From: Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45] Sent: Tuesday, February 7, 2017 3:02 AM
Jika 'Pukul' Tiongkok, Pengaruh AS di Asia akan Berkurang Arpan Rahman • Sabtu, 04 Feb 2017 19:16 WIBamerika serikatInternasional Asiaa.. TWITTER a.. FACEBOOK a.. GOOGLE+ Hantam Asia, Donald Trump tidak akan menerima keuntungan seperti Obama (Foto: AFP). Metrotvnews.com, Beijing: Apabila Donald Trump menampar Tiongkok dengan tarif mencekik, rasa sakit juga akan dirasakan oleh Jepang, Korea Selatan (Korsel) dan Taiwan. Ketiga negara itu memutar roda vital dalam rantai pasokan regional, yang memungkinkan Tiongkok membangun aplikasi perangkat lunak dan gawai bagi dunia. Tapi Asia membanggakan kelas menengah yang tumbuh cepat. Sekarang jumlahnya ratusan juta. Berarti Tiongkok dan eksportir regional lainnya tidak terlalu mengandalkan konsumen Amerika Serikat (AS). Lagi pula Trump mungkin tidak punya pengaruh yang dinikmati para pendahulunya beberapa dekade terakhir. Perdagangan antarnegara Asia tumbuh 57 persen dari perdagangan mereka secara keseluruhan pada 2015 dibandingkan hanya di bawah 46 persen pada 1990, menurut Jong Woo Kang, ekonom di Bank Pembangunan Asia (ADB) dan penulis utama Laporan Integrasi Ekonomi Asia 2016 dari lembaga pemberi pinjaman ini. Menurut Kang, investasi lintas batas di kawasan tersebut oleh perusahaan-perusahaan di Asia lebih memicu aktivitas perdagangan ketimbang investasi dari perusahaan non-Asia. Sejumlah korporat di kontinen ini lebih terlibat dalam rantai bernilai global daripada berbagai perusahaan non-Asia, menyediakan penyangga bagi pelindung yang tumbuh terhadap hambatan perdagangan baru. "Kami memiliki banyak permintaan yang datang dari Asia dari sebelumnya," kata Deborah Elms, direktur eksekutif Pusat Niaga Asia (ATC) yang berbasis di Singapura. "Jadi akan kurang berdampak dari kemungkinan yang muncul pada titik-titik lain sejarah," sambungnya, seperti disitir dari Bloomberg, Sabtu (4/2/2017). Yang pasti, jika Trump menghantam beragam barang Tiongkok dengan tarif tinggi, maka rasa terpukul akan menyakitkan, dan bisa menyebar ke dalam perang perdagangan global yang melebar ke mana-mana. AS tetap menjadi pembeli utama produk akhir buatan Tiongkok dan permintaan itu takkan mudah tergantikan. AS mengalami defisit perdagangan dengan Tiongkok selama 11 bulan sampai akhir November tahun lalu senilai USD319 miliar. Penelitian Kevin Lai, kepala ekonom urusan Asia termasuk Jepang di Daiwa Capital Markets berbasis di Hong Kong, menemukan bahwa dengan tarif sebesar 15 persen saja akan berakibat hilangnya GDP Tiongkok berkisar 1,8 persen per tahun, tidak termasuk dampak hengkangnya berbagai perusahaan asing. Padahal Trump pada suatu kesempatan pernah memberi isyarat dengan 45 persen. Media pemerintah Tiongkok sudah memperingatkan Trump akan terbentur "tongkat besar" dan investasi AS di sektor-sektor seperti elektronik dan tekstil akan jadi sasaran bila pecah perang dagang. Tiongkok juga meningkatkan pengawasan atas sejumlah perusahaan AS dan memberi pilihan termasuk pajak operasi mereka di Tiongkok atau menerapkan penyelidikan antritrust, menurut orang-orang yang mengurus soal ini. Gonggongan Trump "Kalau gonggongan Donald Trump diikuti gigitannya pada perdagangan, maka kita bisa melihat pengulangan skenario 1930-an dan akan terjadi pembalasan di seluruh dunia," kata Razeen Sally, profesor di National University of Singapura. Secara lebih langsung, itu juga akan memukul eksportir Asia lainnya. Pengiriman Jepang ke Tiongkok mencapai rekor pada Desember, didorong oleh pesanan untuk peranti mobil, plastik, dan sirkuit listrik guna dipakai di berbagai pabrik dunia. Namun, ekspor secara keseluruhan memperoleh untung dari permintaan Asia yang lebih luas, salah satu alasan Bank of Japan meningkatkan perkiraan pertumbuhannya, pekan ini. Di Korsel, ekspor mencapai sekitar setengah dari keluaran ekonomi secara keseluruhan, pengapalan Januari yang terbesar sejak 2012, dibantu kenaikan dalam perdagangan dengan Tiongkok, Vietnam, dan Jepang. Permintaan Asia juga membantu produksi industri Singapura melompat paling jauh dalam lima tahun pada Desember, dipengaruhi meningkatnya ekspor elektronik. Pajak Perbatasan Laporan Credit Suisse mewanti-wanti rencana pajak perbatasan yang diusulkan Partai Republik di Kongres AS akan memicu 3 persen sampai 4 persen penurunan ekspor Asia, mengurangi tingkat pertumbuhan di benua ini sebesar 0,5 persen. "Bahkan kenaikan tarif yang relatif kecil pada payung atau mainan anak-anak bisa cukup jadi bencana bagi produsen produk tersebut karena marjinnya sangat kecil," kata Elms. Trump bukan presiden AS pertama yang menargetkan Asia. Barack Obama sudah mengincar ban buatan Tiongkok serta Bill Clinton dan Ronald Reagan keduanya bersitegang dengan mitra mereka di Jepang soal beberapa peranti mobil sampai komputer. Trump juga menuduh Jepang yang tidak jujur berdagang. Bahkan sebelum Trump menjabat, perdagangan global sudah mengalami lambannya kenaikan gara-gara proteksionisme, menurut Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dengan sejumlah sengketa yang berurat-berakar di sektor seperti baja, bahan-bahan kimia, dan pertanian. Konsumen Tiongkok Namun, setidaknya saat ini, kalangan konsumen Tiongkok menjaga tingkat dasar rantai pasokan regional sewaktu permintaan global tenang, dan eksportir Tiongkok mengirim barang lebih banyak kepada mitra Asia lain bahkan selagi Beijing berusaha mengubah kebijakan ekonomi untuk lebih banyak mendorong konsumsi domestik. Artinya Asia bisa menahan memuncaknya sengketa, setidaknya untuk sementara. Malahan jika barang-barang Tiongkok ditargetkan oleh AS, satu negara Asia rivalnya bisa masuk ke dalam celah itu. "Jika Anda meniup salah satu sisi balon, bagian lain dari balon itu bisa ikut mengembang," kata Kang. "Negara-negara Asia masih dapat menyesuaikan diri." Pemerintah Asia juga mendorong maju pakta perdagangan regional alternatif, yang tidak termasuk AS, setelah Trump menarik diri dari Kongsi Trans-Pasifik (TPP). Berarti ada lebih banyak ketahanan daripada yang dipahami oleh sekawanan elang niaga Gedung Putih, menurut Elms. "Ini sesuatu yang tidak dimengerti tim di Washington," katanya. "Mereka masih melihat AS memegang tuas kontrol yang sama di tahun 1980-an." (FJR)