Bukan negro tetapi nigger. Negro itu artinya hitam dalam spanyol dan portugis.

From: mailto:GELORA45@yahoogroups.com 
Sent: Friday, February 3, 2017 3:12 PM
To: GELORA45@yahoogroups.com 
Subject: RE: [GELORA45] Museum peranakan Tionghoa di tengah Pasar Lama 
Tangerang ; Toleransi antar etnis di "Kota Cina Kecil" Lasem

  

Masalah mau terima cina atau tionghoa itu masalah emphati saja.

Di USA istilah negro itu sangat menyakitkan. Indian American saja diganti 
menjadi native American. Istilah2 ini memperhalus saja. memperhalus karena ada 
masalah. Silahkan mau diterima atau tidak.

Yang punya emphati biasanya akan menerima.

Yang tidak punya emphatic tidak akan pusing karena memang tidak pernah 
mengalami.


Sebutan babu itu lambat laun diganti menjadi pembantu, tuna karya dll.

Istilah pelacur diganti jadi tuna susila dll.


Silahkan menggunakan istilah apa saja, tidak ada hukumnya.

Konsekwensi kalau ada yang marah dan nonjok, ditanggung sendiri. ini aspek 
emphati, etika dan mungkin moral.


Jadi jangan sewotlah kalau ada yang tidak mau dipanggil cina. Seperti juga gak 
ada yg bisa menuntut kalau ada yg panggilan cina walaupun marah dan sakit hati.


Masalah name calling ini koq bisa disimpulkan sebagai masalah generasi? Ini yg 
unik. Koq bisa orang tionghoa jaman dulu lebih rentan dan tidak mau menerima 
istilah cina dibandingkan dengan generasi muda Indonesia? Ini ngaco sekali!


Orang kulit hitam di usa sekarang ini kalau dipanggil negro wah bisa ngamuk 
atau mungkin pembunuhan. Ente ini belajar dimana ya? Orang tionghoa Indonesia 
dari dulu sampai sekarang memperjuangkan istilah tionghoa itu karena ada unsur 
penghinaan. Ente tidak mengalami dan kurang ada emphati saja. lalu karena ada 
orang tionghoa yg tidak pusing dengan name calling ini, bikin ente ambil 
kesimpulan orang tionghoa jaman dulu yg mempunyai “perasaan pedih pedih sedap”. 
Ini yg sudah diperjuangkan oleh baperki dari dulu. Sampai sekarang pun sedikit 
sekali orang tionghoa yg berani melawan. Kenapa? Karena mereka ini tidak punya 
political power seperti jaman dulu ada baperki.


Jelas sekali ente gak pernah dipanggil: hi negro, cina lu!!!!


Nesare



From: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] 
Sent: Thursday, February 2, 2017 10:51 AM
To: GELORA45@yahoogroups.com
Subject: Re: [GELORA45] Museum peranakan Tionghoa di tengah Pasar Lama 
Tangerang ; Toleransi antar etnis di "Kota Cina Kecil" Lasem


  

Saya jadi percaya banyak dari generasi tua Cina / Tionghoa 



yang pengin lepas dari jeratan masa lalu tapi senang mengasihani 



diri dengan perasaan pedih-pedih sedap.







Kelihatannya ada jarak budaya (dan nyali) yang cukup jauh 



dengan angkatan muda Cina sekarang. Mereka tampak nyaman 



menghadapi dunia sebagai orang Cina. Beberapa di antaranya 



malah laris sebagai komedian.





https://www.youtube.com/embed/jwdFfimDmKI




     

--- SADAR@... wrote:


Kereta Cepat Indonesia–China  BUKAN CINA!
https://id.wikipedia.org/wiki/Kereta_Cepat_Indonesia%E2%80%93China


From: ajeg







Oh, itu pertanyaan mengenai hal yang sama pada nama perusahaan.

Tinggal klik ini --> KCIC


--- SADAR@... wrote:


Bung Goei, bukankah menurut saya, menggunakan sebutan nama satu NEGARA/BANGSA 
sepenuhnya adalah HAK NEGARA/BANGSA yang bersangkutan, sesuai kehendak nya yang 
dianggap paling disukai. Termasuk HAK merubah dan mengganti dengan sebutan yang 
yang lain.


Jadi, mengenai sebutan negara The People’s Republic of China di PBB maupun 
dinegara-negara didunia lainnya, itu sepenuhnya terserah saja pada RRT bisa 
menerima atau tidak. Begitulah sebutan CHINA dalam bhs. Inggris yg digunakan 
sejak 1911, dibentuknya Republic of China. Tapi yang PASTI, RRT selama ini 
TIDAK BISA menyetujui negaranya disebut Republik Rakyat CINA seperti dimasa 
ORBA Suharto berkuasa! Itu hanya menunjukkan sikap Suharto yang BIADAB, tidak 
tahu aturan, ..!

Yang bung Ajeg maksudkan KCIC itu apa, ya?


Salam,

ChanCT


From: ajeg

Bagaimana dengan KCIC?


--- jonathangoeij@... wrote:


Bung Chan apakah bisa menjelaskan pemakaian kata China pada nama negara The 
People's Republic of China, kenapa nama China yang dipakai dan bukannya 
Tionghoa atau Zhonghoa bukankah nama aslinya Zhonghoa Renmin Gongheguo 中華人民共和國





--- SADAR@... wrote :



SETUUJUUUU, ... mang Radi! Sebenarnya saja sebutan NEGARA/BANGSA sepenuhnya 
adalah HAK bangsa itu sendiri hendaknya, sukanya disebut apa dan merubahnya 
sebutan yang dirasakan lebih pantas dan nyaman bangsa itu sendiri! Kita yang 
bersahabat dengan bangsa tsb. tentu WAJIB mengikuti dan nurut saja. Hanya saja 
selama lebih 32 tahun jenderal Soeharto berkuasa, dan bertujuan merusak 
hubungan persahabatan “MESRAH” dengan rakyat TIongkok yang dijalin oleh 
Presiden Soekarno itu, dengan biadab memaksakan gunakan sebutan CINA yang 
berkonotasi melecehkan dan penghinaan itu untuk menggantikan penggunaan sebutan 
Tiongkok/Tionghoa, ... yaitu dengan resmi keluarkan Surat Edaran Presidium 
Kabinet Ampera Nomor SE.06/Pres.Kab/6/1967. Dengan demikian, sejak 28 Juni 1967 
itulah RI secara resmi merubah sebutan Tiongkok/Tionghoa menjadi CINA! 
Sekalipun pihak RRT berulangkali secara resmi pun menentang dan mengecam keras 
penggunaan CINA itu!


Namun ingat, setelah Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. 
SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967 dengan RESMI DICABUT oleh SBY menjelang 
akhir jabatannya dengan Surat Keputusan Presiden no.12, tanggal 12 Maret 2014, 
menetapkan kembali menggunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa, dan dengan tegas pula 
menghentikan penggunaan sebutan “CINA” yang semula digunakan untuk menghina 
Tiongkok dan melecehkan Tionghoa di Indonesia itu. Saya yakin, sejak 12 Maret 
2014 itu, Pemerintah RI dalam hubungan resmi dengan Tiongkok, baik pembicaraan 
lisan maupun tertulis SUDAH menggunakan kembali sebutan Tiongkok/Tionghoa 
sebagaimana kehendak bangsa Tionghoa dan Negara Tiongkok!


Sementara ini dalam pergaulan masyarakat dan sementara media masih saja 
menggunakan sebutan CHINA bahkan CINA! Dan selama ini pihak pemerintah RI juga 
mendiamkan, membiarkan saja, ... Aneh, tapi itulah kenyataan yang terjadi! Dan 
sayapun yakin, diantara mereka yang tetap gunakan sebutan China/Cina, tentu ada 
kelompok rasialis yg justru makin anti-pati pada TIONGKOK timbul KEBENCIAN luar 
biasa pada kemajuan RRT 30 tahun terakhir ini! Sengaja bertahan dengan 
ngototnya menggunakan sebutan CINA untuk menghina Tiongkok yang makin JAYA! 
Dikira dengan sebutan CINA yang meenghina itu RRT bisa tumbang, ...! Biarlah 
anjing-anjing GILA itu menggonggong sepuasnya, selama tidak menggigit. Hehehee, 
...


Begitu juga dalam pergaulan sehari-hari, saya mengambil sikap membiarkan mereka 
masih saja menggunakan sebutan China dan Cina selama tidak digunakan untuk 
menghina Tiongkok dan melecehkan Tionghoa, ... TERBIASA sudah gunakan CINA! 
Begitu kalau ditegur! Ada lagi anak muda yang saya tanya merasa lebih enak 
gunakan Cina dan sesuai dengan bhs. Indonesia, katanya! Tapi, dalam pembicaraan 
dengan saya, setelah ditegur mereka juga merubah dengan Tiongkok/TIonghoa! Itu 
namanya orang-orang yang bisa dinamakan BERADAB! Sampai sekarang saya belum 
bertemu dengan orang yang BIADAB, atau wong EDAN yang ngotot bertahan gunakan 
sebutan CINA. Tapi, saya kira juga tidak perlu berkeras mempersoalkan sebutan 
Cina, apalagi harus baku-hantam hanya karena sebutan CINA itu! Bagi saya yang 
lebih PENTING bagaimana SIKAP mereka sesungguhnya dalam menggunakan sebutan 
CINA itu, ... karena kenyataan CINA sudah tidak lagi digandoli Surat Edaran 
Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 yang memang bertujuan 
menghina Tiongkok dan melecehkan Tionghoa di Indonesia itu.


Sebagaimana permintaan mang Radi, saya lampirkan pidato lengkap Presiden 
Soekarno dihadapan Pembukaan Kongreske-8 BAPERKI tahun 1963, untuk mengikuti 
kembali bagaimana sikap Bung Karno terhadap Tionghoa Indonesia!


Salam,

ChanCT



From: Dharmawan Isaak

Sent: Tuesday, January 31, 2017 5:10 AM


Saja kira, kalau saja bertanja kepada saudara2 bangsa Indonesia SUKU BANGSA 
TIONGHOA;Apakah mereka setudju dengan adjaran Bung Karno,pasti sebagian besar 
dari mereka akan mendjawab setudju, bahkan banjak diantara mereka akan mengaku 
sukarnois.
Tapi anehnja suku Tionghoa, masih banjak jang suka menggunakan kata 
"Tjina/Cina" di tempat  Tionghoa atau Tiongkok. 

Menurut saja toleransi dan persatuan tidak bisa ditjapai dengan penjerahan, 
persatuan dan toleransi harus dihasiklkan oleh perdjuangan. Jang saja maksud 
perdjuangan, tidak berarti mendjadi radikal atau melakukan tindakan kekerasan 
seperti dilakukan gerombolan2 intoleransi.
Dalam hubugan ini saja menghimbau pimpinan GELORA 45, supajamempublikasi pidato 
Bung Karno di kongres Baperki. Bung Chan pasti tau pidato mana jang saja 
maksudkan.


21 Maret 2010 pukul 17:07

Orang awam minta tolong kepada semua orang2 yang pandai, sampai sekarang saya 
merasa jadi seorang konservatif, pembuktiannya sangat sederhana, saya tidak 
bisa mengatakan kata Cina atau menulisnya. Padahal saya sudah melihat ada 
beberapa orang Indonesia sukubangsa Tionghoa (ini istilah Bung Karno) menulis 
atau berkata dengan lancar menggunakan Cina.

Ditinjau dari kesukuan padahal saya ini “asli” Sunda.

Yang menyebabkan orang awam tetap konservatif pun sangat sederhana. Di jaman 
baheula, jaman ost indiesche, memang sering mendengar secara kembar kata2 Cina 
maupun Tiongkok dan Tionghoa, sesudah jaman sigundul kata2 Cina menyusut, kata2 
Tiongkok dan Tionghoa jadi dominan. Sesudah berdirinya RI dibawah pimpinan Bung 
Karno, secara resmi yang digunakan adalah untuk nama negeri Tiongkok, sedangkan 
untuk bangsa, bahasa digunakan Tionghoa. Penggunaan kata2 ini tidak kebetulan 
tapi merupakan sikap politik resmi dari pemerintah RI waktu itu, ialah untuk 
membedakan Taiwan yang menamakanukan diri “Republik Cina”padahal sesungguhnya 
hanya boneka Amerika, sedangkan disana di seberang laut, yang sering dinamakan 
daratan berdiri Republik Rakyat Tiongkok.

Ternyata sejarah berjalan lain, di Indonesia terjadi perebutan kekuasaan oleh 
rezim fasis Suharto, sesudah dia mentancapkan kuku kekuasaannya dengan kuat, 
maka dikeluarkannya se-banyak2nya peraturan yang represi, satu diantara lain; 
peraturan MPR No.25 yang isinya pelarangan PKI dan ajran marxisme,juga dilarang 
menggunkan kata2 Tiongkok dan Tionghoa, dilarang merayakan tahun baru Imlek, 
dan dilarang Kong Fu Chuisme dianut sebagai agama, diharuskan mengganti nama 
yang diberikan oleh nenek moyangnya dan yang dipakai sebagai tanda budaya, juga 
diwajibkan mengganti agama.Menggantikan sebutan Tiongkok dan Tionghoa dengan 
Cina.

Ditinjau dari ini jelas bahwa kata Cina di Indonesia adalah lambang penindasan 
yang kejam dan diskriminasi, terhadap bangsa senbdiri/Indonesia suku Tionghoa.

Dalam hal ini pernah seorang kenalan muda, menanyakan, bagaimana dalam bahasa 
Inggris   dan beberapa bahasa asing lainnya tidak Tiongkok tetapi Cina, dalam 
hal ini saya hanya bisa jelaskan, pertama masalah yang kita bicarakan bukan 
mengapa orang asing mengunakan kata Cina, tapi membicarakan sikap orang 
Indonesia terhadap kata "cina" yang dipaksakan oleh rezim otoriter fasis 
Suharto, kedua saya merasa tidak punyak hak untuk membicaraan soal itu karena 
tidak menguasai basa asng. Yang paling penting saya tidak tunduk kepada kepada 
peraturan rezim fasis.


2017-01-30 2:45 GMT+01:00 Chan CT <sadar@...>:

    Museum peranakan Tionghoa di tengah Pasar Lama Tangerang
    ·         29 Januari 2017

    http://www.bbc.com/indonesia/ majalah-38786706


    Hak atas fotoBBC INDONESIA Image captionBangunan Museum Benteng Heritage 
diperkirakan berusia 200 tahun. 

    Di tengah keramaian pasar di Kota Tangerang Banten, terdapat sebuah museum 
yang menyimpan kekayaan budaya dan sejarah peranakan Tionghoa di Indonesia. 
Wartawan BBC Indonesia Sri Lestari mengunjungi Museum Benteng Heritage yang 
didirikan pria keturunan Tionghoa atau Cina Benteng.

    Suasana Imlek tampak kental di Pasar Lama Kota Tangerang, sejumlah pedagang 
menjual lampion, amplop untuk ang pau dan ornamen berbentuk ayam untuk 
menyambut Tahun Ayam Api. Tak ketinggalan kuliner khas Imlek, antara kue 
keranjang, dan bandeng.

    Sejumlah orang tampak berdoa sambil memegang dupa di Klenteng Boen Tek Bio 
yang berada di di tengah pasar yang merupakan cikal bakal Kota Tangerang ini.

    Kawasan ini dulu disebut Benteng, yang merujuk pada bangunan benteng di 
pinggir Sungai Cisadane yang dibangun untuk melindungi Vereenugde Oostindische 
Compagnie VOC dari serangan pasukan Kesultanan Banteng.

    Orang Tionghoa sudah berada di Tangerang sejak 1407 melalui Teluk Naga, 
jauh sebelum kedatangan VOC, keturunan mereka kemudian disebut dengan istilah 
Cina Benteng.

    §  Melongok Museum Benteng Heritage di Tangerang

    §  Toleransi antar etnis di "Kota Cina Kecil" Lasem

    Di sekitar klenteng yang dibangun pada 1775 masih ada beberapa bangunan tua 
yang sebagian besar digunakan sebagai toko.

    Salah satu bangunan tua itu digunakan Museum Benteng Heritage, yang hampir 
tidak terlihat karena tertutup lapak para pedagang pasar.


    Hak atas fotoBBC INDONESIA Image captionBangunan Museum Benteng Heritage 
berada di tengah pasar. 

    Di dalam museum tampak beberapa pengunjung tengah mendengarkan penjelasan 
dari seorang pemandu di sebuah ruang makan yang dihiasi ornamen peranakan 
Tionghoa.

    Di lantai dua yang digunakan untuk menyimpan benda-benda bersejarah, tampak 
pemilik dan pendiri Museum Benteng Heritage Udaya Halim atau Lim Cin Peng 
meladeni sejumlah tamu. Meski tinggal di Australia, Udaya secara rutin kembali 
ke tanah air.

    Kecintaannya terhadap budaya leluhur dan pendidikan, membuat pria yang 
menghabiskan masa kecilnya di kawasan Pasar Lama membeli bangunan ini lalu 
menjadikannya sebagai museum.

    "Saya sendiri lahir di Tangerang sebagai orang Tionghoa, orang Cina 
Benteng," kata Udaya, "Kebetulan lagi saya suka dengan budaya dan kebudayaan 
Tionghoa sudah mengakar di Indonesia, seharusnya lebih diperkenalkan lagi agar 
keindonesiaan orang Tionghoa itu juga bisa diakui sebagaimana mestinya".


    Hak atas fotoBBC INDONESIA Image captionUdaya Halim mendirikan museum untuk 
memperkenalkan budaya peranakan Tionghoa di Indonesia. 

    Dia membeli bangunan yang diperkirakan didirikan pada abad ke 17 ini dari 
sebuah keluarga yang telah menempatinya selama delapan generasi, dengan kondisi 
yang tidak terawat.

    "Saya dulu tinggal di rumah itu" kata Udaya sambil menunjuk sebuah rumah 
yang terletak di seberang museum, "Tapi kemudian pindah karena orangtua tak 
mampu, dulu waktu kecil saya suka main ke rumah ini".

    Upaya restorasi
    Udaya kemudian merestorasi bangunan ini selama dua tahun dengan 
berkonsultasi dengan para koleganya yang merupakan ahli sejarah dan arsitektur 
di berbagai negara.

    Selain itu, Udaya pun mengunjungi sejumlah kota di Indonesia dan Malaysia 
yang memiliki bangunan tua peninggalan keturunan Cina untuk mengkaji hubungan 
sejarahnya.

    "Ke Malaka saya sudah 36 kali sudah sejak saya bangun ini, dan ke Penang 
sudah lebih dari 10 kali dan saya juga riset ke tempat-tempat yang tua ke 
Lasem, Palembang dan dalam negeri juga, nah saya cari historical link nya , 
jadi dari jejak bangunannya dan saya lihat jejak bangunannya sama dengan yang 
ada di Malaka pada abad 17 akhir 18," jelas Udaya.


    Hak atas fotoBBC INDONESIA Image captionSeorang pemandu tengah menjelaskan 
ornamen di ruang makan di Museum Benteng Heritage kepada pengunjung.Hak atas 
fotoBBC INDONESIA Image captionRelief yang bercerita tentang kisah Jenderal 
Kwang Kong yang merupakan bagian dari legenda Sam Kok. 

    Dia berupaya untuk mengembalikan karakter asli bangunan tersebut, dan tidak 
mengganti bagian dari bangunan. Sebagai contoh, keramik yang menutupi lantai 
asli bangunan tersebut berupa tegel kemudian dibongkar.

    Di salah satu bagian bangunan terdapat semacam ukiran dari pecahan keramik, 
yang bercerita tentang seorang tokoh dalam legenda Sam Kok, yaitu Jenderal 
Kwang Kong yang dikenal oleh masyarakat di negeri Cina dengan sifat yang jujur, 
gagah dan berani.

    Udaya mengatakan masuk dulu merupakan tempat tinggal, tetapi dia menduga 
bangunan ini awalnya didirikan sebagai rumah komunitas Tionghoa karena terletak 
di bagian belakang klenteng.

    §  Warga keturunan Tionghoa terbelah soal Ahok

    §  Benarkah sentimen anti-Cina di Indonesia kini menguat?

    Dari kebaya sampai perabot
    Setelah upaya restorasi, Udaya mengisi bangunan ini dengan berbagai 
koleksi, antara lain, kebab encim, berbagai macam timbangan, uang kuno, serta 
perabot tua. Dia mendapatkan benda-benda dengan berbagai cara.

    "Setiap keping ini saya dapatkan mulai saya beli sendiri, saya dapat dari 
masyarakat atau bahkan saya lihat menggeletak di gudang," jelas Udaya kemudian 
menunjukkan sebuah meja dengan hiasan lukisan dari kerang.

    Meja ini didapat dari sebuah gudang milik rekannya dalam kondisi sudah 
rusak berkeping-keping. Udaya kemudian merestorasinya selama enam bulan, 
kemudian diketahui meja yang berasal dari Cina ini diduga sudah berada di 
Indonesia sejak 200 tahun lalu.


    Hak atas fotoBBC INDONESIA Image captionSepatu tradisional perempuan 
Tionghoa dipamerkan di museum.Hak atas fotoBBC INDONESIA Image captionSejumlah 
timbangan kuno merupakan koleksi Museum Benteng Heritage. 

    Di sebuah ruang khusus di lantai dua, Udaya menyimpan koleksi kamera dan 
gramafon tua, serta piringan hitam langka, antara lain lagu genjer-genjer yang 
dinyanyikan Bing Slamet dan lagu Indonesia Raya karya WR Supratman yang direkam 
pada tahun 1950an yang sempat diperdengarkan sore itu.

    Mantan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota 
Tangerang Nurul Huda mengatakan Museum Benteng Heritage ini, sudah menjadi 
salah satu cagar budaya di kawasan Pasar Lama Tangerang.


    Hak atas fotoBBC INDONESIA Image captionPasar Lama merupakan cikal bakal 
Kota Tangerang. 

    Berita terkait
    ·        




    (Message over 64 KB, truncated)




Kirim email ke