memang seharusnya tidak perlu ada pengadilan penghinaan agama ini, semuanya 
serba ngaco.
 gara2 "serahkan pada hukum", jadinya kayak dakocan.
 

---In GELORA45@yahoogroups.com, <ajegilelu@...> wrote :

 Sama, intinya cuma menggiring opini publik ke persoalan pilkada tetapi tidak 
sampai 7 jam / saksi.
 

 Pendeknya, menjadikan kasus Ahok sebagai kasus pidana memang menggelikan, 
apalagi dengan hoax 'pengadilan cepat'. 

 --- jonathangoeij@... wrote:
 

 waktu pemeriksaan saksi yg lain sama atau tidak?

 
--- ajegilelu@... wrote :

 Bagaimana bisa hakim membiarkan Ahok dan rombongan
 pengacaranya berpraktek sebagai penyidik di ruang sidang, 

 bebas 'menginterogasi' saksi selama 7 jam.
 

 Hm, beginikah yang dimaksud Jokowi ketika memerintahkan
 proses hukum terhadap Ahok; untuk memamerkan kerusakan 

 mental Ahok?
 

 Bagoes. Revoloesi mental.
 

 Bagaimana dengan hakim

 

 --- SADAR@... wrote:
   
 Mulut Ahok, Kicauan Fahri Hamzah, dan Blunder Terhadap NU 
https://tirto.id/mulut-ahok-kicauan-fahri-hamzah-dan-blunder-terhadap-nu-ch7H 
Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin (tengah) berjalan sebelum mengikuti sidang lanjutan 
kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, 
Selasa (31/1). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan lima saksi dalam sidang 
lanjutan dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. ANTARA FOTO/Reno 
Esnir/kye/17.
 1.4k Shares   
 
Reporter: Ahmad Khadafi 01 Februari, 2017dibaca normal 4 menit
 ·    
           Sebagai Rois Aam, Ma'ruf Amin menjadi simbol Nahdlatul Ulama dan 
sosok yang dituakan.
 ·         Pernyataan keras kepada Ma'ruf Amin mengingatkan kepada kicauan 
Fahri Hamzah soal Hari Santri.
    Blunder politik yang dilakukan Ahok dan tim kuasa hukum yang menyentil 
kalangan Nahdliyin.
  
 tirto.id https://tirto.id/?utm_source=internal&utm_medium=Article - “Bisa ke 
depan? Saya hendak mempertanyakan keobjektivan saksi,” kata Humphrey Djemat 
kepada K.H. Ma’ruf Amin yang menjadi saksi sidang kasus penistaan agama yang 
menjadikan Basuki Tjahaja Purnama, Selasa (31/1).

Kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini memaparkan ada bukti kunjungan 
dari pihak pasangan calon (paslon) nomor satu, Agus Yudhoyono-Sylvi Murni, yang 
disambut Ma’ruf Amin. Humphrey menganggap punya bukti yang menunjukkan 
netralitas saksi dipertanyakan.

“Iya, saya lupa,” jawab Ma’ruf Amin singkat.

Tudingan ini tidak berhenti di sana, bahkan dengan cukup berani kuasa hukum 
Ahok mempertanyakan apakah ada order fatwa dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 
pada Ma’ruf Amin sebagai Pemimpin Tertinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) 
terkait ucapan Ahok tentang Almaidah ayat 51 di Kepulauan Seribu.

Sekalipun sudah membantah, Ma’ruf Amin terus didesak dengan pertanyaan soal 
kedekatan dia dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Baik mengenai rekam 
jejaknya karena pernah jadi Wantimpres SBY maupun bukti pertemuan Ma’ruf Amin 
dengan paslon Agus-Sylvi (baca: MUI Tegaskan Pandangan Keagamaan Kasus Ahok 
Tidak Tergesa).

Ahok sendiri sangat serius menanggapi kesaksian Ma’ruf Amin. Ia mengatakan: 
“Saudara sudah tidak pantas jadi saksi karena tidak objektif dan mengarah pada 
paslon satu. … Kalau Anda menzalimi saya, yang Anda lawan adalah Tuhan yang 
Mahakuasa, Maha Esa.”

Dugaan terhadap ulama yang juga menjabat sebagai Rois Aam PBNU ini sah-sah 
saja. Dalam proses persidangan, sangat biasa pernyataan saksi diuji oleh 
pihak-pihak di pengadilan, baik hakim, penasehat hukum maupun jaksa. Publik 
sudah sering melihat, misalnya dalam persidangan Jessica yang disiarkan 
televisi, bagaimana saksi dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan tajam yang 
bahkan bersifat ad hominem atau menyerang latar belakang pribadi.

Bahkan rencana untuk memproses hukum sikap saksi yang dianggap berbohong, dari 
kacamata hukum, bisa dibenarkan. Saksi di pengadilan yang telah disumpah harus 
memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan jika kedapatan memberikan 
kesaksian palsu bisa dipidana. 

Sayangnya, secara politik, pernyataan-pernyataan Ahok dan penasehat hukumnya 
ini menjadi langkah yang justru menambah persoalan. Dikatakan menambah 
persoalan karena terbukti memancing keriuhan baru: pernyataan-pernyataan Ahok 
dan penasehat hukumnya dengan segera dianggap sebagai serangan terhadap ulama 
dan -- ini yang akhirnya tak terhindarkan-- kepada Nahdlatul Ulama.

Menantang Rois Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di hadapan publik 
jelas bukan langkah yang bijak. Seharusnya Ahok ingat itu. Sebagai sosok yang 
dekat beberapa kalangan NU, di antaranya almarhum Abdurahman Wahid (Gus Dur), 
Ahok mestinya mengerti dalam situasi politik yang sedang tidak menguntungkan 
menyerang tokoh penting NU akan cenderung lebih menyulitkan ketimbang 
memudahkan. 

Dalam tradisi NU—tidak seperti bentuk organisasi pada umumnya—Rois Aam yang 
secara bahasa berarti “Ketua Umum” lebih mengarah kepada hal-hal bersifat 
syuriyah. Sosok Ma’ruf Amir yang -- selain menjadi pemimpin tertinggi MUI -- 
menjadi Rois Am NU membuatnya menjadi sosok yang paling dituakan, dihormati, 
dan paling kompeten untuk diminta nasihat-nasihatnya. 

Jika Ketua PBNU, KH. Said Aqil Siradj, lebih kepada tanfidziyah (pelaksana), 
yang menjadi simbol NU sebagai sebuah struktur keorganisasian, Rois Aam adalah 
simbol NU secara utuh. Baik NU secara kepengurusan maupun NU sebagai jam’iyah. 
Mengancam untuk memproses secara hukum kesaksian seorang Rois Aam rentan 
menyinggung NU, tak hanya secara keorganisasian tapi juga sebagai institusi 
sosial.

Begitu gencarnya pemberitaan akan masalah ini, kuasa hukum Ahok sampai merasa 
perlu mengklarifikasi. Tim kuasa hukum Ahok mengklairifkasi bahwa rencana 
melaporkan saksi itu tidak ditujukan kepada Ma’ruf Amin, tetapi kepada 
saksi-saksi lain. Tidak hanya mengklarifikasi, mereka juga menduga bahwa 
dinamika di persidangan kemarin itu kemudian digunakan untuk membenturkan Ahok 
dengan NU.



 Ahok mengirimkan press release terkait klarifikasi pernyataannya. Permintaan 
maaf Ahok ke Ma'ruf Amin bisa dibaca pada artikel berjudul Ahok Meminta Maaf 
telah Memojokkan ma'ruf Amin.
 

Masalahnya, sekalipun Ahok membantah akan ada proses hukum untuk Ma’ruf Amin, 
tuduhan ini sendiri sudah telanjur membuka front “pertempuran” baru. Medan 
diskursus terkait isu penistaan agama yang diduga dilakukan Ahok sebenarnya 
sedikit mereda tensinya karena tergeser dengan kasus yang sedang menimpa Rizieq 
Shihab. Agresivitas Ahok dan penasihat hukumnya terhadap Ma’ruf Amin akhirnya 
mengembalikan diskursus penistaan agama kembali menoleh kepada Ahok.  


 share infografik
 

Klarifikasi yang diberikan oleh tim kuasa hukum Ahok, yang kemudian diikuti 
permintaan maaf langsung oleh Ahok, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa 
persoalan baru sudah telanjur muncul. Klarifikasi dan permintaan maaf ini 
menjadi bukti bahwa realisme politik memang berbeda dengan prosedur hukum yang 
memungkinkan pernyataan saksi diuji, dicecar bahkan dipersoalkan di muka 
persidangan.

Situasi yang tidak bisa tidak mengingatkan kepada kicauan Fahri Hamzah di 
Twitter saat mempertanyakan ide Joko Widodo menjadikan 1 Muharam sebagai hari 
santri saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu. Saat itu, Fahri berkicau, 
“Jokowi janji 1 Muharam hari santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan 
dijanjikan ke semua orang. Sinting!” 

Akibat kicauan ini tuntutan Fahri Hamzah agar meminta maaf kepada santri dan 
Jokowi mengemuka. Wakil Ketua DPR yang maju dari Fraksi PKS ini secara tidak 
langsung dianggap menghina NU karena hampir semua warga NU adalah santri 
(selengkapnya baca: Hari Santri Nasional Ada Berkat Jasa Fahri Hamzah). 

Kicauan Fahri itu terjadi pada 28 Juni 2014, kurang dua pekan dari hari 
pencoblosan Pilpres 2014 yang berlangsung pada 9 Juli 2014. Saat itu, 
survei-survei menunjukkan elektabilitas Jokowi dan Prabowo semakin tipis. Kedua 
kandidat presiden sama-sama berusaha keras merebut suara kalangan Nahdliyin. 

Kicauan Fahri ini akhirnya menjadi kontraproduktif dalam usaha Prabowo 
mendapatkan suara Nahlidyin. Fahri dan partainya, PKS, saat itu mendukung 
Prabowo. Hanya karena kicauan, dukungan Jokowi dari golongan santri (bisa 
dikatakan juga warga NU dari golongan yang lebih cair) semakin membesar.

Memang benar, bisa jadi apa yang disampaikan Ahok kepada Ma’ruf Amin adalah 
bentuk ketidakpercayaan secara personal saja, bukan atas kapasitasnya sebagai 
Rois Aam PBNU. Sebagaimana kicauan Fahri Hamzah menyasar Jokowi dan bukan 
menyerang gagasan Hari Santri dan kalangan Nahdliyin. Ini bukan soal salah 
benar tetapi sedikit banyak pada cara penyampaian keberatan yang bisa saja 
dianggap kelewatan -- dalam kasus Fahri ia sampai menggunakan diksi “sinting”.

Tidak heran jika kalangan moderat, dan secara umum Nahdliyin sebenarnya 
moderat, pun bersikap negatif terhadap pernyataan Ahok dan kuasa hukumnya. 
Misalnya Mahfud M.D., ia juga menyayangkan sikap ini lewat akun Twitter-nya. 

“Saya bukan tokoh NU, tapi saya warga jam’iyyah NU sejak bayi. Saya tersinggung 
atas hardikan Ahok terhadap KH. Ma’ruf Amin. Saya ikut protes sebagai warga NU. 
Kalau tak percaya kesaksian KH. Ma’ruf Amin, kan, ada tata caranya. Nyatakan 
itu di kesimpulan atau di pledoi.”

Hal yang sama diungkapkan oleh Helmy Faisal Zaini, Sekretaris Jenderal PBNU. Ia 
mengatakan dalam tradisi NU ada kewajiban lebih menghormati guru, ulama, atau 
bahkan orang yang lebih tua, sekalipun itu ada beda pendapat. “Ada caranya 
kalau mau berbeda pendapat. Tidak seperti itu,” kata Helmy Faisal Zaini.

Lebih-lebih selama proses hukum kasus penistaan agama, NU secara kelembagaan 
maupun akar rumputnya berada di posisi netral. Bahkan pada pemilihan Gubernur 
DKI Jakarta, masyarakat NU pun relatif tidak memposisikan diri secara gamblang 
condong kepada salah satu calon.

Artinya, reaksi keras Ahok kepada Ma’ruf Amir bisa menjadi persoalan yang cukup 
serius karena menumpahkan bahan bakar yang berpotensi mempersulit langkah Ahok 
dalam pencalonannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Apakah ini menjadi semacam faux pas, sebuah kesalahan langkah, yang dari sana 
situasi tak bisa ditarik kembali? 

Baca juga artikel terkait AHOK 
https://tirto.id/q/ahok-gh?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword atau 
tulisan menarik lainnya Ahmad Khadafi 
 (tirto.id - daf/zen)
  
  
 Ahok Minta Maaf Telah Memojokkan Ma'ruf Amin Gubernur nonaktif DKI Jakarta, 
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok hadir dalam persidangan dugaan penistaan 
agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (10/1). 
Sidang kelima kasus tersebut masih beragendakan mendengarkan keterangan saksi 
dari pihak penuntut umum. ANTARA FOTO/Pool/Aditia Noviansyah/foc/17.








 

 









 



 

Kirim email ke