Indonesia Siapa Punya?
Sunday, 27 November 2016, 00:20 WIB

Red: Agus Yulianto

Republika/Da'an Yahya

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/11/26/oh8cu6396-indonesia-siapa-punya
 



KH Haedar Nashir (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Haedar Nashir


Siapa sesungguhnya pemilik Indonesia? Di negeri ini, tentu tak satu pihak mana 
pun berhak menepuk dada sebagai paling berdarah Merah Putih. Mengklaim diri 
sebagai pewaris dan penjaga utama Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka 
Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945. Indonesia milik semua untuk semua.

Sangat gegabah jika ada orang menyatakan, bahwa Indonesia belum teruji 
kebinekaannya jika minoritas belum menjadi seorang Presiden. Lebih-lebih ketika 
ujaran itu diungkapkan dengan nada angkuh, seolah ukuran keindonesiaan ialah 
kedigdayaan diri dalam singgasana kuasa. Sebuah kesombongan yang dapat menjadi 
duri tajam di tubuh negeri ini.

Manakala ada segelintir orang ingin menguasai Indonesia dengan hasrat kuasa 
berlebih. Ingatlah pesan Bung Karno, "Negara Republik Indonesia ini bukan milik 
sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan 
milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang 
sampai Merauke!". Jangan ada pihak yang ambisius untuk memiliki Indonesia 
dengan nafsu chauvisnis.

Bercerminlah pada jiwa kenegarwan para pendiri bangsa. Tatkala Ki Bagus 
Hadikusumo, menyampaikan gagasan Islam sebagai dasar negara pada sisang Badan 
Penyelidik Usaha-usaha Peraiapan Kemerdekaan (BPUPK), Ketua Pengurus Besar 
Muhammadiyah ini dengan tegas menyatakan bahwa dirinya adalah "seorang bangsa 
Indonesia tulen" dan "sebagai Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya 
dan merdeka".

Pengorbanan umat

Umat Islam meski mayoritas dan kuat keyakinan keagamaaanya, sungguh mencitai 
dan menjadi tonggak penyangga keindonesiaan yang setia. Umat juga sangat 
toleran dan menjunjung tinggi kebhinekaan. Keislamannya tidak opisisi biner 
dengan keindonesiaan dan kemajemukan bangsa, bahkan menjadi perekat utama. 
Islam menjadi kekuatan integrasi nasional, ujar Prof Koentjaraningrat.

Merupakan suatu ironi dan melukai hati manakala umat Islam dianggap sebagai 
golongan ekslusif, yang hanya mementingkan urusannya sendiri. Keislaman juga 
bukan tidak berseberangan dengan keindonesiaan. Jika ada yang berlogika, "Tak 
perlulah bicara Islam, sebutlah Indonesia". Pandangan itu justru beraroma 
ekslusif, karena mengandung makna penegasian Islam di negerinya sendiri.

Tak perlu ada Islamofobia di negeri muslim terbesar ini, karena watak umatnya 
juga toleran dan menjadi penyangga utama Indonesia. Ketika terdapat arus 
aspirasi umat Islam untuk memperoleh hak dan keadilan, sungguh bukankah 
primordialisme. Aspirasi itu ekspresi yang wajar, lebih-lebih salurannya 
demokratis dan konstitusional. Jangan pandang Islam di negeri ini sebagai 
ancaman keindonesiaan dengan segenap pilarnya.

Pandangan negatif itu tentu sangat tidak beralasan. Perjuangan umat Islam 
melawan penjajah beratus tahun sarat heroisme. Islam dan umat Ialam sangat 
ditakuti Penjajah, hingga memggunakan berbagai muslihat yang licik. Para tokoh 
seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol harus menyerah karena ditipu. 
Snouck Hurgronje bahkan harus mengaku Muslim untuk dapat masuk ke Saudi Arabia 
guna mempelajari Islam untuk menaklukkan perlawanan umat Islam.

Ketika pergerakan nasional awal abad keduapuluh menggunakan cara-cara modern, 
umat Islam pun berdiri di garda depan. Adalah Sarekat Islam dan Muhammadiyah 
yang memelopori pergerakan Islam modern untuk melawan penjajah dan mengubah 
nasib rakyat Indonesia yang terbelakang menuju gerbang kemerdekaan dan 
kemajuan. Lahirnya Hizbul Wathan atau Pasukan Tanah Air tahun 1918 salah satu 
contoh kepeloporan bela bangsa kala itu, sebagai wujud jihad fisabilillah.

Tatkala Indonesia diambang retak satu hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945 
dalam peristiwa Piagam Jakarta, umat Islam melalui tokoh utamanya Ki Bagus 
Hadikusumo dengan mediator Kasman Singodimedjo memberi jalan keluar, meski 
harus berkorban luar biasa. Padahal Piagam Jakarta kala itu merupakan 
Gentlement Agreement semua golongan, yang pelopor utamanya ialah Soekarno.

Para tokoh Islam yaitu Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosujoso, 
dan Abdul Wahid Hasyim, sebagai anggota Panitia Sembilan yang disebut mewakili 
golongan Islam harus merelakan tujuh kata "Ketuhanan dengan kewajiban 
menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti menjadi "Ketuhanan 
Yang Maha Esa". Pengorbanan keyakinan Islam itu, meski ada unsur siasat tidak 
fair, dilakukan para wakil umat Islam demi keutuhan Negara Kesatuan Republik 
Indonesia.

Kurang apalagi sebenarnya pengorbanan dan komitmen umat Islam Indonesia untuk 
bangsa dan negaranya. Jika mau memaksakan kehendak sebagai mayoritas pasti 
terjadi. Lebih-lebih tokoh sentral seperti Sukarno menjadi pemrakarsa dan 
sangat mendukung Piagam Jakarta itu, hingga pada 5 Juli 1959 dalam Dekrit 
Presiden, konsisten menjadikan Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD 1945. Itulah 
hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia, ujar Menteri Agama Alamsjah Ratu 
Perwiranegara.

Namun ibarat ibu yang melahirkan anak, kasih sayangnya melampaui luasnya 
samudra. Meski laksana anak gemuk yang memperoleh baju sempit karena semua 
diberi pakaian berukuran sama, umat Islam tetap selalu memberi tak pernah 
meminta lebih. Apalagi tatkala ada segolongan kecil menguasai kue nasional yang 
melampaui takaran, umat Islam tetap tak marah meski hatinya terluka dan dirinya 
marjinal dari pusaran utama Indonesia.

Urat sabar umat Islam juga cukup lebar dan tidak putus. Tatkala hak-hak 
dasarnya kurang terpenuhi, karena satu dan banyak sebab, yang menjadikan 
dirinya terpinggir dalam sejumlah hal, pengkhidmatannya untuk negara tak kenal 
lekang. Bahkan ketika denyut nadi keagamaannya tersakiti dan menunut keadilan, 
malah dipandang sebagai ancaman bagi kebhinekaan. Kebhinekaan terkesan milik 
sekelompok orang yang bersuara lantang di ruang publik.

Nilai luhur utama

Keindonesiaan itu luhur dan bercita-cita. Bung Hatta berkata: "Indonesia 
merdeka tidak ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk 
mempergunakannya memenuhi cita-cita rakyat kita, yakni hidup bahagia dan makmur 
dalam pengertian jasmani maupun rohani". Hatta menarik keindonesiaan pada 
cita-cita dan perwujudannya dalam dunia nyata. Manakala ada segolongan kecil 
yang bahagia dan berkemakmuran, sementara mayoritas nestapa maka kondisi 
timpang ini harus diluruskan dan dipecahkan secara kolektif. Negara atau 
pemerintah wajib hadir dan tidak boleh abai atas disparitas nasional ini.

Pemilik Indonesia juga bukan mereka yang setiap hari lantang memekikkan kata 
merdeka. Bukan pula karena sering merayakan segala kegiatan simbolik berlabel 
Indonesia, kebhinekaan, dan jargon-jargon bernuansa merah-putih lainnya. Semua 
baju luar itu sekadar atribut dan verbalisme, belum membuktikan keindonesiaan 
yang esesni dan sejati. Keindonesiaan itu harus bersemi dalam jiwa, alam 
pikiran, sikap, dan tindakan yang luhur dan utama sebagaimana disemaikan oleh 
para pendiri bangsa tahun 1945 secara otentik. Keindonesiaan yang membumi.

Maka dalam keindonesiaan, termasuk di dalamnya kebhinekaan, sesungguhnya ada 
nilai-nilai utama yang mesti dijadikan pedoman dan ditegakkan oleh seluruh 
komponen bangsa. Tumpuannya pada nilai-nilai fundamental yang hidup subur dalam 
bumi rakyat Indonesia, sebutlah Agama dan Pancasila. Agama di negeri ini bahkan 
telah menjadi jiwa kebangsaan dan mendapat tempat konstitusional sebagaimana 
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang-tubuhnya pasal 29. Ingatlah 
kemerdekaan Indonesia itu berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Agama juga telah 
hidup mendarahdaging dalam jatidiri bangsa jauh sebelum negara Indonesia 
terbentuk.

Agama harus memperoleh tempat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, 
dan bernegara. Agama apapun tidak boleh disepelekan, diabaikan, dan 
dipinggirkan dari denyut nadi kehidupan bangsa dan negara. Sekali agama dan 
perasaan beragama dicederai, dinodai, dan dinista oleh perangai yang semberono 
maka keindonesiaan dan kebhinekaan pun terlukai. Ada niat atau tidak diniati, 
tindakan yang berakibat pada pencederaan keyakinan dan rasa keberagamaan 
tetaplah bermasalah dan muaranya menodai keberagamaan.

Namun bagi umat beragama, tentu agama pun harus menjadi nilai luhur 
transendental yang mencerahkan jiwa, hati, pikiran, sikap, dan tindakan bagi 
para pemeluknya. Sehingga dengan agama para umatnya hidup berketuhanan, 
berperikemanusiaan, dan berkeadaban mulia. Setiap insan beragama menjadi shaleh 
secara individual dan sosial, serta melahirkan sosok-sosok teladan yang 
otentik. Jujur dan tidak menjualbelikan urusan agama. Beragama dan menyuarakan 
ajaran damai pun bukanlah retorika di pentas forum dan wacana megah, tetapi 
harus dalam perbuatan otentik. Para tokohnya pun lurus hati dan tidak seperti 
burung merak. Agama harus benar-benar menjadi rahmat bagi semesta.

Nilai luhur lain dalam hidup berbangsa ialah kebersamaan yang otentik atau 
genuin sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan kebudayaan bangsa. Tidak 
boleh segelintir orang menguasai Indonesia, yang menyebabkan hilangnya keadilan 
sosial bagi seluruh rakyat. Tidak boleh seseorang atau sekelompok orang karena 
merasa digdaya lantas berbuat sekehendak dirinya, yang menyebkan kehidupan 
berbangsa secara kolektif menjadi retak berantakan. Apalagi manakala perangai 
ugal-ugalan itu mengatasnamakan keindonesiaan, kebhinekaan, dan Pancasila.

Jika semua merasa memiliki Indonesia maka belajarlah hidup dalam kebersamaan 
yang otentik dan tidak egoistik. Perlu saling membangun keadaban luhur dalam 
berbangsa dan bernegara. Mereka yang besar jangan menguasai, yang kecil pun 
tidak anarki. Semua harus saling berbagi, saling memahami, serta menjamin hak 
hidup yang damai dan saling memajukan dengan jiwa tulus tanpa pura-pura. 
"Mayoritas melindungi minoritas, minoritas menghormati dan menghargai 
mayoritas," tutur Presiden Joko Widodo. Lalu, untuk apa menguasai Indonesia 
dengan hasrat angkara?


Kirim email ke