https://tirto.id/usaha-memutus-tali-solidaritas-bKSy 
https://tirto.id/usaha-memutus-tali-solidaritas-bKSy

  
 https://tirto.id/usaha-memutus-tali-solidaritas-bKSy# Pendiri & editor 
http://www.panditfootball.com
 Usaha Memutus Tali Solidaritas Kolumnis: Zen RS
 16 September, 2016dibaca normal 4 menit
 
 Kecurigaan Ahok https://tirto.id/mereka/basuki-tjahaja-purnama-5 terhadap 
"Romo" Sandyawan menggemakan kembali politik massa mengambang.

Seperti diberitakan Viva (14/9), Ahok menuding Sandyawan Sumardi 
https://tirto.id/mereka/ignatius-sandyawan-sumardi-225 menghambat upaya 
penggusuran warga Bukit Diri yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung. Advokasi 
yang dilakukan Sandyawan terhadap warga yang akan digusur, dengan mengajukan 
class action terhadap Pemerintah Provinsi DKI dan menawarkan konsep alternatif 
penataan bantaran kali, dicurigai Ahok sebagai "mau main klaim". Selain 
menyeret asal-usul Sandyawan sebagai "bekas Romo", Ahok juga membawa-bawa 
domisili Sandyawan sebagai warga Kampung Pulo, bukan warga Bukit Duri.

Pernyataan Ahok ini segendang-sepenarian dengan pendukung Ahok yang, salah 
satunya, menuduh orang-orang yang menolak penggusuran sebagai orang yang "hidup 
dari proyek kemiskinan". Tuduhan "menghambat pembangunan" atau "menjual 
kemiskinan", bersama istilah "provokator", bukan kosa kata yang baru dalam 
sejarah politik Indonesia. Cap macam itu sangat lazim dipakai di era Orde Baru 
dan amat biasa ditempelkan ke jidat siapa saja yang dianggap berseberangan 
dengan agenda-agenda negara.

Entah apa pula maksudnya Ahok membawa-bawa latar belakang Sandyawan sebagai 
bekas Romo dan bukan warga Bukit Duri. Namun rasa-rasanya, upaya Ahok 
menyeret-nyeret latar belakang Sandyawan ini segendang-sepenarian dengan polah 
Ganjar Pranowo https://tirto.id/mereka/ganjar-pranowo-716, Gubernur Jawa 
Tengah, yang beberapa kali bertanya asal-usul ("Anda orang mana? Anda dari 
mana?") kepada orang-orang yang mempersoalkan keberpihakan Ganjar kepada proyek 
pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng. 

Mudah menebak ke mana pertanyaan itu hendak dibawa: delegitimasi para penentang 
karena bukan korban langsung sebuah kebijakan. Kira-kira begini nalarnya: 
karena Anda bukan warga Bukit Duri, tidak usah sok-sokan membela korban 
penggusuran, karena Anda bukan warga Kendeng tidak perlu sok heroik berpihak 
kepada para petani.

Nalar macam itu bukan hanya dipakai oleh Ahok atau Ganjar melainkan lazim 
dipakai oleh, terutama, aparat negara saat berhadapan dengan "orang-orang luar" 
yang masuk ke arena konflik. Saya pernah diusir aparat desa saat menemani warga 
yang memprotes galian pasir di sebuah kecamatan di Cirebon. Kawan-kawan yang 
sering terjun ke wilayah konflik saya kira sudah kenyang dengan nalar macam 
itu. 

Ini sudah menjadi semacam modus operandi untuk memutus jejaring solidaritas 
lintas wilayah, lintas golongan, bahkan lintas kelas. Tidak lain dan tidak 
bukan untuk mengisolir warga yang sedang menentang kebijakan pemerintah dari 
dunia luar. Warga dikondisikan untuk menjadi "cupet", agar membayangkan bahwa 
persoalan yang sedang mereka hadapi adalah persoalan yang terpisah dari dunia, 
tak berkait dengan agenda-agenda besar yang melampaui geografi kampungnya 
sendiri. 

Secara bersamaan, warga dirancang agar tidak berpikir bahwa persoalan yang 
mereka hadapi juga dihadapi oleh warga-warga yang lain di tempat yang berbeda. 
Nalar macam itu menghendaki warga berada dalam posisi sendirian, memikul beban 
dan persoalan secara mandiri, untuk memastikan warga tidak mendapatkan dukungan 
dari "orang luar". Dengan sendirinya, jika siasat macam ini berhasil, warga 
akan benar-benar merasa sunyi, merasa sepi, untuk kemudian frustrasi dan 
akhirnya menyerah.

Bayangkanlah efek moral yang dirasakan warga kala didatangi warga dari tempat 
yang jauh, yang sama-sama menghadapi persoalan dengan negara. Menyaksikan 
bagaimana seorang warga mengisahkan cerita sukses tindakan-tindakan perlawanan 
yang dilakukan olehnya dan tetangga-tetangganya kepada warga di tempat berbeda 
yang sedang terjepit oleh penetrasi negara/korporasi selalu menjadi momen yang 
berharga. Solidaritas muncul dengan organik, perasaan senasib menyeruak dengan 
meyakinkan, dan keberanian serta semangat pun mencuat kembali.

Nalar bahwa "orang luar tidak boleh ikut campur" ini juga mengandaikan bahwa 
warga pada dasarnya tidak pernah bermasalah dengan agenda-agenda negara. Warga 
dibayangkan sebagai makhluk-makhluk naif yang secara alami selalu menerima niat 
baik negara dengan tulus. Sehingga jika ada warga yang berserikat untuk menolak 
agenda-agenda negara, hal itu sudah pasti bukan tindakan yang alamiah. 

Gema "negara organik", atau "negara integralistik" ala Soepomo 
https://tirto.id/mereka/andrinof-achir-chaniago-266, pun tercium keras. Secara 
singkat bisa dikatakan bahwa negara organik membayangkan bahwa tidak ada 
ketegangan antara negara dan rakyat. Keduanya adalah manunggal. Rakyat dan 
pemimpin itu tidak terpisah-pisahkan. Negara-bangsa dibayangkan sebagai sebuah 
keluarga besar, dengan pemimpin sebagai bapak dan rakyat sebagai anak-anaknya. 
Tidak pada tempatnya mencurigai sang bapak hendak mencederai anak-anaknya. 
Segala yang dilakukan sang bapak, jika pun dirasa merugikan, semuanya untuk 
kebaikan anak-anaknya. 

Dalam jawabannya untuk Hatta yang mengusulkan hak-hak warga negara dijamin oleh 
Undang-Undang Dasar di sidang PPKI, Soepomo mengatakan: "Tuan Hatta bertanya 
bagaimana haknya orang seorang untuk bersidang jikalau dilanggar oleh 
pemerintah. Pertanyaan ini berdasar atas kecurigaan kepada pemerintah yang 
dalam menyelenggarakan kepentingan negara dianggap selalu menentang kepentingan 
orang seseorang. Dengan lain perkataan pernyataan Tuan Hatta timbul dari sikap 
individualisme, yang kami tolak." 

Konsep negara organik macam itu diterjemahkan Ali Moertopo 
https://tirto.id/mereka/ali-moertopo-228 pada 1972, melalui tulisan berjudul 
'Dasar-Dasar Pemahaman tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun', ke 
dalam siasat "politik massa mengambang". Siasat ini pada dasarnya adalah 
sebentuk depolitisasi warga, menjauhkan warga dari diskursus politik. Dalam 
bentuk yang konkrit, politik hanya boleh sampai di tingkat Kabupaten/Kotamadya, 
tidak boleh masuk hingga level kecamatan apalagi tingkat desa. Jika pun hendak 
berpolitik, hanya boleh melalui saluran resmi yaitu lewat dua partai (PPP-PDI) 
dan Golkar.

Mudah ditebak siasat ini hanya menguntungkan Golkar. Dibandingkan PPP dan PDI, 
hanya Golkar yang infrastruktur politiknya dapat menjangkau hingga 
pelosok-pelosok desa. Melalui aparat birokrasi dan organisasi-organisasi 
turunannya (dari PGRI, Korpri, Dharma Wanita, PKK, hingga pemerintah desa yang 
diawasi oleh Koramil, Polsek dan Babinsa), Golkar akan dengan mudah menancapkan 
kepentingan politiknya dengan demikian intens.

Moertopo mendasarkan argumentasinya kepada mendesaknya agenda-agenda 
pembangunan yang tidak boleh diganggu oleh kancah perjuangan politik partai dan 
golongan. Dalam kalimatnya Moertopo: "...sudah selayaknya bila rakyat, yang 
sebagian besar terdiri atas rakyat di pedesaan, dialihkan perhatiannya dari 
masalah sempit dan diarahkan kepada usaha pembangunan nasional, antara lain 
melalui pembangunan masyarakat desanya masing-masing." 

Dari situlah genealogi istilah "provokator" masuk ke dalam kosa kata politik 
Indonesia. Dibayangkan bahwa orang-orang luar, semacam Sandyawan Sumardi atau 
siapa pun itu, sebagai biang kerok munculnya inisiatif perlawanan warga. Tanpa 
orang luar, warga yang dianggap masih bodoh, kurang berpendidikan, tidak 
rasional, mustahil punya keberanian atau punya inisiatif menentang 
agenda-agenda negara. Orang-orang luar, entah atas nama advokasi atau 
pendampingan atau solidaritas atau apa pun, dianggap sebagai intervensi nurture 
terhadap nature, yang merongrong kedamaian dan ketenteraman, sebab pandangan 
bahwa desa manut kepada negara adalah hal yang alami, sudah dari sononye, sudah 
dengan sendirinya.

Jika orang seperti Sandyawan Sumardi, yang rekam jejak keberpihakannya 
merentang dari peristiwa Waduk Kedung Ombo dan kasus Mei 1998 hingga 
penggusuran di Bukit Duri, pernah dituduh “komunis” oleh Orde Baru, hal itu 
adalah konsekuensi logis dari usaha masif melakukan depolitisasi rakyat di akar 
rumput, di desa-desa, maupun di wilayah urban. Tuduhan “komunis” kepada orang 
seperti Sandyawan Sumardi di masa Orde Baru dulu menjelaskan satu hal penting: 
pengakuan negara Orde Baru bahwa (hanya) PKI yang memang paling getol melakukan 
praktik-praktik politik hingga ke pelosok-pelosok desa. 

Padahal ya tidak begitu juga. Sebelum Orde Baru, sangat biasa partai-partai 
melakukan penggalangan massa, memberikan pendidikan politik, hingga level 
terkecil masyarakat. Kendati PKI yang memang paling menonjol melakukan “politik 
turba”, namun partai-partai lain juga sangat bergairah mendatangi massa rakyat. 
Tidak heran jika di masa itu, rakyat yang buta huruf sekali pun, kendati hanya 
seorang petani atau tukang becak, bisa memiliki sense of politic yang kuat.

Para politisi, kepala daerah, para jenderal atau menteri dan presiden yang 
masih berpikir bahwa penolakan warga terhadap agenda-agenda negara sebagai 
tindakan yang tidak alamiah, menyimpang, dan mengganggu ketertiban bukan hanya 
ketinggalan zaman atau gagap membaca perubahan mas(s)a tapi juga masih merasa 
dirinya sebagai “bapak” yang serba-berhak menilai dan memutuskan apa yang 
terbaik bagi rakyat yang terus dianggap sebagai (kek)anak-anak(an).

Orde Baru, apa boleh bikin, memang sudah telanjur menyelinap hingga ke 
urat-urat.

  

*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak 
menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id https://tirto.id/.
 

 

Kirim email ke