AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM

Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni oleh Nurcholish Madjid

 http://members.tripod.com/abu_fatih/Caknurnegara.html



Salah satu hal mengenai Islam yang tidak mungkin diingkari ialah pertumbuhan 
dan perkembangan agama itu bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem 
politik yang diilhaminya. Sejak Rasulullah s.a.w. melakukan hijrah dari Mekkah 
ke Yatsrib -yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah- hingga saat sekarang 
ini dalam wujud sekurang-kurangnya Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam 
Iran, Islam menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah kenegaraan.

Sesungguhnya, secara umum, keterkaitan antara agama dan negara, di masa lalu 
dan pada zaman sekarang, bukanlah hal yang baru, apalagi hanya khas Islam. 
Pembicara-an hubungan antara agama dan negara dalam Islam selalu terjadi dalam 
suasana yang stigmatis. Ini disebabkan, pertama, hubungan agama dan negara 
dalam Islam adalah yang paling mengesankan sepanjang sejarah umat manusia. 
Kedua, sepanjang sejarah, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim Barat 
(Kristen Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan ekspansi 
militer-politik Islam klasik yang sebagian besar atas kerugian Kristen (hampir 
seluruh Timur Tengah adalah dahulunya kawasan Kristen, malah pusatnya) dengan 
kulminasinya berupa pembe-basan Konstantinopel (ibukota Eropa dan dunia Kristen 
saat itu), kemudian Perang Salib yang kalah-menang silih berganti namun 
akhirnya dimenang-kan oleh Islam, lalu berkembang dalam tatanan dunia yang 
dikuasai oleh Barat imperialis-kolonialis dengan Dunia Islam sebagai yang 
paling dirugikan. Disebabkan oleh hubungan antara Dunia Islam dan Barat yang 
traumatik tersebut, lebih-lebih lagi karena dalam fasenya yang terakhir Dunia 
Islam dalam posisi "kalah," maka pem-bicaraan tentang Islam berkenaan dengan 
pandangannya tentang negara berlangsung dalam kepahitan menghadapi Barat 
sebagai "musuh."

Pengalaman Islam pada zaman modern, yang begitu ironik tentang hubungan antara 
agama dan negara dilambangkan oleh sikap yang saling menuduh dan menilai pihak 
lainnya sebagai "kafir" atau "musyrik" seperti yang terlihat pada kedua 
pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran. Saudi Arabia, 
sebagai pelanjut faham Sunni madzhab Hanbali aliran Wahabi, banyak menggunakan 
retorika yang keras menghadapi Iran sebagai pelanjut paham Syi'i yang sepanjang 
sejarah merupakan lawan kontroversi dan polemik mereka.

Iran sendiri, melihat Saudi Arabia sebagai musyrik karena tunduk kepada 
kekuatan-kekuatan Barat yang non-Islam. Semua itu memberi gambaran betapa 
problematisnya perkara sumber legitimasi dari sebuah negara yang mengaku atau 
menyebut dirinya "negara Islam." Sikap saling membatalkan legitimasi 
masing-masing antara Saudi Arabia dan Iran mengandung arti bahwa tidak mungkin 
kedua-duanya benar. Yang mungkin terjadi ialah salah satu dari keduanya salah 
dan satunya lagi benar, atau kedua-duanya salah, sedangkan yang benar ialah 
sesuatu yang ketiga. Atau mungkin juga masing-masing dari keduanya itu 
sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan.

Eksperimen Madinah

Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh 
Nabi s.a.w. sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Madinah (al-Madinah, kota par 
excellence). Dari nama yang dipilih oleh Nabi s.a.w. bagi kota hijrahnya itu 
menun-jukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu 
men-ciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu 
entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara.

Negara Madinah pimpinan Nabi itu, seperti dikatakan oleh Robert Bellah, seorang 
ahli sosiologi agama terkemuka, adalah model bagi hubungan antara agama dan 
negara dalam Islam. Muhammad Arkoun, salah seorang pemikir Islam kontemporer 
terdepan, menyebut usaha Nabi s.a.w. itu sebagai "Eksperimen Madinah."

Menurut Muhammad Arkoun, eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat 
manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang 
(arti-nya, wewenang atau kekuasan tidak memusat pada tangan satu orang seperti 
pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah) dan 
kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada 
ke-inginan dan keputusan lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang 
prinsip-prinsipnya disepakati bersama). Karena wujud historis terpenting dari 
sistem sosial-politik eksperimen Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, 
yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), yang di kalangan para sarjana modern 
juga menjadi amat terkenal sebagai "Konstitusi Madinah." Piagam Madinah itu 
selengkapnya telah didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti Ibn 
Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H).

Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi dari Universitas Islam 
Interna-sional Paris "yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi 
Madinah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam 
sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai 
kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia."

Ide pokok eksperimen Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu tatanan 
sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara 
bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan 
dengan kehendak pe-mimpin, melainkan oleh prinsip-prisip yang dilembagakan 
dalam dokumen kesepakat-an dasar semua anggota masyarakat, yaitu sebuah 
konstitusi.

Masa Khilafah Rasyidah (Kekhalifahan Yang Bijaksana)

Apa yang terjadi pada kaum Muslim penduduk Madinah selama tiga hari jenazah 
Nabi s.a.w. terbaring di kamar A'isyah menjadi agak kabur oleh adanya polemik- 
polemik yang sengit antara kaum Syi'ah dan kaum Sunnah. Kaum Sunnah mengklaim 
bahwa dalam tiga hari itu memang terjadi musyawarah pengganti Nabi, yang 
kemu-dian mereka bersepakat memilih dan mengangkat Abu Bakr. Kaum Syi'ah, 
meng-klaim bahwa yang terjadi ialah semacam persekongkolan kalangan tertentu, 
dipimpin oleh 'Umar, untuk merampas hak Ali sebagai penerus tugas suci Nabi.

Klaim adanya hak bagi 'Ali untuk menggantikan Nabi didasarkan antara lain pada 
makna pidato Nabi dalam peristiwa yang hakikatnya tetap dipertengkarkan, yaitu 
semacam rapat umum di suatu tempat bernama Ghadir Khumm. Peristiwa itu terjadi 
sekitar dua bulan sebelum Nabi wafat, ketika beliau dalam perjalanan pulang 
dari haji perpisahan (hijjat al-wada') meminta semua pengikut beliau itu 
berkumpul di Ghadir Khumm itu sebelum terpencar ke berbagai arah. Dalam rapat 
besar itu beliau ber-pidato yang sangat mengharukan, (karena memberi isyarat 
bahwa beliau akan segera berpulang ke rahmatullah). Menurut kaum Syi'ah Nabi 
s.a.w. menegaskan wasiat bahwa 'Ali adalah calon pengganti sesudah beliau.

Tapi kaum Sunni, sementara mengakui adanya rapat besar Ghadir Khumm itu, dengan 
berbagai bukti dan argumen menolak klaim Syi'ah bahwa disitu Nabi s.a.w. 
menegas-kan wasiat beliau untuk 'Ali. Bahkan yang terjadi ialah pembelaan untuk 
kebijaksana-an Nabi yang tidak menunjuk anggota keluarga beliau sendiri sebagai 
calon pengganti Ibn Taymiyyah menilai hal itu sebagai bukti nyata bahwa 
Muhammad adalah seorang Rasul Allah, bukan seorang yang mempunyai ambisi 
kekuasaan atau pun kekayaan yang jika bukan untuk dirinya maka untuk keluarga 
dan keturunannya.

Jika Muhammad saw. adalah ("hanya") seorang hamba sekaligus Rasul, dan bukannya 
seorang raja sekaligus nabi menurut Ibn Taymiyyah kewajiban para pengikutnya 
untuk taat kepada beliau bukanlah karena beliau memiliki kekuasaan politik 
(al-mulk), melainkan karena wewenang suci beliau sebagai utusan Tuhan (risalah).

Dalam teori Ibn Taymiyyah, Muhammad s.a.w. menjalankan kekuasaan tidaklah atas 
dasar legitimasi politik seorang "imam." seperti dalam pengertian kaum Syi'ah 
(yang sangat banyak berarti "kepala negara"), melainkan sebagai seorang Utusan 
Allah semata. Karena itu ketaatan kepada Nabi bukanlah berdasarkan kekuasan 
politik de facto (syawkah), melainkan karena beliau berkedudukan sebagai 
pengemban misi suci (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang 
hidup di masa beliau atau pun yang hidup sesudah beliau, sepanjang zaman. Nabi 
tidak menunjuk seorang peng-ganti atau menunjuk seseorang yang bukan keluarga 
sendiri. Kenabian atau nubuw-wah telah berhenti dengan wafatnya Rasulullah 
s.a.w. Oleh karena itu sumber otoritas dan kewenangan para khalifah adalah 
berbeda sama sekali dari sumber otoritas Nabi. Abu Bakr,misalnya, hanyalah 
seorang Khalifat al-Rasul (Pengganti Rasulullah) dalam hal melanjutkan 
pelaksanaan ajaran yang ditinggalkan beliau, bukan menciptakan tambahan, 
apalagi hal baru (bid'ah), terhadap ajaran itu. Ia tidak bertindak sebagai 
manusia biasa. Istilah khalifah sendiri sebagai nama jabatan yang pertamakali 
dipe-gang oleh Abu Bakr itu, adalah pemberian orang banyak (rakyat), tidak 
secara lang-sung berasal dari Kitab ataupun Sunnah. Karena itu ia tidak 
mengandung kesucian dalam dirinya, sebab ia hanya suatu kreasi sosial-budaya 
saja.

Prinsip-prinsip Islam diatas itu, yang oleh Bellah disebut sebagai 
"nasionalisme partisipatif egaliter," dengan baik sekali dinyatakan oleh Abu 
Bakr dalam pidato penerimaan diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu oleh 
banyak ahli sejarah diang-gap suatu statemen politik yang amat maju, dan yang 
pertama sejenisnya dengan semangat "modern" (partisipatif-egaliter).

Pidato ini merupakan manifesto politik yang secara singkat dan padat 
menggambar-kan kontinuitas prinsip-prinsip tatanan masyarakat yang telah 
diletakkan oleh Nabi. Seperti dibuat lebih terang oleh Amin Sa'id, pidato itu 
memuat prinsip-prinsip, (1) pengakuan Abu Bakr sendiri bahwa dia adalah "orang 
kebanyakan," dan mengharap agar rakyat membantunya jika ia bertindak benar, dan 
meluruskannya jika ia berbuat keliru; (2) seruan agar semua pihak menepati 
etika atau akhlaq kejujuran sebagai amanat, dan jangan melakukan kecurangan 
yang disebutnya sebagai khianat; (3) pene-gasan atas persamaan prinsip 
persamaan manusia (egalitarianisme) dan keadilan sosial, dimana terdapat 
kewajiban yang pasti atas kelompok yang kuat untuk kelom-pok yang lemah yang 
harus diwujudkan oleh pimpinan masyarakat; (4) seruan untuk tetap memelihara 
jiwa perjuangan, yaitu sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh ke 
masa depan; (5) penegasan bahwa kewenangan kekuasaan yang diperolehnya menuntut 
ketaatan rakyat tidak karena pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, 
tetapi karena nilai universal prinsip-prinsip yang dianut dan dilaksanakannya. 
Dalam istilah modern, kekuasaan Abu Bakr adalah kekuasaan konstitusional, bukan 
kekuasaan mutlak perorangan.

Menurut Bellah, unsur-unsur struktural Islam klasik yang relevan dengan 
penilaian bahwa sistem sosial Islam klasik itu sangat modern ialah, pertama, 
faham Tawhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa (Monotheisme) yang mempercayai adanya 
Tuhan yang transenden, yang wujud-Nya mengatasi alam raya (artinya, Tuhan 
berbeda dari alam dan tidak berhakikat menyatu dengan alam, dalam ilmu akidah 
disebut sifat mukhalafat al-hawadits), yang merupakan Pencipta dan Hakim segala 
yang ada; kedua, seruan kepada adanya tanggung jawab pribadi dan putusan dari 
Tuhan menurut konsep Tawhid itu melalui ajaran Nabi-Nya kepada setiap pribadi 
manusia; ketiga, adanya devaluasi radikal (penurunan nilai yang mendasar) 
-Bellah malah mengatakan dapat secara sah disebut "sekularisasi"- terhadap 
semua struktur sosial yang ada, berhadapan dengan hubungan Tuhan-manusia yang 
sentral itu. Akibat terpenting dari hal ini ialah hilangnya arti penting suku 
dan kesukuan yang merupakan titik pusat rasa kesucian pada masyarakat Arab 
Jahiliah (pra-Islam); keempat, adanya konsepsi tentang aturan politik 
berdasarkan partisipasi semua mereka yang menerima kebenaran wahyu Tuhan, 
dengan etos yang menonjol berupa keterlibatan dalam hidup dunia ini (tidak 
menghindari dunia seperti dalam ajaran rahbaniyyah, pertapaan), yang aktif, 
bermasyarakat dan berpolitik, yang membuat Islam lebih mudah menerima etos abad 
modern.

Politik Sunni melarang memberontak kepada kekuasaan, betapapun dzalimnya 
kekua-saan itu, sekalipun mengeritik dan mengecam kekuasaan yang dzalim adalah 
kewa-jiban, sejalan dengan perintah Allah untuk melakukan amar ma'ruf nahi 
munkar. Para teoritikus politik Sunni sangat mendambakan stabilitas dan 
keamanan, dengan adagium mereka: "Penguasa yang dzalim lebih baik daripada 
tidak ada," dan "Enampuluh tahun bersama pemimpin (imam) yang jahat lebih baik 
daripada satu malam tanpa pemimpin."

Karena kebanyakan umat Islam Indonesia Adalah Sunni, pandangan berorientasi 
pada status quo itu juga bergema kuat sekali di kalangan para ulama kita.

Islam jelas akan memberi ilham kepada para pemeluknya dalam hal wawasannya 
tentang masalah sosial-politik, namun sejarah menunjukkan bahwa agama Islam 
memberi kelonggaran besar dalam hal bentuk dan pengaturan teknis masalah 
sosial-politik itu. Suatu bentuk formal kenegaraan tidak ada sangkut pautnya 
dengan masalah legitimasi politik para penguasanya.

Yang penting adalah isi negara itu dipandang dari sudut beberapa pertimbangan 
prinsipil Islam tentang etika sosial.

Apa yang dikehendaki oleh Islam tentang tatanan sosial-politik atau negara dan 
pemerintahan ialah apa yang dikehendaki oleh ide-ide modern tentang negara dan 
pemerintahan itu, yang pokok pangkalnya ialah, menurut peristilahan 
kontem-porer egalitarianisme, demokrasi, partisipasi, dan keadilan sosial.

--------------------------------------------


  • [GELORA45] AGAMA DAN NEGA... 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]

Kirim email ke