Relevansi Dakwah dan Toleransi Beragama
Yusuf Burhanudin
(Pegiat Association for Research and Islamic Studies, Kairo, Mesir)


Sekilas, keharusan dakwah dan toleransi beragama tampak saling bertentangan 
satu sama lain. Di satu sisi dakwah menghendaki orang lain mengakui kebenaran 
Islam, sementara di lain pihak Islam juga menuntut agar mampu menenggang 
keyakinan maupun agama orang lain (tasamuh). Dalam pengertian ini, keduanya 
seolah mesti dipilih salah satunya dan mengorbankan yang lainnya. Demi dakwah 
toleransi dilabrak, semata toleransi antarumat beragama, dakwah --setidaknya 
dalam asumsi kita saat ini-- mesti diabaikan.

Kekeliruan dalam merelevansikan dua kewajiban inilah berbagai resistensi sosial 
maupun konflik dengan wajah agama dan keyakinan tiada kunjung berakhir. Suatu 
saat ketika keyakinan dan agama akhirnya beralih fungsi menjadi kekuatan ampuh 
dalam memusnahkan dan membinasakan yang lain (collective violence). 
Dalam kaitan inilah penulis hendak mencoba mengkaji kembali makna dakwah Islam. 
Apa sebenarnya yang dikehendaki Allah SWT melalui dakwah? Benarkah dakwah 
mengancam sendi-sendi toleransi beragama? Apa sebenarnya relevansi antara 
keduanya? Bentuk dakwah seperti apakah yang seharusnya diperankan umat Islam 
dewasa ini?

Epistemologi dakwah
Secara bahasa, dakwah berasal dari padanan kata da'a-yuda'i-du'a'an wa 
da'watan. Dalam Alquran istilah dakwah disebutkan kurang lebih sebanyak sepuluh 
kali dengan berbagai arti yang berbeda; ajakan, seruan, pembuktian dan doa. 
Dalam makna sempit, dakwah berarti tugas untuk menyampaikan dan mengajarkan 
ajaran Islam pada yang lain agar nilai-nilai Islam terwujud dalam kehidupan 
manusia (Mawshu'ah Islamiyyah: 2001).

Dengan begitu, apakah dakwah berarti sebatas islamisasi yang meliputi kewajiban 
untuk mempersatukan umat manusia di seluruh jagat raya ini dalam satu kesatuan? 
Jawabannya bisa iya bisa tidak. Sebab, dalam kaitan dakwah dan toleransi, kita 
akan menemukan dua kebenaran aksiomatik yang terkesan paradoks. Satu pihak 
harus mengimani kebenaran Islam secara absolut, namun di sisi lain juga 
hendaknya tidak mengingkari keniscayaan pluralisme (religious plurality) 
sebagai realitas sosial (sunnatullah). Adalah kebenaran tak terbantahkan jika 
setiap orang bebas untuk berkeyakinan, keyakinan apapun! Hal ini dengan jelas 
termaktub dalam nash Alquran (Q.S. 2: 256/5: 48/3: 20).

Menekankan dakwah dalam arti mempromosikan dan menjajakan keyakinan dalam ruang 
formal-legal, terang saja akan mengakibatkan fragmentasi sosial antara umat 
beragama benar-benar terjadi. Islam, juga agama lain, akan saling bersitegang 
dalam memperebutkan penganut dan berlomba-lomba dalam memperbanyak jumlah 
pengikut (dakwah kuantitatif). Karena kepentingan dakwah Islam pada akhirnya 
berbenturan dengan propaganda agama lain dengan maksud yang tak jauh berbeda.

Akibatnya, dakwah yang semula bersifat pilihan alternatif (ikhtiyari) berubah 
bentuk menjadi paksaan mutlak (ijbari) dengan menghalalkan segala cara, 
termasuk kekerasan, teror, dan bahkan 'memerangi' demi menegakkan tujuan dakwah 
yang dimaksud. Tujuan dakwah dalam upaya mewujudkan kebenaran, dengan tragis 
dan penuh eksploitasi mengabaikan kebenaran lainnya (realitas 
kosmologis/sunnatullah akan keniscayaan pluralitas/ta'addudiyyah).

Selama ini nilai-nilai dakwah yang sangat universal tereduksi literasi fikih 
hingga melembaga dalam maknanya yang tunggal, kaku, dan rigid. Persinggungan 
antara pengertian dan kenyataan di atas justru memunculkan asumsi bahwa dakwah 
tidaklah bermakna tunggal. Dakwah tidak berarti sebatas eksternalisasi dalam 
mengislamkan orang lain, mempersatukan umat, dan hanya bersifat verbal 
(tabligh). Selanjutnya ada realitas sosiologis sebagai kenyataan kebenaran 
empirik (minimal truth) yang selama ini luput dari perhatian para aktivis 
dakwah. 

Tujuan dakwah 
Dakwah adalah kewajiban setiap umat Islam, untuk saling mengingatkan dan 
mengajak sesamanya dalam rangka menegakkan kebenaran (konteks iman/teologis) 
dan kesabaran (konteks amal/sosiologis), (Q.S. 103: 3). Inilah kenapa umat 
Islam selanjutnya disebut sebagai pewaris para nabi, waratsatul anbiya'. Nabi 
yang berasal dari kata naba-a tiada lain bermakna penebar risalah Tuhan (baca: 
kebenaran).

Tujuan dakwah bukanlah untuk memaksakan kehendak (Q.S. 2: 256), mengislamkan 
yang lain maupun untuk mempersatukan umat manusia (Q.S. 5: 48), apalagi untuk 
memperbanyak pengikut. Jika dakwah berarti demikian, niscaya Nabi Nuh as yang 
diberi usia 950 tahun dalam menggencarkan risalah dakwahnya tidak layak diberi 
penghargaan. Sebab, dalam kurun yang sangat panjang itu beliau hanya mampu 
mengajak manusia seisi penumpang sebuah kapal laut. Kenyataannya beliau tetap 
dianggap orang istimewa oleh Allah SWT (Q.S. 29: 14/71: 5-28).

Islam atau tidaknya seseorang bukanlah kepentingan Allah SWT. Konsekuensi 
dakwah bisa diterima atau ditolak. Urusan beriman atau tidak, itu urusan Allah. 
Kita tidak dibebani-Nya untuk memaksa apalagi mengimankan seluruh manusia. 
Tugas kita hanyalah menyampaikan (tabligh; Q.S. 10: 99/28: 56/3: 20) dan 
menjadi bukti kedamaian bagi yang lain (syuhada; Q.S. 3: 110).

Melalui Islam, Allah hanya memesankan kehidupan yang damai, tenteram, dan penuh 
kemaslahatan. Hal ini sesuai korelatifitas makna harfiah antara Islam dan 
rahmat yang berarti damai dan sejahtera. Dalam realitas yang ragam, pelekatan 
simbolik Alquran dengan menyebut ajaran Islam sebagai "rahmatan lil 'alamin", 
menyaratkan Islam --melalui pengikutnya-- justru mampu menunjukkan bukti 
empirik dalam menerima tegaknya nilai-nilai perdamaian, kesejahteraan, dan 
ketentraman bagi seluruh makhluk yang ada di jagat raya ini (Al-Maraghi, VI: 
77). 

Dakwah Islam mesti disampaikan dengan cara yang bijaksana (hikmah), komunikatif 
(maw'idhah hasanah), dan dialogis (jadal). Menurut Yusuf Qardlawi (2002), 
hikmah berarti rasional sesuai tuntutan akal dan bukti empiris; maw'idlah 
bermakna penuh pertimbangan etika dan kesantunan; serta jadal menunjuk 
pentingnya dialog antariman dengan cara-cara yang baik, terpuji, dan elegan 
tanpa dibarengi prasangka, permusuhan, maupun kedengkian.

Kekufuran sebagai sasaran dakwah, bukanlah sebuah legitimasi absah untuk 
memerangi para pelaku kekufuran tersebut secara fisik. Dakwah tidak menghendaki 
orang-orang kafir itu dibantai dan diperangi pelakunya, melainkan diperintahkan 
untuk didakwahi sifat dan perilakunya. Perintah dalam Alquran untuk mereka 
adalah ud'u (ajaklah) bukan uqtul (bunuhlah), (Q.S. 16: 125).

Lagi pula, kufr tidaklah semata bermakna personal-formal untuk agama dan ajaran 
tertentu di luar Islam (i'tikadi). Tetapi juga memaknakan segala bentuk 
pengingkaran pada ritus formal (syar'i), dan penyelewengan moral (akhlaqi). 
Kekufuran adalah gejala yang bisa juga menimpa umat Islam sendiri. 

Dakwah, menurut Dr Khalifa Husein (2001), tidaklah hanya berorientasi eksternal 
dalam mengajak umat lain pada kebenaran Islam, tetapi lebih berarti 
internalisasi perbaikan dan pendewasaan diri dalam tubuh umat Islam sendiri 
secara spiritual, moral, dan sosial.

Realitas kosmologis
Untuk menyelami tujuan dakwah lebih lanjut, hendaknya kita juga mampu menangkap 
pesan-pesan realitas kosmologis yang menjadi sunnatullah Tuhan di muka bumi 
ini. Pertama, dakwah tidak bertujuan mempersatukan umat yang kenyataannya 
plural dan beragam. 

Penekanan "umatan wahidatan", adalah pada 'umat yang satu' dan bukan pada 
'penyatuan umat'. Yang pertama menekankan sikap untuk menghargai keragaman, 
sementara makna kedua justru berpotensi memaksa yang lain untuk bergabung. 
Meski tidak dapat disangkal bahwa Alquran memerintahkan persatuan dan kesatuan, 
namun itu tetap dengan menghargai kenyataan pluralisme dan guna mengampanyekan 
pentingnya kerja sama (fastabiqul khairat) antariman. 

Kedua, kenyataan pluralitas, keragaman, dan berpasang-pasangan 
(lelaki-perempuan, siang-malam, kaya-miskin) adalah keniscayaan sunnatullah 
yang tidak dapat diubah oleh siapapun selain-Nya. Semua itu tiada lain agar 
setiap unsur membutuhkan kehadiran yang lainnya sebagai unsur pengimbang dan 
evaluasi (check and balance) dalam mewujudkan kehidupan yang dinamis dan 
harmonis (maslahat). Tidak dibenarkan bagi siapapun untuk memusnahkan satu 
eksistensi oleh yang lainnya (mafsadat). 

Meyakini kewajiban dakwah harus dibarengi kesadaran pengakuan tulus akan 
kenyataan keragaman. Dakwah adalah cita-cita sosial dalam rangka membangun 
kesadaran internal akan berbagai kelemahan diri menuju kehidupan yang saling 
berdampingan dengan yang lain. Dari dakwah bil haq (dialog verbal-eksternal 
antariman) menuju dakwah bil hal (pembinaan internal SDM umat sebagai proyek 
percontohan bagi umat yang lain). 

Toleransi akhirnya menjadi keniscayaan sosial bagi seluruh umat beragama dalam 
menata kehidupan bersama. Dakwah bukanlah semata bertujuan untuk meng'agama'kan 
seluruh segmen kehidupan melainkan bagaimana mewujudkan kesejahteraan dan 
menegakkan nilai-nilai kemanusiaan terutama dalam menghargai keragaman. Wallahu 
a'lam.
( ) 
********************************************************
Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP
********************************************************
Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA :
http://www.usahamulia.net

Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]

Untuk keluar dari Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]
********************************************************

Kirim email ke