilihan secara profesional. "Jika dua jalur ini dilakukan, para calon yang terpilih akan benar-benar yang berkualitas karena tidak lagi mencerminkan politik bagi-bagi kekuasan," katanya. Walaupun secara politis pemerintahan ke depan akan stabil karena lemahnya posisi oposisi, menurut Daniel, jebakan baru yang harus diwaspadai adalah terlalu dominannya kekuasaan eksekutif. Apalagi jika DPR tetap tak mampu memosisikan diri sebagai penyeimbang, masih terkotak-kotak, dan lebih mengedepankan kepentingan fraksi politik maupun individu. "Sistem presidensial yang kuat mewajibkan Dewan (DPR) yang bisa berfungsi optimal sebagai penyeimbang dan mampu bekerja dalam komisi tak lagi antarfraksi," katanya. Perombakan struktur Kristiadi juga mengatakan, untuk mengoptimalkan kinerja pemerintahan, struktur kabinet seperti yang ada sekarang harus dirombak. "Menteri koordinator yang selama ini didesain untuk mempercepat kerja pada kenyataannya justru memperpanjang sistem koordinasi. Saya usulkan menteri-menteri koordinator itu dihapus, dan digantikan oleh satu chief executive officer (pejabat eksekutif tertinggi/CEO)," katanya. Tugas dari CEO ini, menurut Kristiadi, selama 24 jam mengikuti kebijakan-kebijakan kabinet, karena itu harus dipilih orang yang mampu bekerja keras dan profesional. Jika proses seleksi dan perubahan struktur itu dilakukan, Kristiadi yakin kabinet mendatang bisa membawa kemajuan bangsa. "Tinggal ke depan memperbaiki birokrasi yang bobrok dan kegemukan, memangkas campur tangan dari partai-partai politik, serta memperbaiki struktur pemerintahan dari pusat ke daerah yang masih kacau," tuturnya. Sementara itu, Syamsuddin Haris dan Irman Putra Sidin mengharapkan Yudhoyono tidak menempatkan lagi tentara atau bekas tentara untuk jabatan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan serta Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Dua jabatan tersebut sudah tidak tepat lagi dijabat tentara atau bekas tentara, baik karena mindset tentara atau bekas tentara belum senyawa dengan semangat reformasi maupun karena kebutuhan riil di dua pos tersebut yang memerlukan tangan seorang profesional. Bagi Irman, ada mitos pada masa Orde Baru bahwa Mendagri adalah pembina politik. Dalam arti, Mendagri memantau situasi dalam negeri agar tidak menimbulkan kecemasan politik untuk presiden sehingga ditempatkanlah tentara. "Persoalannya sekarang Mendagri bukan pembina politik seperti dulu," katanya menambahkan. Apalagi, kata Irman, persoalan lima tahun terakhir yang terkuak adalah bobroknya data kependudukan yang berpengaruh pada buruknya daftar pemilih tetap pada Pemilu 2009. Melihat kondisi ini, jabatan Mendagri harus diisi kaum profesional yang mengerti betul mengenai persoalan tersebut. "Persoalan kependudukan telah mengguncang pemilu lalu dan ini harus diselesaikan pada periode ini. Bukan tentara tidak bisa melakukannya, tapi kalau ada yang lebih ahli di bidang itu, pemerintah ke depan bisa membuat keputusan yang lebih cepat dibandingkan jika tentara yang ada di dalamnya," kata Irman. Bukan jatah Lebih lanjut Irman dan Syamsuddin meminta agar Presiden Yudhoyono mengedepankan kaum profesional dalam kabinet lima tahun ke depan daripada kaum politisi. Mereka menegaskan, kabinet tidak boleh seperti jatah. Bukan juga kue ulang tahun yang harus dibagi-bagi. Yang seharusnya menjadi pembantu presiden adalah orang-orang profesional dan ahli agar akselerasi pemerintahan berjalan optimal. (ANA/AIK)