Konser 2 Jari, Konser Gue 2, Sebuah Gambaran dari Politik yang Partisipatif https://seword.com/politik/konser-2-jari-konser-gue-2-sebuah-gambaran-dari-politik-yang-partisipatif/
9 https://seword.com/politik/konser-2-jari-konser-gue-2-sebuah-gambaran-dari-politik-yang-partisipatif/#comments BY MUHAMMAD NURDIN https://seword.com/author/nurdin/ ON FEBRUARY 5, 2017 Tahun 2014 lalu. Konser salam 2 jarinya Jokowi begitu memukau dunia. Sampai-sampai, sebuah foto tentang konser tersebut menjadi latar di twitter.com. Dan pada saat itu juga, nama Jokowi menjadi trending topic di dunia. Saya tidak mengerti kekuatan apa yang bisa membuat sebuah pergerakan yang begitu besar, hingga mengantarkan seorang Jokowi yang cuma wong ndeso, anak tukang kayu, rakyat jelata, hingga menjadi RI1? Konser di GBK tersebut dihadiri ratusan ribu orang dari berbagai daerah. Mereka tidak dimobilisasi. Mereka datang sendiri. Konser tersebut juga dihadiri oleh ratusan artis tanah air. Mereka menghibur orang-orang tanpa meminta bayaran. Mereka datang, menyanyi dan menghibur para pemilih, karena sebuah harapan untuk Indonesia yang lebih baik. Tiba-tiba. Saya terkenang oleh Teman Ahok. Lima orang muda-mudi gila, yang nekad melakukan hal yang luar biasa. Saya tidak tahu kekuatan apa di balik lima orang pemuda ini. Yang saya tahu mereka bergerak bermodalkan sebuah kepedulian. Kepedulian tentang masa depan tempat mereka tinggal. Mereka tahu. Berpolitik itu tidak bisa tidak tanpa partai. Tentu, deal-dealan atau yang biasa disebut sebagai mahar politik tidak bisa tidak harus ditempuh oleh seseorang yang mau maju di panggung politik. Terkecuali, ia memiliki bargaining position yang kuat yang membuat partai justru meminangnya. Seperti Pakde Jokowi. Teman Ahok tahu. Konsekuensi dari mahar politik membuat seorang pemimpin akan terus terikat dengan kepentingan partai. Teman Ahok dan Ahok tidak mau itu terjadi. Apalagi Ahok telah keluar dari partai yang mengantarkannya menjadi DKI2, Gerindra. Teman Ahok akhirnya nekad menempuh jalur independen. Mereka tahu ini tidak gampang, tapi tidak mustahil juga untuk ditempuh. Mereka pun bergerak. Akhirnya. Mereka berhasil mengumpulkan satu juta KTP untuk Ahok. Persyaratan untuk mau lewat jalur independen sudah didapat. Hingga akhirnya, KPUD DKI dan banyak partai mulai geram dengan apa yang Teman Ahok lakukan. Mereka dinilai akan menghancurkan demokrasi di negeri ini. Mereka pun dipersulit dengan aturan verifikasi KPUD. Ahok terus menerus berpikir dan merenung tentang nasib Jakarta. Jalur independen penuh dengan hambatan dan rintangan. Tapi ia masih punya hutang besar kepada warga. Kepeduliannya untuk Jakarta membuatnya tak bisa tidur. Hingga akhirnya, Ahok memutuskan untuk menempuh jalur partai. Tiga partai langsung melamarnya tanpa mahar politik sepeserpun. Bargaining position Ahok begitu kuat bak karang, seperti sifatnya juga kepeduliannya. Teman Ahok ikhlas atas keputusan yang Ahok ambil. Tugas Teman Ahok selesai. Mengajak pemilih untuk turut berpartisipasi, karena ini tentang kehidupan mereka lima tahun mendatang. Dan Ahok telah sampai pada posisi tawar yang tak mungkin ditolak oleh partai yang mengantarkan Pakde Jokowi sampai ke RI1, PDI Perjuangan. Saya tidak tahu. Akan jadi seperti apa Ahok tanpa lima orang pemuda gila yang membuatnya melenggang dengan bebas tanpa adanya tekanan partai di sebuah laga paling bergengsi setelah Pilpres, Pilkada DKI. Lima orang pemuda gila yang tergabung dalam Teman Ahok telah mengajarkan kita sebuah aktivitas politik yang partisipatif. Satu jenis aktivitas politik yang dulu hilang dari kehidupan kita. Kita hanya tahu berpolitik itu, ya nunggu dapat kaos partai, nunggu dapat bingkisan sembako dari partai, nunggu dapat amplop serangan fajar dari partai. Hingga akhirnya, lima tahun kita menderita. Lima tahun tanpa kemajuan yang berarti. Politik partisipan adalah aktivitas politik yang berawal dari keresahan warga atau pemilih tentang daerah mereka lima tahun ke depan. Masih ingat dengan Ibu Nurhayati. Kalau mengingatnya, saya suka gagal menahan air mata yang terus menggenang di pojokan mata. Ia adalah seorang warga miskin di Muara Baru, Jakarta Utara. Datang jauh-jauh dari tempatnya ke Rumah Lembang untuk memberikan dukungan baik secara moril dan materil. Sebagai warga miskin, uang sepuluh ribu sudah cukup menjadi bukti bahwa Ibu Nurhayati butuh Ahok karena sudah merasakan manfaat atas apa yang Ahok telah lakukan. Ibu Nurhati hanyalah salah satu pemilih yang terpanggil untuk turut berpartisipasi dalam memenangkan Ahok-Djarot. Hingga hasil yang didapat dari partisipasi pemilih tersebut begitu besar. 60 miliar bukan angka yang kecil. Karena itu berasal dari kepedulian warga DKI demi Jakarta yang lebih baik lagi. Tidak ada dalam sejarah Pilkada DKI, kepedulian dan partisipasi warga sampai sejauh ini. Kemarin. Kita saksikan bersama puncak dari partisipasi warga DKI dalam menghadapi Pilkada yang tinggal menghitung hari lagi. Saya tidak tahu, apakah konser gue 2 merupakan penjelmaan dari konser salam 2 jarinya Jokowi? Dimana puluhan ribu orang berkumpul, dan hendak memberitahukan ke khalayak bahwa mereka siap untuk Jakarta yang lebih baik lagi. Mereka datang dari tempat mereka tanpa dimobilisasi, tanpa dibayar dan tanpa kendaraan pribadi mereka. Mereka datang dengan sebuah harapan bahwa Jakarta tempat mereka tinggal akan semakin baik lagi di bawah kendali Ahok-Djarot. Para artis, budayawan, tokoh politik juga tokoh publik hadir mengikuti konser ini. Para artis yang bergantian menghibur warga, datang tanpa berharap untuk dibayar. Mereka juga pemilih. Mereka juga punya harapan yang sama tentang Jakarta. Kesadaran inilah yang membuat mereka begitu bersemangat untuk menghibur warta yang datang. Entahlah. Apakah angka 2 adalah sebuah simbol kemenangan? Sebab, angka itulah yang mengantarkan Pakde Jokowi menjadi RI1. Melihat partisipasi warga pemilih DKI yang begitu besar. Saya punya keyakinan yang besar bahwa nomor dua lah yang akan sampai di garis finish duluan. Bukan begitu Kak Emma? Ra(i)sa-ra(i)sanya begitulah