res : Pernyataan Megawati perlu dipahami! Kalau budayanya berasal dari Mojopahit, maka politiknya berazaskan Mojopahit (neo-Mojopahit), dan oleh sebab itu dilaksanakan politik Jawasentris.
http://www.beritasatu.com/nasional/392497-megawati-budaya-tak-dapat-dipisahkan-dari-politik.html asional Dunia Megapolitan Ekonomi Properti Pasar Modal Bola Olahraga Otomotif Iptek Kesra Gaya Hidup Makanan & Wisata Hiburan a.. b.. Kamis, 13 Oktober 2016 | 19:03 Megawati: Budaya Tak Dapat Dipisahkan dari Politik Ketua umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (tengah), melakukan ziarah makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur, 10 Oktober 2016. (BeritaSatu Photo/Joanito De Saojoao) Nusa Dua - Pada World Culture Forum (WCF) 2016, Presiden Republik Indonesia Ke-5, Megawati Soekarnoputri sebagai pembicara kunci mengatakan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari politik. Megawati juga mengatakan, politik sebagai jalan kebudayaan, telah diajarkan oleh Bapak Bangsa Indonesia, Bung Karno. Pada saat merumuskan dasar negara Republik Indonesia, Pancasila, pada 1 Juni 1945. Bung Karno menegaskan, bahwa dirinya bukanlah penemu Pancasila, tapi penggali Pancasila. “Pancasila, yang mengandung lima prinsip sebagai dasar negara Indonesia, bersumber pada nilai dan praktik kebudayaan rakyat Indonesia, yang diwariskan turun temurun. Pancasila, lima prinsip dasar negara Indonesia,” kata Megawati pada orasi Pancasila sebagai Sumber Kebudayaan untuk Kehidupan Planet Bumi yang Berkelanjutan di World Culture Forum (WCF) 2016, yang bertemakan Culture For an Inclusive Sustainable Planet di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) Bali, Kamis (13/10). Lanjut dia, pada sila pertama, menegaskan jika negara Indonesia ialah negara yang setiap rakyatnya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Indonesia adalah sebuah bangsa yang menjalankan agama dan kepercayaan dengan cara berkeadaban, yaitu saling hormat-menghormati satu sama lain. Sedangkan untuk sila kedua; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Ketiga, Persatuan Indonesia, Keempat; Demokrasi yang berwatak Musyawarah Mufakat dan Kelima; Keadilan Sosial. Menurut Megawati, lima sila tersebut jika diperas akan menjadi Trisila, Tiga Prinsip Dasar, yaitu Ketuhanan, Sosio-Nasionalisme, dan Sosio-demokrasi. Sementara jika Trisila itu diperas lagi menjadi Ekasila, satu prinsip dasar. “Inilah intisari dasar negara Indonesia, yaitu gotong royong yang merupakan sebuah paham yang sangat dinamis, yang menggambarkan suatu kerja kolektif, bahu membahu, saling membantu dalam menyelesaikan masalah dan menciptakan keadilan sosial. Inilah hakikat kebudayaan sejati, yang menurut saya, juga diperlukan dalam relasi antar bangsa di era sekarang ini untuk masa depan dunia yang lebih baik,” ucapnya. Megawati kembali menyebutkan, Pancasila terbukti mampu menyatukan Indonesia yang terdiri dari ratusan kelompok etnik dan lebih dari seribu suku. Pancasila adalah jalan kebudayaan untuk bersatu menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Pancasila juga adalah jalan kebudayaan bagi bangsa Indonesia, untuk terlibat dalam politik luar negeri dengan prinsip bebas aktif. Dijelaskan dia, bebas, artinya tidak menyatakan diri terikat dalam suatu kutub kekuatan manapun dalam geopolitik dan geo-ekonomi. Aktif artinya, melibatkan diri dalam membangun persaudaraan dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Megawati menegaskan, prinsip inilah yang mendorong Indonesia terlibat penuh dalam kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah, seperti menjadi pelopor Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955. Konferensi tersebut membawa gelombang kemerdekaan bagi bangsa-bangsa di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin. Spirit yang sama membawa Indonesia dalam keputusan untuk menggalang kekuatan dunia, agar tidak terseret arus perang dingin Blok Barat dan Blok Timur, dengan mengadakan Konferensi Tingkat Tingi (KTT) Non Blok I di Belgrade, pada 1961. “Saya saat itu berusia 14 tahun. Saya hadir di KTT tersebut sebagai peserta termuda. Dua peristiwa tersebut adalah bagian dari sejarah peradaban manusia yang tidak boleh dilupakan. Saya menaruh perhatian besar terhadap sejarah. Kita tidak boleh menjadi kaum yang ahistoris,” ujarnya. Maria Fatima Bona/FMB Suara Pembaruan