Tidak hanya bagaimana memperbaiki kualitas guru, namun hal yang tidak kalah 
penting untuk menjadi perhatian Menteri Pendidikan Nasional yang baru adalah 
bagaimana meluruskan jalan pembinaan pendidikan nasional yaitu prinsip 
keragaman yang dianut semua sekolah negara di dunia ini. Hendaknya Menteri yang 
baru dengan latar belakang teknologi dan pernah memimpin sebuah universitas 
meluruskan kembali arah pembangunan pendidikan nasional, yang di mana-mana di 
dunia ini menganut asas pluralisme dan universality. Dengan begitu landasan 
pendidikan nasional yang capek-capek dibuat menteri pendidikan pendahulu 
tidak usang dan diabaikan. 
 
Bukan menjadi rahasia lagi tatkala Menteri Pendidikan Nasional yang lama sangat 
kental menjalankan missi keagamaan sebagaimana basis dari partai politik yang 
diwakilinya. Padahal, sudah banyak lembaga pendidikan nasional yang berbasis 
keagamaan, dan perlu apa pula sekolah-sekolah negeri diarahkan ke situ? Menurut 
saya langkah itu sudah berisiko, sebab bayangkan jika semua kabupaten masih 
terus mengikuti gelombang yang telah dicanangkan oleh Menteri pendidikan 
Nasional yang lama. Bayangkan jika di semua kabupaten sekolah-sekolah negeri 
menjadi semacam pesantren? Maksud saya, jika semua kabupaten merasa berhak 
untuk mengabaikan prinsip-prinsip kenasionalan, maka jadilah lima puluh tahun  
mendatang Indonesia adalah federasi kabupaten Indonesia....
 


--- On Sat, 10/24/09, Agus Hamonangan <agushamonan...@yahoo.co.id> wrote:


From: Agus Hamonangan <agushamonan...@yahoo.co.id>
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Banyak Guru Tak Pantas Jadi Guru
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Date: Saturday, October 24, 2009, 6:14 AM


  



http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/10/24/ 04173953/ banyak.guru. 
tak.pantas. jadi.guru

Jakarta, Kompas - Dari sekitar 2,8 juta guru berbagai jenjang pendidikan, 
banyak yang sebenarnya tidak layak menjadi guru profesional. Ketidaklayakan ini 
antara lain karena tingkat pendidikan guru yang tidak memenuhi syarat serta 
belum memiliki sertifikat pendidik.

Guru yang tidak layak ini sebagian besar justru guru di tingkat taman 
kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD). Di TK, berdasarkan data pendidikan 
nasional Depdiknas 2007/2008, sekitar 88 persen tak layak serta di tingkat SD 
sekitar 77,85 persen yang tak layak jadi guru.

Di tingkat sekolah menengah pertama (SMP) sekitar 28,33 persen guru yang tak 
layak mengajar, di sekolah menengah atas (SMA) sekitar 15,25 persen, serta di 
sekolah menengah kejuruan (SMK) sekitar 23,04 persen.

Ketidaklayakan guru itu sebagian besar karena tidak memenuhi kualifikasi 
pendidikan minimum D-IV atau strata 1 yang kini dipersyarakatkan pemerintah. 
Guru yang mengajar di TK dan SMP umumnya berpendidikan SMA hingga diploma.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo di 
Jakarta, Jumat (23/10), mengatakan, meningkatkan mutu guru tidak bisa ditawar 
lagi. Peningkatan itu juga mesti seiring dengan peningkatan kesejahteraan guru.

"Harus ada keberpihakan semua pihak untuk menjadikan guru Indonesia bermartabat 
dan profesional. Harus diatur supaya gaji guru layak, minimal bisa sama dengan 
upah minimum di daerah," ujar Sulistiyo.

Praktisi pendidikan Arief Rachman mengatakan, guru harus mampu melayani siswa 
dalam keragamannya sehingga potensi siswa bisa berkembang. Guru juga mesti 
berkreasi menciptakan sistem pembelajaran yang menyenangkan.

Secara terpisah, Bupati Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Idham Samawi 
mengatakan, Bantul merupakan kabupaten terbanyak yang memiliki guru 
pascasarjana. Dari sekitar 4.500 guru yang mengajar di semua sekolah di Bantul, 
158 orang di antaranya mengantongi ijazah pascasarjana. Sebagian besar adalah 
pengajar di tingkat SMA dan SMK. "Jumlah guru bergelar master tersebut 
terbanyak se-Indonesia, " kata Samawi. (ELN/ENY)

















      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke