Saya juga mendengar cerita ini yang kira2 mirip dari paman saya. Dan paman saya 
juga mengalami hal tersebut. Ia dulu dinas pesisir barat Kalimantan 
(pontianak). Entah karena tidak tahan, karir juga menjadi tidak bagus, banting 
setir ikut membangun partai, partai yang kemarin dikalahkan di pilkada Jakarta. 
Keputusan tsb saya nilai sangat berani karena pada awalnya partai ini belum 
apa2, namun keyakinan perjuangan di jalan Nya pasti akan mendapat 
pertolongannya memantapkan langkahnya. Syukur Alhamdulillah pada pemilu pertama 
itu satu kursi berhasil di raih partainya, dan mengantar beliau menjadi 
satu2nya wakil rakyat di daerahnya di partainya waktu itu. 
 
Tapi apakah semua orang2 yang jujur harus keluar dari sana?  siapa dong yang 
bakal memperbaiki? Sepertinya kita harus tetap mesuplai orang jujur masuk ke 
sana dan berusaha memasukan pemimpin jujur lewat jalur politik atau birokrasi. 
Jalur dakwah bisa kah menyadarkan mereka yang sudah kecebur?
 
Saya yang kaya begini bukan hanya di sana, tapi banyak department negara kita. 
Hiks... tragis memang di negara yang mayoritas muslim ini. 
 
-----Original Message-----
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] Behalf Of [EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, September 27, 2007 8:55 AM
To: 'Forum Ukhuwah Pekerja Muslim di Kawasan EJIP'
Subject: [ FUPM-EJIP ] Kisah Seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi (bagusdi 
baca koruptor)


Dari milis sebelah....
Buat para koruptor kisahnya dibaca ya..dihayati..kemudian diikuti.
 
Kisah Seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi 

Sebagai pegawai Departemen Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalangkabut 
akibat prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat Jenderal datang, 
BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan belingsatan, kami 
tenang saja. Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu sebenarnya lebih 
menyenangkan. 
Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapi sebetulnya lebih 
menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung. 

Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di 
Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan 
selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan kemudian saya 
ditugaskan di Medan. Saya ketika itu mungkin termasuk generasi pertama yang 
mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim.Waktu 
itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsip satu saja, karena 
takut pada Allah, jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging dalam diri dan 
keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya. 

Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang 
jelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram. Syukurlah, prinsip itu 
bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam pengajian keislaman. 
Sejak awal ketika menikah, saya sampaikan kepada isteri bahwa saya pegawai 
negeri di Departemen Keuangan, meski imej banyak orang, pegawai Departemen 
Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau 
diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak 
jadi. 
Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu. Saya juga 
sering ingatkan kepada isteri, bahwa kalau kita konsisten dengan jalan yang 
kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan maka Allah akan selesaikan kebutuhan 
itu. Jadi yg penting usaha dan konsistensi kita. Saya juga suka mengulang 
beberapa kejadian yg kami alami selama menjalankan prinsip hidup seperti ini 
kepada istri. Bahwa yg penting bagi kita adalah cukup dan berkahnya, bahwa kita 
bisa menjalani hidup layak. Bukan berlebih seperti memiliki rumah dan mobil 
mewah. 
Menjalani prinsip seperti ini jelas banyak ujiannya. Di mata keluarga besar 
misalnya, orangtua saya juga sebenarnya mengikuti logika umum bahwa orang pajak 
pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami membantu adik-adik dan keluarga. 
Tapi kami berusaha menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda dengan imej dan 
anggapan orang. Proses memberi pemahaman seperti ini pada keluarga sulit dan 
membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka berkunjung ke 
rumah saya di Medan, saat itulah mereka baru mengetahui dan melihat bagaimana 
kondisi keluarga saya, barulah perlahan-lahan mereka bisa memahami. 
Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau pemeriksa 
pajak. Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisa 
dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak 
sudah menjabat Kepala Seksi, Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi 
dahulu di masa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima uang korupsi sama 
saja dengan karir terhambat. Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, 
maka kondite saya di mata mereka buruk.Terutama poin ketaatannya, dianggap 
tidak baik dan jatuh. 

Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara lain, 
orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa pun 
caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau apa pun akan mereka lakukan agar 
mereka mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada orang yang 
bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka. 
Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara paling 
halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahun 
barulah ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara seperti in seperti sudah 
direkayasa. Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan dengan 
gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup 
pegawai Departemen Keuangan. 
Bila tidak berhasil, mereka akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya. 
Pola-pola apa saja dipakai, sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi 
teman. 

Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat 
simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah 
bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan 
seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan, kami biasa memancing sama-sama atau 
jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang 
dalam amplop pada anak-anak saya. Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya 
hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalu 
saya perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja 
berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke rumah, 
mangajak mancing atau ke toko buku sambil membawa anak-anak. 
Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan 
besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar dan 
luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada saya 
dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan ini kita 
ungkapkan, maka perusahaan itu bangkrut dan banyak pegawai yang di-PHK. Karena 
itu, dia menganggap efek pembuktian penyimpangan itu justru menyebabkan 
masyarakat rugi. Sementara dari sisi pandang saya, betapa tidak adilnyakalau 
tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan penyimpangan 
dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti 
perusahaan lain. 
Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika lain 
lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingkan 
dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung, karena ada uang yang 
masuk negara. Logika seperti ini juga tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya 
satu-satunyaanggota tim yang menolak dan memintaagar temuan itu tetap diungkap 
apa adanya. Meski saya juga sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil 
laporan itu pun, laporan itu akan tetap sah. Tapi saya merasa teman-teman itu 
sangat tidak ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Mereka ingin semua 
sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak menerima. Ketika sudah mentok 
semuanya, saya dipanggil oleh atasan dan disidang di depan kepala kantor. Dan 
ini yang amat berkesan sampai sekarang, bahwa upaya mereka untuk menjadikan 
orang lain tidak bersih memang direncanakan. 
Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabat dan 
seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, "Sudahlah, Dik Arif tidak 
usah munafik." Saya katakan, "Tidak munafik bagaimana Pak? Selama ini saya 
insya Allah konsisten untuk tidak melakukan korupsi" Kemudian ia sampaikan 
terus terang bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak 
sayaadalah uang dari klien. Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi 
merasakan sahabat itu ternyata berkhianat.Karena terus terang saya belum pernah 
mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kacuali yang memang sudah sama-sama 
punya prinsip untuk menolak uang suap. 
Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa mereka 
perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau. 
Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun, saya 
pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di rumah. 
Ketika mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur. 
Ia lalu mengatakan, "Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya 
pakai," katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya, alhamdulillah, amplop-amplo 
itu tidak digunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk keperluan apa pun. Jadi 
amplop-amplop itu disimpan di sebuah tempat, meski ia sama sekali tidak tahu 
apa status uang itu. Amplop-amplop itu semuanya masih utuh. Termasuk tulisannya 
masih utuh, tidak ada yang dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang 
jelas, bukan lagi puluhan juta. Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan 
diberikan hampir setiap pekan. 

Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa ke 
kantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi. 
Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga 
bertaburan di lantai. Saya katakan, "Makan uang itu, satu rupiah pun saya tidak 
pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya satu pun 
perkataan kalian." Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta obyektif, saya 
tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok harinya, saya 
langsung dimutasi antar seksi. Awalnya saya diauditor, lantas saya diletakkan 
di arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa pajak. Itu berjalan 
sampai sekarang. Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja da saat 
tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga saya hidup dalam 
kondisi terbatas. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda untuk 
menggunakan uang yang tidak jelas. Ada pengalaman lain yang masih saya ingat 
sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang begitu mendesak. Misalnya, 
ketika anak kedua lahir. Saat itu persis ketika
saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik-detik 
terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk membawa isteri dan bayi kami ke 
rumah, saya tidak punya uang serupiah pun. 
Saya mau bcara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insya Allah 
pekan depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya saya 
keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari sholat dhuha, 
tiba-tiba saja saya ketemu teman lama di rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama 
sekali tidak pernah jumpa. Dia dapat cerita dari teman bahwa isteri saya 
melahirkan, maka dia sempatkan datang ke rumah sakit. Wallahu a'lam apakah dia 
sudah diceritakan kondisi saya atau bagaimana, tetapi ketika ingin menyampaikan 
kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya malah ditunjukkan kwitansi seluruh 
biaya perawatan isteri yang sudah lunas. Alhamdulillah. 
Adalagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya operasi mata karena ada lipoma 
yang harus diangkat. Awalnya, saya pakai jasa askes. Tapi karena pelayanan 
pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena anak saya baru 
berumur empat tahun, saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak 
bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya lakukan sambil tetap 
berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana? 

Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah 
sekali menyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan 
kebutuhan itu pada detik terakhir. Ketika sedang membereskan pakaian di rumah 
sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah lama tidak 
bertemu. Ia bertanya bagaimana kabar, dan saya ceritakan anak saya sedang 
dioperasi. Dia katakan, "Kenapa tidak bilang-bilang" Saya sampaikan karena 
tidak sempat saja. Setelah teman itu pulang, ketika ingin menyampaikan 
penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya juga sudah dilunasi oleh teman itu. 
Alhamdulillah. 

Saya berusaha tidak terjatuh ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan keluarga 
besar, di luar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak 
memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya minta bantuan, 
karena takut dibilang pelit, mereka terpaksa pinjam sana sini. Ketika harus 
bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi juga. Karena banyak yang seperti itu, 
dan saya tidak mau terjebak begitu, saya berusaha dari awal tidak demikian. 
Saya berusaha cari usaha lain, dengan mengajar dan sebagainya. Isteri saya juga 
bekerja sebagai guru. 
Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih banyak dengan 
bercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka sudah puas dengan 
pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan pendekatan bercanda, misalnya ketika 
datang tim pemeriksa dari BPK, BPKP, atau Irjen. Mereka gelisah sana-sini 
kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat suap lalu menyuap 
lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan siapa. 

Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalu 
takut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan bercanda, "Uang 
setan ya dimakan hantu." 
Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai berubah, kemudian berdialog dan 
akhirnya berhenti sama sekali. Harta mereka jual dan diberikan kepada 
masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak banyak. Sedikit sekali orang yang bisa 
merubah gaya hidup yang semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali. 
Adajuga diantara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah memeras dan 
tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang dari 
atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya memberi. Mereka 
mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari 
ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan pernah bisa 
memberikan uang sebesar itu. 
Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau atasan langsung biasanya 
memberi uang hari Jum'at atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang 
Jum'atan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya memberi juga. 

Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang lebaran dan 
sebagainya. Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari atasan 
dibanding gaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang sulit 
berubah. Mereka termasuk rajin sholat, puasa sunnah dan membaca Al-Qur'an. 
Tetapi mereka sulit berubah. Ternyata hidup dengan korupsi memang membuat 
sengsara. Di antara teman-teman yang korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, 
ada yang melarikan diri karena dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya 
selingkuh dan lain-lain. Meski secara ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya 
sekadar mapan. 

Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN. 

Awalnya dia sama-sama ikut kajian keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya 
mulai sering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, 
dia tidak bisa berterus terang tidak punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang 
sana-sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah terlanjur jatuh, akhirnya dia 
betul-betul sama dengan teman-teman di kantor. Bahkan sampai sholat 
ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi ketika sedang mengkonsumsi 
narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang dipecat dan dipenjara. 
Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan jihad untuk hidup yang 
bersih. Kita harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana saja. Kiatnya hanya 
satu, terus menerus menumbuhkan rasa takut menggunakan dan memakan uang haram. 
Jangan sampai daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Saya 
berharap, mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada kami keistiqomahan (matanya 
berkaca-kaca) . 

Sumber: (Majalah Tarbawi Edisi 111 Th. 7/Jumadal Ula 1426 H/23 Juni 2005) 
 

No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.487 / Virus Database: 269.13.27/1020 - Release Date: 9/20/2007 
12:07 PM

********************************************************
Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP
********************************************************
Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA :
http://www.usahamulia.net

Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]

Untuk keluar dari Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]
********************************************************

Kirim email ke