DP 0% yang diajukan PASLON No.3, Anies-Sandi ini patut HARUS diperhatikan baik-baik, jangan sampai hanya digunakan umpan meraih suara pemilih saja! TUNJUKKAN dan BUKTIKAN bagaimana pelaksanaannya agar tidak membuat Indonesia lebih terjerat HUTANG dan akhirnya mencekik kelajuan perkembangan ekonomi-nasional dan pemerintah bankrut tidak mampu membayar, ...
Bukankah jauh lebih aman dan mantap dengan program RUSUNAWA Jokowi-Ahok yang sudah berjalan di DKI-Jakarta, ... menaikkan warga miskin dari perumahan kumuh yang tidak layak dihuni dan lebih lanjut memberikan kredit usaha bagi warga RUSUNAWA dengan pembagian keuntungan 80:20 (80% untuk warga, 20% untuk DKI-Jakarta). From: Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45] Sent: Wednesday, February 22, 2017 4:42 AM agung purwoko Minggu, 19 Februari 2017 - 09:26 DP 0% dan Perspektif Makroprudensial DP 0% dan Perspektif Makroprudensial Bagaimana penerapan program DP 0% Anies ditinjau dari perspektif makroprudensial? House Property (Foto: Pixabay) Program DP 0% akhirnya menjadi trending topic. Di tengah isu kependudukan dan peningkatan kualitas masyarakat Jakarta, Program DP 0% yang diusung salah satu paslon bisa mencuri perhatian masyarakat pada saat Debat Final Cagub DKI Jakarta. Sungguh bernilai jual tinggi. Perdebatan implementasi DP 0% selanjutnya memasuki ranah sosmed serta media mainstream. Isu DP 0% sempat menjadi trending topic Twitter selama dua hari. Netizen mempertanyakan bagaimana implementasi DP 0%. Isu semakin hangat ketika media mainstream baik online maupun cetak mengangkat < /span>statement Gubernur BI. Pada suatu kesempatan, Gubernur BI menyatakan program kredit rumah DP 0% menyalahi ketentuan LTV. Statement ini kemudian menjadi bahan perdebatan bagi pendukung masing-masing paslon. Apakah benar peraturan BI melarang DP 0% untuk semua kredit property? Lalu benarkah program DP 0% hanya merupakan retorika semata dan sulit diimplementasikan? Mari kita pahami satu persatu. Mencoba Memahami Progra m DP 0% Anies Sandi Sebagai awalan, kita coba pahami bagaimana sebenarnya program DP 0% yang digagas Paslon Anies Sandi. Informasi mengenai program DP 0% ini menurut saya sebenarnya masih sangat terbatas. Mungkin benar yang disampaikan Mas Anies, program ini masih berupa gagasan atas suatu permasalahan publik. Tapi tidak salahnya saya bedah dulu dengan informasi yang ada. Ada tiga poin yang saya pahami dari program DP 0% gagasan Paslon Anies Sandi. Pertama, belum jelasnya fokus dan sasaran program. Tujuan program ini adalah memberikan akses pembiayaan perumahan kepada warga Jakarta, termasuk warg a yang hijrah ke Jakarta. Menurut Anies, 30% warga Jakarta tidak memiliki rumah. Masalah terbesar adalah kesulitan memenuhi Down Payment. Sampai saat in belum dijelaskan siapa target yang dituju. Belum ada batasan penghasilan maksimum yang diperkenakan untuk memperoleh fasilitas ini. Kedua, kejelasan bentuk Intervensi Pemda. Dalam paparannya saat debat maupun konferensi pers pasca debat, Mas Anies menjelaskan bahwa Pemda tidak membangun rumah. Karena permasalahan masyarakat adalah pembiayaan DP, maka bentuk intervensi yang diberikan berupa kredit tanpa uang muka alias DP 0% bekerja sama dengan Bank DKI. Sebagai pengganti uang muka, diciptakan mekanisme tabungan selama 6 bulan secara konsisten hingga saldonya tabungannya mencapai 10% dari nilai kredit. Selanjutnya tabungan itu dikonversi menjadi DP. Isu yang muncul di sini adalah berapa besar rata-rata DP yang dibutuhkan? Mungkinkah mencicil DP dalam waktu 6 bulan? Ketiga, adalah mencicil sesuai kemampuan sebagai solusi tambahan. Untuk mengatasi isu kemampuan pembiayaan selain DP 0% juga diusulkan dilakukan perpanjangan tenor hingga 15-20 tahun. Bang Sandi, yang ahli di bidang keuangan, menyatakan hal yang biasa melakukan perpanjangan tenor pinjaman. Memahami Kebijakan Pembatasan Down Payment Bank Indonesia: Praktik Lumrah Makroprudensial Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Negeri Isu Down Payment 0% sangat berkaitan kebijakan makroprudensial Bank Indonesia. Bank Indonesia adalah lembaga yang diberikan amanah menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK) melalui kebijakan makroprudensial. Ini merupakan kewenangan BI yang baru pasca beralihnya kewenangan pengaturan dan pengawasan bank ke OJK. Kewenangan otoritas moneter yang sedang berkembang di berbagai negara pasca krisis keuangan global 2008. Kewenangan yang diberikan untuk memastikan Stabili tas Sistem Keuangan agar tetap terjaga. Lalu apakah hubungannya stabilitas sistem keuangan dengan down payment? Mari kita buka sejarah. Ekonomi global memiliki kenangan buruk dengan dunia properti. Beberapa krisis keuangan memiliki kaitan erat dengan perkembangan harga properti. Salah satu yang terbesar tentunya krisis keuangan global 2008. Krisis ekonomi terbesar sepanjang sejarah yang mengharuskan berbagai literatur ekonomi ditinjau ulang. Krisis ekonomi yang mengharuskan beberapa bank sentral utama dunia menciptakan likuiditas terbesar sepanjang sejarah, menurunkan suku bunga hingga 0% bahkan negatif, hingga menciptakan berbagai instrumen baru termasuk hutang pemerintah tebesar. Krisis keuangan global 2008 bermula dari pemberian kredit perumahaan yang terlalu mudah. Banyak pihak yang seharusnya tidak layak akhirnya memperoleh pembiayaan. Hal ini kemudian mendorong kenaikan demand. Berbagai pihak berlomba membeli properti, tidak hanya pihak yang membutuhkan namun juga investor untuk antisipasi maupun spekulasi. Pada gilirannya, harga aset perumahan terdorong naik dan terus naik. Terjadilah bubble harga property akibat kemudahan pembiayaan. Situasi ini yang dikenal dengan ketidakseimbangan keuangan atau financial imbalances. Situasi kemudian lebih memburuk ketika dilakukan kredit properti disekuritisasi dan dijual ke seluruh dunia. Stimulus kredit menggerakkan sektor keuangan lebih cepat daripada sektor riil. Saat terjadi krisis, bubble harga pecah, debitur tidak mampu membayar, dan selanjutnya merembet kepada kegagalan lembaga keuangan. Belajar dari kegagalan ini, mulai dikenal kebijakan makroprudensial. Kebijakan moneter dan pengawasan bank secara mikro ternyata tidak cukup untuk memastikan stabilitas sistem keuangan. Secara umum, kebijakan ini melakukan monitoring dan menilai perilaku pengambilan risiko yang berlebihan di berbagai aspek di sektor keuangan. Sektor properti merupakan salah satu area kebijakan, d engan berbagai instrumen yang dikenal antara lain pembatasan Loan To Value (rasio utang terhadap nilai aset), pembatasan Debt Service to Income (rasio Utang terhadap Pendapatan), pembatasan tenor pinjaman. Mari kita lihat praktik kebijakan makroprudensial d i sektor properti di berbagai negara. Hongkong dan Singapura menerapkan berbagai instrumen seperti rasio LTV, rasio DSTI, dan tenor maksimum 30 tahun. Di Hongkong, rasio LTV pernah ditetapkan pada angka 60%. Artinya DP yang harus disiapkan calon debitur sebesar 40%. Di New Zealand, instrumen LTV juga digunakan dengan membatasi rasio tertentu dari total kredit. Bank diperbolehkan menyalurkan kredit properti dengan LTV di atas 80% sebanyak 10% dari total kredit yang disalurkan bank sebagai pengelolaan risiko. Praktik LTV juga diterapkan di Swedia. LTV cap ditetapkan sebesar 85% untuk kredit baru sejak tahun 2010. Sebelumnya, tidak ada pengaturan LTV Cap. BI sendiri menerapkan pengaturan rasio LTV sebagai bagian dari instrumen kebijakan makroprudensial sejak Juni 2012. Saat itu kenaikan penyaluran kredit properti sangat tinggi hingga sempat mencapai 317% untuk kredit apartemen tipe 22-70 dan 295% untuk apartemen tipe s.d. 21[1]. Tahun 2013, harga properti di Jakarta sempat naik 27,3%, tertinggi di dunia, melampaui LA yang tumbuh 16%.[2] Pada perkembangannya, harga properti mulai terkendali dengan risiko kredit yang terkelola. Rasio LTV pun telah beberapa kali dilakukan perubahan, dimana sejak 2015 kebijakan LTV telah direvisi dua kali dan diarahkan pada pelonggaran untuk mendorong kredit. Adakah ruang bagi kebijakan pemerintah? Sesuai PBI 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, Bank Indonesia mengatur DP minimum kredit untuk properti yang disalurkan oleh perbankan. Hal ini yang ditegaskan secara prinsip Gubernur BI pada berbagai media. Stabilitas sistem keuangan harus dapat dijaga melalui penyaluran kredit yang dapat dikelola risikonya. Perlu diingat pula bahwa sasaran pengaturan DP minimum melalui rasio LTV ini adalah kegiatan bisnis bank secara umum yang dibiayai oleh masyarakat. Bank adalah lembaga kepercayaan di mana lebih dari 90% dana yang dikelola adalah dana masyarakat. Bank harus prudent dalam menjalankan kegiatannya. - Namun penerapan LTV untuk kredit property tidak dilakukan untuk membatasi akses masyarakat terhadap pembiayaan perumahan. PBI LTV tidak menafikan bahwa terdapat kondisi tertentu yang membutuhkan pengecualian. Ada beberapa jenis kredit properti seperti rumah tapak s.d. tipe 21, rumah susun s.d. tipe 21 tidak harus memberikan DP. BI juga paham bahwa perlu ruang kebijakan bagi pemerintah untuk intervensi kebijakan di sektor perumahan, tentunya tetap memperhatikan risiko yang timbul. Oleh karena itu diberikan pengecualian ketentuan rasio LTV untuk Program Perumahan Pemerintah Pusat/Daerah sebagaimana diatur dalam pasal 17. Pengecualian terhadap rasio LTV saat ini telah digunakan untuk fasilitas kredit pemerintah pusat FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang disalurkan melalui beberapa perbankan. FLPP adalah fasilitas pembiayaan perumahan yang diberikan pemerintah pusat untuk masyarakat yang belum memiliki rumah. Masyarakat Berpenghasilan Rendah dapat menggunakan kredit FLPP dengan suku bunga rendah, jangka waktu kredit s.d. 20 tahun, uang muka dibantu pemerintah sebesar Rp 4 juta sejak tahun 2015. Memagari risiko kredit DP 0% Jika dilihat dari perspektif pengaturan makroprudensial, sebenarnya program DP 0% dimungkinkan dengan catatan bukan kegiatan bisnis murni dari Bank komersial sebagaimana diingatkan oleh Gubernur BI dan PBI LTV. Program DP 0% harus merupakan program pemerintah daerah. Namun perlu diperhatikan beberapa risiko berikut mengingat program pemerintah tersebut tetap harus memperhatikan prinsip kehati-hatian. Pertama risiko likuiditas bank penyalur. Dalam penjelasannya, program DP 0% ini akan dilaksanakan bekerjasama dengan Bank DKI. Sebagaimana BPD lainnya, komposisi Dana Pihak Ketiga Bank DKI didominasi dana jangka pendek milik pemerintah daerah. Jika dilihat periode 2011-2015, rata-rata komposisi DPK milik pemda mencapai 25%. Hal ini tentu berimplikasi pada risiko likuiditas Bank DKI terutama pada saat realisasi belanja APBD meningkat taham. Artinya, jika Pemda DKI ingin Bank DKI masuk pada pembiayaan jangka panjang, perlu dicari sumber pembiayaan baru dengan dimensi jangka panjang sebagai bantalan likuiditas. Kedua, risiko kenaikan harga aset yang lebih cepat. Berkali-kali disampaikan bahwa fasilitas DP 0% hanya masuk pada aspek kemudahan pembiayaan, bukan aspek supply. Jika demikian, demand rumah akan meningkat seiring dengan peningkatan kapasitas konsumen membeli rumah. Hal ini kemudian memicu kenaikan harga rumah mengingat demand tidak hanya bersumber dari peminjam fasilitas DP 0% namun juga pihak lain yang ikut mengantisipasi kenaikan harga rumah atau spekulasi. Praktik ini terjadi pada bebera pa rusunami di Jakarta seperti Green Pramuka maupun Kalibata. Di sini perlu ada pembatasan siapa saja yang bisa mengakses kredit ini untuk mengelola ekspekstasi. Selanjutnya, aspek supply tetap harus dipertimbangkan sebagai balancing kenaikan demand. Ketiga, risiko kredit. Dalam penyaluran kredit, fungsi DP merupakan salah satu alat manajemen risiko kredit. Jika kredit disalurkan tanpa DP, tentunya risiko kredit meningkat mengingat terdapat potensi penurunan kualitas debitur yang memperoleh kredit. Dalam kredit jangka panjang, risiko suku bunga juga perlu diperhatikan mengingat perubahan suku bunga bisa saja meningkatkan risiko gagal bayar oleh debitur. Oleh karena itu, perlu didefinisikan secara jelas siapa saja yang berhak memperoleh fasilitas tersebut antara lain melalui pembatasan maksimum-minimum pendapatan. Hal ini merupakan filter untuk menyaring kapabilitas calon debitur. Selanjutnya, intervensi Pemda terkait risiko kredit perlu dilakukan melalui dua hal : tambahan modal bagi Bank DKI serta penjaminan kredit melalui perusahaan daerah. Sebagai penutup, gagasan pembiayaan rumah bagi masyarakat perkotaan memang perlu disambut. Semua sepakat bahwa perlu solusi peningkatan kualitas hidup masyarakat Jakarta melalui penyediaan rumah yang layak. Namun meletakkan solusi ketersediaan perumahan kota Jakarta melalui kemudahan pembiayaan semata rasanya perlu ditinjau kembali. If I owe you a pound, I have a problem; but if I owe you a million, the problem is yours. - John Maynard Keynes Perlu penanganan kebijakan publik yang menyeluruh atas permasalahan perumahan perkotaan. Dan itu menjadi pekerjaan rumah bagi gubernur berikutnya, siapapun itu.