http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/10/13/oezc7d319-timpa-menimpa-isu-agus-anies-ahok


Jumat, 14 Oktober 2016, 06:00 WIB
Timpa Menimpa Isu: Agus, Anies, Ahok


Red: Maman Sudiaman
Republika/Daan 
 
Nasihin Masha
Oleh : Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Seorang ketua umum partai, sekitar 2-3 pekan sebelum 
pencalonan, mengatakan, akan ada kejutan dalam pilkada DKI Jakarta. Benar. 
Setelah melalui sedikit drama sejak Kamis hingga Jumat dinihari (22-23 
September 2016), koalisi Demokrat, PAN, PKB, dan PPP mencalonkan pasangan Agus 
Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni. Kejutan itu benar-benar terjadi. Publik 
dibuat terhenyak. Partai-partai lain pun tak menyangka.

Ada banyak faktor yang membuat itu mengejutkan. Pertama, Agus masih belia. 
Umurnya baru 39 tahun. Kedua, pangkatnya masih mayor, sedangkan gubernur 
umumnya berpangkat mayjen. Ketiga, kariernya di militer terhitung moncer dan 
memiliki prospek yang baik, apalagi ia meraih dua gelar master dari dua 
universitas terbaik di Amerika Serikat. Ia juga lulusan Fort Leavenworth, 
Amerika Serikat, sekolah komando terbaik di dunia. Keempat, ia anak mantan 
presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebetulnya, sejumlah ketua partai khawatir bahwa ini tak menjadi kejutan. 
Seorang mantan ketua umum partai bercerita bahwa ia sudah mengendus isu ini 
sejak lama. Katanya, SBY sudah menyiapkan Agus sejak enam bulan lalu. Ia 
menyiapkannya dengan cermat. Sang ketua umum partai yang menyatakan bahwa akan 
ada kejutan juga sudah mengetahui bahwa PDIP pada akhirnya akan mencalonkan 
Ahok. Drama tarik ulur Jokowi-Megawati-Ahok dinilai hanya soal belum adanya 
kesepakatan saja. Sang ketua umum menceritakan hal itu sejak sekitar dua bulan 
sebelum PDIP menyatakan mencalonkan Ahok. PDIP secara resmi mengumumkan 
mencalonkan Ahok pada Selasa (20/9).

Akhirnya, selama beberapa hari, media massa maupun media sosial ramai 
membincangkan pencalonan Agus. Mulai dari soal kegantengannya, kepintarannya, 
kariernya yang cemerlang berakhir, akan menjadi penerus SBY, dan seterusnya. 
Memang ada sejumlah isu negatif seperti ada cedera sehingga kariernya mentok, 
SBY tega mengorbankan anaknya demi ambisi politiknya, dan sebagainya. Namun 
secara umum nada percakapan bersifat positif. Soal isu cedera cukup dibungkam 
dengan lari pagi di car free day.

Sedangkan pencalonan Anies R Baswedan yang dipasangkan dengan Sandiaga S Uno, 
yang diumumkan pada hari yang sama dengan pencalonan Agus-Sylvi, kalah bersaing 
dalam pergulatan opini. Isu pluralisme dan NKRI yang sudah mulai digulirkan tim 
media Ahok-Djarot pun langsung lunglai. Semua terserap oleh sihir Agus. Pada 
titik ini, SBY kembali memperlihatkan kelasnya sebagai ahli strategi politik. 
Namun perbincangan soal Agus seketika sirna lagi.

Anies langsung menghentak. Kali ini ia membuat isu yang benar-benar berani: 
program kali bersih disiapkan Foke sejak 2008. Anies memang politisi yang 
bernyali. Ia berlatar belakang aktivis mahasiswa cum demonstran di masa Orde 
Baru. Sebagai etnis minoritas Arab ia juga berani bercita-cita tinggi, 
sebagaimana Ahok dan Hary Tanoesoedibjo. Mereka ingin menjadi presiden. Itu hak 
konstitusional sesama anak bangsa. Anies ikut konvensi calon presiden Partai 
Demokrat menjelang pilpres 2014. Ia juga membuat gerakan turun tangan. Ia juga 
sudah memiliki warisan kegiatan yang legendaris: gerakan Indonesia Mengajar. 
Gerakan ini memberi tantangan pada generasi muda untuk mengabdi menjadi guru 
selama satu tahun dan ditempatkan di seluruh pelosok Tanah Air, terutama di 
daerah terpencil dan tertinggal.

Inilah bukti keberanian Anies. Foke adalah figur yang tidak disukai publik. 
Gayanya sinis, kepemimpinannya aristokratis, angkuh, dan yang paling penting 
lagi adalah tak banyak yang dikenang dari Foke saat menjadi gubernur. Pada sisi 
lain, Ahok sudah diidentikkan dengan keberhasilannya membersihkan sungai. Saat 
ini sungai-sungai di Jakarta tertata lebih baik dan juga lebih bersih. Namun 
tiba-tiba Anies membenturkan dua realitas yang saling bertentangan itu. Karena 
itu terjadi perlawanan keras dari kubu Ahok. Muncul meme. Bahkan yang paling 
menohok adalah ketika mesin pencari Google disetting menjadi sinikal. Dengan 
gembira Ahok juga membuat pernyataan soal Google ini. Kalimat “bersih karena 
Foke” dipertanyakan oleh Google menjadi “bersih karena Ahok?” Sehingga ketika 
kita mengetik “kali bersih karena Foke” menjadi dipertanyakan, maksudnya, 
“bersih karena Ahok?” Namun tim lawan tak kalah cerdik. Mereka membuat lelucon 
mematikan yang juga ironik. Ketik “Paris bersih karena Foke” atau “Makkah 
bersih karena Foke”, bahkan “selangkangan bersih karena Foke” menjadi 
dipertanyakan karena Ahok.

Pada sisi lain, Anies pun masuk ke argumen yang lebih substansial. Menurutnya, 
program penataan kali memang diiniasi oleh Foke pada 2008 melalui negosiasi 
dengan Bank Dunia. Namun proyek ini terganjal aturan, sehingga baru bisa 
direalisasikan pada 2012 setelah pemerintah pusat mengeluarkan aturan baru. 
Program yang bernama Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) baru bisa 
ground breaking di masa Jokowi menjadi gubernur, yaitu pada 2013. Program JEDI 
ini kemudian dilanjutkan Ahok. Namun program ini hampir dibatalkan oleh Ahok 
karena targetnya terlalu lama. Setelah ada negosiasi ulang, akhirnya Bank Dunia 
setuju targetnya dipercepat. Karena itu Anies menjelaskan tak ada yang salah 
dengan pernyataannya pada Jumat (30/9) itu.

Isu ini berhenti setelah muncul potongan video pidato Ahok di Pulau Pramuka, 
Kepulauan Seribu. Pidatonya sendiri terjadi pada 27 September 2016. Namun 
publik menganggap baru ramai setelah akun di Facebook atas nama Buni Yani 
mengunggahnya pada Kamis (6/10) dinihari, pukul 00.28. Video itu berdurasi 
sekitar 30 detik, jauh lebih pendek dari video aslinya yang 1:48:33. Buni 
menulis: “PENISTAAN TERHADAP AGAMA? 'Bapak-Ibu [pemilih Muslim]...dibohongi 
Surat Al Maidah 51'...[dan] 'masuk neraka [juga Bapak-Ibu] dibodohi'. 
Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini”. Pada 11 
Oktober, Buni Yani menjelaskan bahwa ia mendapatkan potongan video itu dari 
akun Media NKRI, yang melintas di lini masa Facebook-nya. Akun itu 
mengunggahnya pada Rabu (5/10) pukul 20.52. Akun itu menulis: “ahok mengatakan 
ada kebohongan pada al-maidah ayat 51. bagaimana menurut anda? komen di bawah.” 
Namun ketika dicek di akun itu, tidak ada postingan yang dimaksud. Tidak jelas 
mengapa. Apakah sudah dihapus atau apa. Di Youtube video 30 detik itu sudah ada 
sejak 5 Oktober. Jadi bukan akun Buni Yani yang pertama mengunggahnya.

Pada Senin (10/10) Ahok meminta maaf atas ucapannya. Padahal sebelumnya Ahok 
mengaku tak ada yang salah dengan pernyataannya. Memang dalam pernyataan minta 
maaf itu Ahok juga tak menyebut bahwa dirinya salah. Apapun, permintaan maaf 
itu membuat isu ini perlahan mereda. Walaupun masih menyisakan pengaduan ke 
polisi. Ahok diadukan sejumlah pihak atas tuduhan penistaan agama. Buni Yani 
juga diadukan relawan Ahok atas tuduhan pelanggaran UU ITE.

Jika kita perhatikan, maka urutan kejadiannya adalah 23 September Agus 
dicalonkan. Pada 30 September Anies menyebutkan bahwa program penataan sungai 
dilakukan sejak Foke. Sebetulnya, Ahok mencoba masuk lebih dulu ketika pada 27 
September Ahok pidato soal Al Maidah:51. Pidato itu diunggah di Youtube di 
saluran milik Pemprov DKI pada 28 September. Namun itu belum bunyi hingga pada 
5 Oktober muncul potongan videonya.

Dalam politik kita harus sering-sering tidak berpikir secara linear. Walau 
substansi tetap penting, tapi sasarannya justru pada efeknya. Dalam power play, 
yang utama adalah meraih dukungan dan perhatian publik. Karena itu dalam 
survei, yang pertama dilihat adalah popularitas, setelah itu elektabilitas. Tak 
ada elektabilitas yang lebih tinggi daripada popularitasnya. Maka yang dikejar 
pertama adalah popularitas. Timpa menimpa isu tiga kandidat dalam tiga pekan 
itu memperlihatkan upaya merebut ruang publik agar media massa dan media sosial 
fokus membicarakan pihak masing-masing untuk menggapai popularitas. Setelah 
saling tikam isu dalam tiga pekan ini, kini tim sukses masing-masing sedang 
melakukan evaluasi dan juga mengecek tingkat popularitas dan elektabilitas 
jagoannya.

Kita sebagai publik yang ingin mendapatkan pemimpin terbaik jangan mudah 
terjebak oleh manuver-manuver. Perhatikan karakter pribadinya, siapa penyandang 
dananya, ke mana afiliasi ideologisnya, siapa teman-teman dan timnya, dan 
seterusnya. Jangan mudah terbuai oleh aksi panggung dan kritis dalam menyerap 
informasi. Dari situlah kita akan menentukan pilihan saat di bilik suara nanti.

Sebagai pemilih, kita agar tetap tenang. Tak perlu emosi. Kita tonton saja, 
untuk menilai siapa yang terbaik.













Kirim email ke