Refleksi : Program penggusuran adalah murni program Neoliberalisme dalam rangka 
Finansialisasi; finansialisasi adalah merupakan unsur utama dari proyek  
neoliberal, seperti yang sudah saya kemukakan dalam tulisan saya yang berjudul 
Rezim Jokowi-JK, adalah pendukung setia bagi berkembangnya sistem ekonomi 
Neoliberalisme . Dari tulisan itu jlas bahwa rezim Jokowi – JK adalah rezim 
yang telah membuang jauh-jauh UUD 45, khususnya Pasal 33 UUD 45 dan UU 
Landreform. Landreform bagi Jokowi adalah pembagian tanah kepada para pemik 
modal besar domestik dan asing.

LANDREFORM ADALAH BAGIAN MUTLAK REVOLUSI INDONESIA.

Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, 
sama saja dengan pohon tanpa ranting, sama saja dengan omong besar tanpa isi. 
Melaksanakan Landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari 
Revolusi Indonesia.

Perombakan hak tanah dan penggunaan tanah, agar masyarakat adil dan makmur 
dapat terselenggara dan khususnya taraf hidup tani meninggi dan taraf hidup 
seluruh rakyat jelata meningkat.

Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan dari modal 
asing terhadap rakyat Inadonesia .

Landreform disatu fihak berarti penghapusan segala hak-hak asing dan 
konsesi-konsesi kolonial atas tanah, dan mengakhiri penghisapan feodal secara 
berangsur-angsur, dilain fihak Landreform berarti memperkuat dan memperluas 
pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani. (dikutip 
dari Djarek (Jarek) halaman 224)

 Jarek adalah singkatan dari JALANNYA REVOLUSI INDONESIA (amanat Presiden 
Republik Indonesia Bung Karno Pada  hari Proklamasi 17 Agustus 1960).  Amanat 
tersebut sampai sekarang masih tetap Relevan, karena Revolusi Indonesia yang 
bertujuan untuk meciptakan suatu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, 
tanpa penghisapan manusia atas manusia, sampai sekarang ini belum tercapai, 
Proklamasi kemerdekaan kita mengabsahkan dan memberi dimensi bagi misi-misi 
kultural, yang dalam konteks ini adalah berkaitan dengan masalah Agraria.

Jadi tanparagu-ragu kita boleh  menilai bahwa kebijakan rezim Neoliberal 
Jokowi-JK dan Ahok adalah kebijakan yang sangat bertentangan dengan UUD 45, 
khususnya dalam konteks UU Agraria, seperti yang di maksud oleh revolusi 
Indonesia.

saya tidak menolak pembangunan, yang saya tolak adalah pelaksanaan pembangunan 
dengan cara menggusur semena-mena tanah-tanah hunian dan pertanian rakyat , 
dengan alasan karena rakyat menempati tahan  milik  negara.

Yang perlu ditekannya disini adalah: Model pemilikan saham peresahaan oleh 
kelompok pelaku ekonomi terkait, perlu ditrapkan jaga pada penggusuran tanah 
rakyat demi pembangunan. Dalam model restrukturisasi dan demokrasi pemilikan 
tanah, rakyat  yang tanahnya digusur tidak sekedar memperoleh ganti rugi, tapi 
juga harus ikut memiliki saham atas invaestasi apapun yang dibangun diatas 
tanah rakyat yang digusur, sehingga tidak terjadi proses pemiskinan. 

 

Secara singkat dapat dikatakan model Gotongroyaong, artinya mengikutsertakan 
rakyat, bekerja dengan mendapatkan upah yang sepadan demi terlaksanakannya 
penghidupan yang layak dan berkelanjutan. Ini berarti memupuk kepribadian kita 
(gotong royong), terutama di desa-desa dengan pelaksanaan pembangunan yang 
sesuai dengan kebutuhan Rakyat, dan yang dalam jangka pendek kelihatan hasilnya.

 

Roeslan.

 

 

Von: Tatiana Lukman [mailto:jetaimemuc...@yahoo.com] 
Gesendet: Freitag, 20. Januar 2017 14:18
An: Yahoogroups; DISKUSI FORUM HLD; GELORA_In
Cc: Jonathan Goeij; Lusi.D; Daeng; Roeslan; Rachmat Hadi-Soetjipto; Mitri; Gol; 
Harry Singgih; Lingkar Sitompul; Ronggo A.; Ajeg; Mang Broto; Farida Ishaja; 
Marsiswo Dirgantoro; Billy Gunadi; writejo...@gmail.com; in...@ozemail.com.au; 
Karma I Nengah [PT. Altus Logistic Service Indonesia]; C. Manuputty; 
octaviasyafarw...@gmail.com; denise_zai...@hotmail.com; Oman Romana; Ratih Harjo
Betreff: Menggusur Kelas Menengah

 

 

 Das Bild wurde vom Absender entfernt.

 

 

 <http://www.iqbalfarabi.me/opinion/menggusur-kelas-menengah/> JANUARY 14, 2017 
/  <http://www.iqbalfarabi.me/opinion/menggusur-kelas-menengah/#comments> 70 
COMMENTS

MENGGUSUR KELAS MENENGAH

Setelah mendengar kabar  
<http://megapolitan.kompas.com/read/2017/01/06/07325911/warga.bukit.duri.menang.di.ptun.pemprov.dki.harus.ganti.rugi>
 kemenangan gugatan PTUN warga Bukit Duri pada 5 Januari lalu, malam harinya 
saya langsung membuat draft tulisan ini. Tapi kemudian saya sadar, saya ini 
awam hukum. Oleh karena itu, saya putuskan saya harus mempelajari kembali 
mengenai penggusuran dari sebanyak mungkin perspektif yang bisa saya himpun. 
Selama satu minggu lebih saya banyak membaca dan bertanya kepada mereka yang 
saya anggap lebih paham mengenai persoalan penggusuran. Baru setelah selesai 
debat pertama Pilkada DKI semalam saya bisa merampungkan draft tulisan ini.

 

Ada banyak hal yang diperdebatkan para pasangan calon guberur dan wakil 
gubernur tadi malam. Setiap pendukung masing-masing pasangan calon tentu merasa 
jagoannya lah yang memenangkan perdebatan kemarin. Soal siapa yang memenangkan 
debat, saya tidak terlalu ambil pusing. Tapi ada satu topik yang menurut saya 
sangat penting untuk kita diskusikan. Topik tersebut, sebagaimana yang sudah 
bisa ditebak dari paragraf pembukaan di atas, adalah mengenai penggusuran.

Pasalnya, saya tidak tahan mendengarkan argumen-argumen petahana yang sangat 
keliru mengenai penggusuran dan hak-hak warga korban gusuran. Ketika 
argumen-argumen keliru ini semalam disiarkan secara live di tiga stasiun 
televisi nasional sekaligus, maka stigma-stigma yang diwakili oleh twit berikut 
akan semakin menguat:

 <https://twitter.com/hotradero>  Follow

 <https://twitter.com/hotradero> Poltak Hotradero @hotradero

Anies: Anda melanggar, anda akan dihukum. | Tinggal di bantaran sungai 
melanggar hukum tidak? Menduduki tanah negara melanggar hukum tidak?

3:57 PM - 13 Jan <https://twitter.com/hotradero/status/819921314659995648>  2017

Melalui tulisan ini, berbekal apa yang sudah saya pelajari sejauh ini, saya 
akan membantah pandangan keliru Bung Poltak Hotradero yang menganggap bahwa 
para korban penggusuran adalah para pelanggar hukum. Tidak hanya itu, saya juga 
berargumen bahwa penggusuran yang selama ini dipersepsikan hanya memakan korban 
warga yang kurang mampu secara ekonomi, sejatinya juga merupakan penggusuran 
terhadap kelas menengah.

Melanggar Hukum

 

Mari kita mulai dengan pertanyaan Bung Poltak di atas, “menduduki tanah negara 
melanggar hukum tidak?” Pertanyaan ini sudah keliru sejak dalam premis. Setelah 
mempelajari topik ini, hal paling mengejutkan yang saya temukan adalah 
kenyataan bahwa ternyata dalam peraturan mana pun di Indonesia ini, tidak ada 
istilah tanah negara. Ini bukan kata saya, mana berani saya membuat pernyataan 
seberat itu tentang sesuatu yang di luar domain keilmuan dan pengetahuan saya. 
Pernyataan tadi adalah  
<http://properti.kompas.com/read/2017/01/11/094734821/soal.bukit.duri.pemprov.jakarta.dianggap.terapkan.aturan.kolonial>
 ucapan Bu Nursyahbani Katjasungkana, Ketua Pembina Yayasan Lembaga Bantuan 
Hukum Indonesia.

 

Konsep bahwa “semua tanah-tanah yang dikuasai oleh penduduk pribumi yang tidak 
dapat dibuktikan oleh kepemilikannya adalah milik negara” adalah hukum kolonial 
yang dibuat oleh penjajah Belanda. Setelah Indonesia merdeka, para founding 
fathers kita justru berusaha menciptakan hukum pertanahan yang menempatkan 
negara hanya sebagai regulator agar kepemilikan tanah oleh rakyat bisa 
berlangsung dengan tertib dan memenuhi prinsip keadilan sosial. Konsep ini 
kemudian tertuang menjadi undang-undang nomor  
<http://www.bpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Undang-Undang/undang-undang-nomor-5-tahun-1960-920>
 5 tahun 1960 mengenai Pokok-Pokok Agraria yang kemudian lebih dikenal sebagai 
UUPA.

 

Ada cukup banyak pasal di UUPA tahun 1960 tadi. Setelah membaca pasal-pasal 
tersebut, juga setelah membaca runutan opini yang sangat apik  
<https://twitter.com/d_baonk/status/817354581457846273> ini, saya menyimpulkan 
bahwa berdasarkan UUPA, justru menjadi kewajiban negara sebagai fasilitator dan 
pemegang kewenangan untuk mengupayakan rakyat indonesia memiliki tanah. 
Kesimpulan awam saya tadi kemudian saya konfirmasi balik ke Bu Nursyahbani dan 
lantas dijawab oleh beliau dengan dua kata yang afirmatif, “tepat sekali”.

Dari UUPA tadi kemudian lahirlah produk-produk hukum turunan yang memungkinkan 
seseorang yang menguasai barang atau tanah selama 10 tahun tanpa ada gugatan 
pihak lain harus dianggap sebagai yang berhak. Mengutip  
<http://properti.kompas.com/read/2017/01/11/144025221/tanah.dikuasai.negara.tidak.otomatis.milik.negara>
 wawancara Bu Nuri dengan Kompas, “seharusnya pemerintah melayani warga yang 
tidak mempunyai bukti hak, untuk secara proaktif memberikan pengesahan 
surat-surat yang dibutuhkan tersebut”.

 

Kembali ke pertanyaan Bung Poltak, selain sudah keliru sejak dalam premis 
“tanah negara”, kenyataannya banyak warga korban penggusuran yang sudah 
memiliki bukti legal kepemilikan tanahnya (dalam berbagai bentuk). Oleh karena 
itulah,  
<https://m.tempo.co/read/news/2017/01/06/214833276/warga-bukit-duri-menang-pemerintah-harus-bayar-ganti-rugi>
 dalam amar keputusannya, majlis hakim sidang PTUN yang memenangkan warga Bukit 
Duri menyatakan bahwa para korban gusuran adalah pemilik tanah yang sah dan 
berhak mendapatkan kompensasi yang layak. Alih-alih mengakui bahwa kebijakan 
penggusuran selama masa kepemimpinan Pak Ahok salah dan cacat hukum, banyak 
para buzzer dan pembela fanatiknya yang justru ikut strategi  
<https://medium.com/@forumkampungkota/stigmatisasi-justifikasi-hancurkan-f8b956bc6f9c#.tyy2dg1ri>
 stigmatisasi korban gusuran sebagai pelanggar hukum yang dilakukan oleh Pak 
Ahok.

 

Jadi siapa yang sebenarnya melanggar hukum? Jawabannya jelas, justru Pemprov 
DKI di bawah kepemimpinan Pak Ahok lah yang berkali-kali terbukti telah 
melanggar aturan. Pada kasus-kasus di mana para warga korban penggusuran berani 
menuntut balik, rekor Pemprov DKI masih 100% kalah. Mulai dari  
<http://metro.sindonews.com/read/1104401/170/warga-bidara-cina-kalahkan-ahok-di-ptun-1461736914>
 kasus rencana penggusuran Bidara Cina hingga Bukit Duri. Mengutip salah satu 
jurnalis favorit saya, Mas Dandhy Laksono,

 <https://twitter.com/Dandhy_Laksono>  Follow

 <https://twitter.com/Dandhy_Laksono> Dandhy Laksono @Dandhy_Laksono

Dalam pertarungan yang tidak melibatkan tentara, polisi, dan satpol PP, 
Gubernur Ahok kerap kalah menghadapi warga.

11:29 AM - <https://twitter.com/Dandhy_Laksono/status/737576799098413056>  31 
May 2016

Greater Good

Argumen lain yang juga disampaikan petahana dalam debat tadi adalah penggusuran 
sebagai langkah yang dilakukan demi kebaikan yang lebih besar, for greater 
good. Pertama, bagi masyarakat umum, penggusuran dilakukan sebagai langkah 
untuk menanggulangi banjir. Kedua, bagi para korban gusuran, pemindahan ke 
rusun dianggap sebagai solusi yang sudah layak dan manusiawi.

 

Benarkah klaim petahana bahwa penggusuran hanya dilakukan di daerah-daerah 
bantaran sungai? Berdasarkan penelusuran singkat Tirto.id ternyata tidak benar. 
Dan saya yakin masih banyak lokasi lain yang digusur yang bukan karena berada 
di bantaran sungai.

Das Bild wurde vom Absender entfernt.

 <https://twitter.com/TirtoID> tirto.id 

 <https://twitter.com/TirtoID> ✔@TirtoID

Ahok: Tak pernah gusur yg bukan di bantaran sungai | Data: Salah. Mis: Lbk 
Bulus (Juni 2015) & Psr Minggu (Juni 2015)  
<https://twitter.com/hashtag/PeriksaData?src=hash> #PeriksaData 
<https://twitter.com/hashtag/Tirto?src=hash> #Tirto

3:33 PM - 13 Jan <https://twitter.com/TirtoID/status/819915289332776966>  2017

Pun terhadap mereka yang tinggal di bantaran sungai seperti di Bukit Duri atau 
Kampung Pulo, penggusuran bukan menjadi satu-satunya solusi. Cibiran yang 
sering kita dengar dari para buzzer politik, “kalau tidak digusur solusinya 
apa? Jangan cuma kritik doang!” . Padahal solusi selain relokasi ada. Misalnya 
seperti yang dikatakan Pak Anies pada debat tadi malam, solusi berupa urban 
renewal sudah pernah berhasil diterapkan di Kali Code dan mendapatkan  
<http://www.akdn.org/fr/architecture/project/kampung-kali-cho-de> penghargaan 
dari Aga Khan Development Network. Dengan model Kali Code, warga bisa tetap 
tinggal di lokasi asal atau tidak jauh dari lokasi asal sementara fungsi sungai 
bisa dinormalisasi agar tidak menyebabkan banjir.

Warga yang tinggal di bantaran sungai pun bukannya tidak punya inisiatif solusi 
sendiri. Warga Kampung Pulo, misalnya, memiliki solusi berupa 
<https://medium.com/forumkampungkota/kampung-susun-manusiawi-kampung-pulo-4eb363c74b31#.c3lf4kt6j>
 kampung susun yang memungkinkan warga tetap tinggal di sekitar daerah tempat 
tinggal asal mereka sementara normalisasi terhadap Kali Ciliwung tetap bisa 
dilakukan.

 

Bahkan, juga seperti yang diingatkan oleh Pak Anies pada debat semalam, justru 
Pak Jokowi dan Pak Ahok sendiri yang lima tahun lalu berjanji pada warga 
Kampung Pulo, Bukit Duri, dan beragam tempat lainnya bahwa warga akan ditata 
dan bukannya digusur. Apakah pada 2012 dulu Pak Jokowi dan Pak Ahok sedang 
membodoh-bodohi rakyat dengan janji manis demi kemenangan Pilkada seperti 
cemooh Pak Ahok pada debat semalam? Pada 2012 saya memilih Pak Jokowi dan Pak 
Ahok karena percaya program menata dan bukannya menggusur adalah program yang 
masuk akal, bukan program akal-akalan semata.

Selanjutnya, benarkah relokasi ke rusunawa merupakan solusi yang layak dan 
manusiawi bagi para warga korban gusuran? Sebelum menjawab mengenai kondisi 
warga korban penggusuran yang direlokasi ke rusunawa, perlu kita ketahui bahwa 
menurut  
<http://www.bantuanhukum.or.id/web/wp-content/uploads/2016/02/Laporan-Penggusuran-2015_LBHJ_web.pdf>
 laporan LBH Jakarta,  dari 113 penggusuran yang terjadi di tahun 2015, hanya 
pada 33% kasus warga korban penggusuran mendapatkan solusi berupa relokasi ke 
rusun. Pada 67% penggusuran sisanya, warga korban penggusuran tidak mendapat 
solusi apapun.

Bahkan bagi mereka yang mendapat kompensasi berupa relokasi ke rumah susun pun, 
kompensasi tersebut sebenarnya tidak layak. Bayangkan orang-orang yang tadinya 
memiliki tanah dan rumahnya sendiri, diambil tanah dan rumahnya nyaris tanpa 
ganti rugi sama sekali, kemudian dipindahkan ke rusun dengan keharusan membayar 
sewa beberapa ratus ribu setiap bulannya. Ditambah dengan hilangnya akses ke 
mata pencaharian ketika pindah ke rusun, tidak mengherankan kalau akhirnya  
<http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/26/16190041/ribuan.penghuni.rusun.menunggak.sewa>
 46% penghuni rusunawa terancam kembali terusir akibat sudah menunggak 
pembayaran lebih dari 3 bulan.

 

Jika pada debat semalam petahana dengan jumawa mengklaim bahwa Pemprov DKI 
sudah memberikan bantuan kepada mereka, saya perlu garis bawahi bahwa angka 600 
ribu per bulan yang disebut petahana adalah bantuan bagi pemegang KJP tingkat 
SMA dalam bentuk saldo pada kartunya masing-masing. Dengan aturan pembelanjaan 
KJP yang cukup spesifik, jangankan untuk membantu membeli kebutuhan hidup 
sehari-hari, kartu yang dibangga-banggakan petahana tersebut dipakai untuk 
langsung membayar rusunawa saja tidak bisa.

Warga korban penggusuran yang tinggal di rusunawa akhirnya mengalami penurunan 
kualitas hidup. Ini bukan kesimpulan saya semata. Hasil investigasi dari 
berbagai pihak, mulai dari  
<http://www.bantuanhukum.or.id/web/mereka-yang-terasing-laporan-penggusuran-paksa-rumah-susun/>
 LBH Jakarta,  
<https://medium.com/cahaya-tanah-gusuran/gusur-rusunawa-dan-ketidakadilan-ruang-6ff33877bb6#.ehwzsxaew>
 The Jakarta Post, hingga 
<https://tirto.id/penghuni-rusun-harapan-saya-punah-ccoU>  Tirto.id juga 
menghasilkan kesimpulan yang senada.

Jadi, pernyataan bahwa penggusuran massal yang dilakukan oleh Pemprov DKI 
merupakan langkah yang bertujuan demi kebaikan yang lebih besar bagi warga 
secara umum maupun warga korban penggusuran sendiri adalah sebuah pernyataan 
yang keliru, kalau tidak boleh dibilang jahat.

Kelas Menengah

Pada dasarnya, saya tidak percaya bahwa kelas menengah Jakarta benar-benar 
telah kehilangan empati terhadap korban penggusuran sama sekali. Saya percaya, 
dukungan kelas menengah Jakarta terhadap penggusuran lebih karena misinformasi 
terhadap fakta-fakta mengenai aspek hukum dan dampak penggusuran seperti yang 
sudah kita diskusikan di atas. Selain dua poin misinformasi tadi, ada satu 
aspek lagi mengenai penggusuran yang nampaknya jarang disadari oleh banyak 
kelas menengah. Aspek tersebut adalah kenyataan bahwa kebijakan penggusuran 
besar-besaran ini sejatinya juga telah menggusur kelas menengah dari kota 
Jakarta.

 
<http://properti.bisnis.com/read/20161216/48/612683/hanya-17-generasi-millenial-mampu-beli-rumah-di-jakarta>
 Hasil riset Rumah123.com berkerjasama dengan Karir.com menyatakan bahwa hanya 
17% generasi milenial (mereka yang terlahir antara tahun 1981 – 1994) yang 
mampu membeli rumah di Jakarta. Dengan rata-rata penghasilan generasi milenial 
Jakarta sebesar 6,1 juta rupiah per bulan, 83% kelas menengah Jakarta tidak 
memenuhi syarat penghasilan minimal 7,5 juta rupiah untuk bisa mencicil rumah 
seharga 300 juta rupiah dengan tenor 15 tahun. Asumsi yang diambil Rumah123 ini 
masih terlalu baik. Rasa-rasanya sulit sekali mencari rumah seharga 300 juta 
rupiah di Jakarta.

Jangankan rumah, apartemen tipe studio saja barangkali sudah sulit ditemukan 
yang seharga 300 juta rupiah dan masih berlokasi di pusat kota. Padahal, 
membeli apartemen,seperti yang  
<https://tirto.id/dibelit-masalah-di-hunian-bertingkat-cfDS> diulas secara 
mendalam oleh Tirto.id, ternyata juga datang dengan masalahnya tersendiri. 
Mulai dari konflik antara pemilik dengan pengembang, biaya tambahan yang sering 
dibebankan secara sepihak, hingga kisruhnya urusan sertifikat.

 

Tak cukup dengan 113 titik penggusuran di seluruh Jakarta pada tahun 2015, 
rupanya Pemprov DKI masih menargetkan lebih banyak lagi lokasi penggusuran. 
Masih menurut LBH Jakarta, untuk tahun 2016 lalu awalnya Pemprov DKI 
menargetkan  
<http://www.aktual.com/waspada-ancaman-penggusuran-paksa-jakarta-meningkat-jelang-lebaran/>
 325 titik penggusuran. Pengamatan saya, rencana tersebut akhirnya tidak 
terealisasi salah satunya karena meluasnya kecaman terhadap aksi penggusuran 
yang dilakukan oleh Pemprov DKI.

Jika ratusan titik kampung-kampung kota digusur, satu hal yang niscaya: 
harga-harga properti di Jakarta akan semakin tinggi tanpa perlu dikomando 
“senin harga naik” oleh host acara advertorial di televisi. Jika harga-harga 
properti di kota Jakarta hari ini terasa tidak terjangkau bagi kelas menengah, 
laju angka penggusuran akan membuat harga-harga tersebut semakin tidak 
terjangkau. Padahal, menurut data BPS tahun 2014, ada 1,3 juta rumah tangga 
yang belum memiliki rumah di Jakarta. Pada akhirnya, generasi milenial sebagai 
komponen terbesar kelas menengah Jakarta akan tergusur tanpa pernah secara 
langsung buldozer diarahkan pada mereka.

 

Empati

Saya ulangi, saya tidak percaya bahwa kelas menengah Jakarta sudah kehilangan 
empatinya terhadap warga korban penggusuran. Ini berbeda dengan buzzer-buzzer 
dan para pendukung fanatik petahana di media sosial yang, mohon maaf, menurut 
saya sudah sulit untuk digugah simpatinya. It’s difficult to get buzzers to 
sympathize with something, when their whole political existence depends on them 
not sympathizing with it.

Kutipan dari Benjamin Franklin berikut saya jadikan penutup tulisan ini sebagai 
pengingat bagi kita (terutama bagi saya sendiri) agar tetap menjaga empati 
terhadap ketidakadilan yang terjadi pada orang lain:

Justice will not be served until those who are unaffected are as outraged as 
those who are.

  • [GELORA45] Menggusur Kel... Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
    • [GELORA45] RE: Meng... roeslan roesla...@googlemail.com [GELORA45]

Kirim email ke