Butuh waktu panjang disertai ketelatenan. Kesabaran, soal lain.
Tanpa ketelatenan hasil yang didapat hanyalah realita semu.Itu bisa dilihat 
dari kerja partai-partai, semuanya grasa-grusuhanya untuk menang pemilu. Ini 
ceroboh, dan luarbiasa bodohkarena sekedar kader untuk dipajang di pemilu saja 
mereka tak punya!Sungguh mengganggu kesabaran.
Apabolehbuat, Rakyat harus turun tangan sendiri memberikan 
pendidikan politik. Ini jelas terlihat lewat gerakan terorganisir 
sekelas aksi maupun gerakan alamiah macam golput dan karya seni 
maupun karya intelektual seperti Roy ini. Selama partai-partai 
memelihara kebodohan, gerakan Rakyat pasti meluas membasmikebodohan.

Sekalipun begitu memang tetap butuh waktu, disertai ketelatenan 
agar jangan sampai kehilangan momentum. Sekali terlewat tak akan 
berulang.

"Seluruh umat bertanggungjawab atas masa depan bangsa. 
Boleh berantem satu sama lain tapi keselamatan bangsa tetap diutamakan," 
- Gus Dur, di hadapan ratusan pendeta Kepulauan Riau tahun MMVIII.
--- jetaimemucho1@... wrote:

Hanya gerakan rakyat yang bisa menghadang para bandit. Partai-partai politik 
yang bersaingan dan bertempur satu sama lainnya sudah membuktikan dirinya tidak 
mampu menghadang para bandit, karena banyak bandit justru berasal dari 
partai-partai itu sendiri. Dan yang jelas sejak reformasi, tak satupun dari 
partai-partai itu yang telah membuktikan dirinya berpihak pada rakyat. Jadi 
gerakan rakyat itulah yang harus didukung supaya lebih besar dan kuat, kalau 
kita ingin benar-benar menghadang para bandit. Dan itu membutuhkan waktu 
panjang. Tidak akan ada hasil cespleng! Pendidikan yang diperlukan adalah 
pendidikan untuk penyadaran. Itulah yang dilakukan Roy melalui banyak 
tulisannya, bukannya tulisan yang menina-bobokkan rakyat supaya menerima begitu 
saja kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak mengindahkan kepentingan 
rakyat dan bangsa atau yang menyebarkan ilusi  dan mitos bahwa pembangunan yang 
dibiayai hutang luar negeri akan menguntungkan rakyat. Karena jalan mendukung 
gerakan rakyat memang jalan yang panjang, sulit dan berliku-liku, maka orang 
yang tidak punya kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan rakyat memilih 
berkolaborasi dengan penguasa Jokowi yang dianggapnya "orang yang baik".

On Sunday, April 16, 2017 10:07 AM, ajeg wrote:
Persoalan besarnya, bagaimana menghadang para bandit masuk ke wilayah kekuasaan 
sedangkan partai-partai penyedia 
tenaga penguasa semuanya berazas tunggal; Keserakahan.
Para bandit (sebetulnya cuma preman didandani dasi & jas) 
mustahil terhadang selama kita terus-terusan salah membaca 
masalah yang sebenarnya terjadi; mengharapkan pemimpin lewat 
pemilu padahal pesertanya (partai & calon) bermental preman 
penguasa lapak kakilima, penguasa lapak parkir, lapak ini-itu dlsb.
Ketidakmampuan mendiagnosa persoalan itu jelas bersumber 
pada pendidikan. Ada masalah besar dalam pendidikan di Indonesia 
sehingga hanya menghasilkan anak-anak yang pinter membaca soal, 
dan bukan menghasilkan bangsa yang cerdas membaca situasi. 
Orang perlu cerdas dulu sebelum mengunyah agama. Tetapi Gus Dur mencoba membuat 
terobosan dengan membidik para kiai kampung 
terlebih dulu untuk mendidik dengan pendekatan populis. 

Kalau Roy punya pendapat tentang Forum Kiai Kampung Gus Dur ini 
pasti menarik untuk disimak.

--- jetaimemucho1@... wrote:
TeologiPasifisme dan Nasib kelas Pekerja14 April2017 Roy Murtadho Harian 
IndoPROGRESS
Print PDFKALIini saya ingin mengawali diskusi kita dengan cerita. Sebuah cerita 
ringan danbiasa saja, yang bisa jadi, Anda juga pernah mengalaminya. Melalui 
ceritaringan dan biasa ini kita berharap bisa memotret sekilas wajah Islam 
Indonesiayang belakangan tengah dipromosikan sebagai solusi bagi 
dunia.Jumatlalu, saya sholat jumat di sebuah masjid tak jauh dari pusat kota 
Bogor.Seperti pada umumnya suasana masjid tiap hari Jumat, jamaah meluber 
hingga kepelataran. Meski demikian, para jamaah tak perlu khawatir tak bisa 
mendengarkankhotbah sang khotib karena pengeras suara terpasang di tiap sudut 
masjid. Makatak hanya yang sholat di sekitar masjid saja, orang-orang yang 
berada jauh darimasjid juga bisa mendengarkan suara sang khotib.Singkatcerita, 
dengan suara lantang sang khatib menjelaskan empat syarat menuju negeriyang 
baldatun tayyibatun warabbun ghafur, yaitu negeri yangparipurna, yang mendapat 
ampunan dari Allah swt: pertama, Ulamayang mengamalkan ilmunya dengan baik; 
kedua, Umara (pemimpin)yang adil; ketiga, orang kaya yang dermawan; dan 
keempat, orangfakir yang berkenan berdo’a untuk kebaikan negeri.Takjauh berbeda 
dengan sang khotib di Bogor. Pada Jumat lainnya yang saya sendirilupa secara 
persis waktunya, di sebuah masjid kecil di dusun saya di Jombang,sang khotib 
juga menjelaskan kunci menggapai ridlo Allah sebagai jalan menujunegeri 
tayyibatun wa rabbun ghafur. Baginya, hanya ada dua jalanmenuju ridlo Allah dan 
menjadi negeri yang tayyibatun wa rabbun ghafur yaitu:taat pada semua perintah 
Allah dan ikhlas atas apa yang dikehendaki oleh Allahdalam hidup seorang 
muslim. Melalui itu, selanjutnya sang khotib menjelaskanmakna ikhlas. “Siapakah 
orang yang mendapatkan ridlo Allah dengan ikhlastersebut?” tanya sang khotib. 
Yakni mereka yang sabar serta ikhlas dengan kemiskinannya bagi yangmiskin dan 
sabar serta ikhlas dengan kekayaannya bagi yang kaya. Karenakeduanya, miskin 
dan kaya adalah ujian dari Allah. Siapa yang tidak kuat denganujian kemiskinan 
dari Allah akan ditempatkan di nerakanya Allah. Begitu pulasebaliknya, siapa 
yang tidak kuat dengan ujian kekayaan dari Allah akanditempatkan di nerakanya 
Allah.Tatiana:Nah, dari sini lantas orang bisa bilang, yang miskin dan yang 
kaya , karenasama-sama menerima keadaan kemiskinan dan kekayaan  dengan sabar 
serta ikhlas maka mereka bisaberkolaborasi atau bekerja sama. Tidak ada 
kontradiksi antagonis antara yangkaya dan yang miskin.Keduakhotib, baik di 
Bogor dan di Jombang, meski mempunyai latar teologi berbeda[1],sesungguhnya 
sama-sama mengidap fatalisme akut yang melihat persoalan duniasebagai pantulan 
cahaya takdir Allah yang final. Bagi cara beragama semacam ini, tak ada subjek, 
yang adaadalah wayang. Bahkan, melalui teologi semacam ini, agama hanya menjadi 
sebatassoal kesanggupan menerima kenyataan hidup sebagai situasi yang 
terberi.Jadi, siapa yang siap menerima takdir Allah maka rahmat Allah balasan 
untuknya.Empatprasyarat yang diajukan sang khotib di Bogor, yang entah dari 
mana sumbernya,saya sendiri tak pernah mengeceknya, apakah dari hadis atau dari 
qaul Ulama,yang jelas terdengar absurd dan bagi saya bermasalah. Karena tak ada 
syarat-syaratmaterial yang memungkinkannya.Di zaman kapitalisme yang 
sistemkerjanya, disebut oleh Joseph A. Schumpeter secara cukup provokatif 
sebagai“proses penghancuran yang kreatif” (the process of creative 
destruction)[2],yang terus menerus menciptakan barang-barang konsumsi baru, 
metode-metodeproduksi dan transportasi baru, pasar-pasar baru, dan 
bentuk-bentuk baru dariorganisasi industrial yang dibikin oleh 
perusahaan-perusahaan kapitalis, untukmenjaga tetap beroperasinya mesin bernama 
kapitalisme,[3] denganmenghalalkan segala cara, bahkan dengan kekerasan. 
Mengharapkan pemimpin yangadil, dan orang kaya yang dermawan, sementara tak ada 
satu prasyarat materialpun yang memungkinkannya, tak lain adalah kekonyolan dan 
ketololan.Tatiana:Walaupun Roy tidak bilang “saya anti-kapitalisme”, dari 
paragraph ini orangdapat mengambil kesimpulan tentang sikap Roy terhadap 
kapitalisme, bukan?***Inti dari cerita dimuka adalahkedua khotib yang kita 
bicarakan di sini telah menjadikan agama sebagai carauntuk mengasingkan 
manusia, khususnya kaum miskin atau kaum proletar, daritanggungjawab 
historisnya untuk melepaskan belenggu penghisapan dari dirimereka dengan 
merebut kembali apa-apa yang seharusnya menjadi milik mereka. Pesan 
khotbahpasifis kedua khotib tersebut sangat manipulatif, intimidatif, dan 
menistakan manusia, khususnya kaummiskin, sebagai subjek sejarah yang 
menentukan sendiri takdir sejarahnya.Melaluiteologi pasifis, para pemuka agama 
kerap kali menganjurkan kaum proletarmemperbanyak doa atas ujian hidupnya. 
Padahal doa tidak secara otomatis akan memperkuat imanseseorang pada Allah. 
Sebaliknya, doa dalam rangka kepasrahan menerimapenghisapan justru makin 
menunjukkan betapa keroposnya iman seorang muslim padajanji Allah, yang kelak 
akan menjadikan kaum proletar sebagai pewaris bumi,jika mereka berkenan 
mengubah tatanan yang didominasi kelas penghisap menjaditatanan baru tanpa 
kelas.Kitapatut curiga dengan tafsir keberagamaan semacam ini. Konon di zaman 
baniUmayyah, teologi pasifismedibakukan oleh kerajaan dan dikekalkan dalam 
kesadaran rakyat agar tak adaseorangpun rakyat protes atas despotisme dan 
kedurjanaan di lingkungan keluargakerajaan. Bahkan keluarga bani Umayyah 
mengklaim bahwa mereka menjadiraja atas takdir dan seizin Allah. Sehingga 
siapapun yang mengkritik ataubahkan melawan kekuasaan keluarga bani Umayyah 
dianggap sama dengan melawantakdir Allah, yang berarti melawan Allah itu 
sendiri.Tentukita bertanya, mengapa teologi pasifis seperti kedua khotib di 
muka masih terusbercokol di abad dua satu ini. Benarkah teologi pasifis sebagai 
jalan menuju akhirat atau justrusebaliknya sebenarnya adalah rencana licik 
bentuk-bentuk penguasaan atas dunia(baca: alat produksi) dan pelanggengan 
penghisapan dengan menjauhkan kaummiskin dari tanggung jawab 
historisnya?Perlukita jawab dengan tegas. Teologipasifis adalah teologinya para 
penghisap! Di zaman dimana penjarahan kapitalisme terjadidi hampir seluruh 
penjuru dunia, pasifisme beragama merupakan racun yangberbahaya bagi kaum 
proletar. Agama merupakan pisau bermata dua. Bisa digunakan sebagai 
membelahapel atau untuk menusuk perut orang, tergantung siapa yang 
menggunakannya.Di tangan kaum borjuis,agama tak ubahnya obat bius yang 
disuntikkan ke tubuh kaum proletar untukmengurangi rasa sakit dan pedihnya 
penghinaan dan penghisapan yang menimpa dirimereka. Dengan demikian, agama 
menjadi salah satu instrumen penghisapan danpenindasan paling efektif selain 
negara.Bukanberarti kita hendak menolak agama. Tapi justru melalui kritik 
seperti ini, kitahendak mengembalikan spirit agama, khususnya Islam sebagaimana 
fitrahnya.Karena faktanya, secara historis tak bisa dibantah, mulanya agama, 
tak hanya Islam, merupakan jerittangis dan pekik perlawanan kaum papa atas 
berbagai penghisapan pada masanya.Bahkan agama hadir selalu dalam rangka 
merespon penghisapan dalam berbagaimanifestasinya. Maka tak ada satupun agama 
yang lahir dalam suatu kondisisosial yang berkeadilan. Agama selalu hadir dalam 
situasi penuh gejolakkemanusiaan ketika penindasan menjadi wajah 
dunia.***Gejalasuburnya teologi pasifisme ini juga dikonstruksi sekian lama 
oleh tendensikeberagamaan lainnya yang tanpa kita sadari mewabah di Indonesia. 
Kita akankembali pada cerita khotbah jumat.Kalaukita ingat-ingat tiap Jumat, 
kita seringkali mendengar suara sang khotib salingbersahutan antara masjid yang 
satu masjid dengan lainnya, seolah tengahberlomba menjadi corong terdepan syiar 
Islam. Kita bisa pahami mengapakondisinya demikian. Tak lain karena pengeras 
suara oleh sebagian besar umatIslam Indonesia dianggap sebagai bagian integral 
dari syiar Islam. Saya sendiri seringkali dalamsebuah ceramah mengatakan Islam 
Indonesia sebagai “agama pengeras suara”.Islam dianggap hadir sejauh ada 
pengeras suara. Ketika Anda mendengar ada orangmengaji dengan pengeras suara di 
masjid atau musholla, persis disanalah Islamdianggap telah hadir ke dunia. Maka 
kalau Anda menggugatnya karena suara yangmemekakkan telinga telah mengganggu 
banyak orang, Anda harus siap-siap dicapsebagai musuh Islam.Tapipertama-tama 
yang harus ditekankan, sebagai seorang muslim, kita tak perluburu-buru emosi 
terhadap sebutan Islam sebagai agama pengeras suara. Bisa jadi,justru kritik 
ini sedikit membantu kita mengoreksi kegagalan kaum muslim selamaini dalam 
mengaktualkan dan mematerialkan Islam di dunia. Sehingga, dengankegagalan 
tersebut, jarak antara klaim dan kenyataan menjadi sangat jauhsekali. Klaimnya 
peduli, kenyataannya tidak. Klaimnya memberi rahmatkenyataannya tidak, dan 
seterusnya.Melaluimedium pengeras suara inilah seolah-olah umat Islam tak perlu 
lagi bersusahpayah membumikan Islam dalam praktik hidup sehari-hari: membela 
yang lemah,melawan kebatilan, serta menegakkan keadilan. Sekali lagi, Anda 
cukup mengajidi masjid dengan pengeras suara, atau memutar suara para qari’ 
mengajidengan pengeras suara semacam syaikh Sudais, syaikh Suraim, atau ustad 
Muammar,Anda sudah dianggap sebagai pejuang Islam. Saya tak mengatakan ini 
semuakeliru. Saya hanya ingin mengatakan bahwa pengeras suara merupakan wajah 
Islamkita di Indonesia, yakni Islam simbolik-bombastik dalam pengertian yang 
palingumum. Gemar mengonstruksi klaim-klaim besar namun secara faktual 
terbuktisebaliknya.Darikeberagamaan pengeras suara ini, kaum muslim, alih-alih 
membangun prasyaratmaterial guna mewujudkan tatanan sosial berkeadilan, justru 
terjebak padapengulangan-pengulangan klaim-klaim besar yang tak bisa 
dimaterialkan. Baikkaum dai maupun intelektualnya terjebak dalam kubangan yang 
sama. Sama-samafatalis. Para intelektual, karena keengganannya melampaui 
tatanan yang ada,bahkan turut mengamini secara bulat tesis Fukuyama, 
liberalisme sebagai akhirsejarah, sehinggamenganjurkan menerima secara taqlid 
(membabi buta)berlangsungnya privatisasi badan-badan usaha milik negara (BUMN), 
dankomodifikasi SDA, yang oleh David Harvey disebuat sebagai akumulasi 
melaluiperampasan.[4] Aneh sekali, kaum intelektual Islamyang gemar 
menganjurkan rasionalisme Islam tapi justru menjadi muqallid (pembebek)dalam 
urusan ekonomi dan politik pada mesin kapitalisme global.Kegagalankita selama 
ini karena ketidakmampuan kita mendiagnosa persoalan sesungguhnyadi balik 
fenomena-fenomena yang tengah terjadi, yang disebabkan oleh 
mewabahnyakecenderungan umum atau tendensi pasifisme maupun psikologisme dalam 
membacafenomena sosial-keagamaan hari ini.Sedemikian,jika sejak pada abad 16 
hingga abad 19 VOC meraup untung dari menghisap HindiaBelanda, dengan 
menempatkan dirinya di puncak rantai sistem upeti,[5] maka hari ini, para 
politisiborjuis berkolaborasi dengan para bandit nasional maupun internasional 
yangmenjadi mata rantai tertinggi penghisapan di negeri ini. Dengandemikian, 
tak ada jalan lain bagi kaum proletar seluruh negeri selain harusbersatu, 
karena hanya dipundak merekalah negeri yang baldatun wa rabbunghafur 
dimungkinkan melalui perjuangan mengintervensi politik secaralangsung, lebih 
dari sekedar melakukan tekanan politik dari pinggir. Karena tak mungkin akan 
adapemimpin yang adil kalau mereka sejak semula bagian dari para bandit.Tak 
akan ada ulama yang mengamalkan agamanya dengan benar, kalau sejak semulamereka 
menjadi bagian dari mesin penghisapan. Apalagi, tak mungkin orang kayaakan 
berbuat baik pada kaum miskin, karena ia bisa kaya justru karena iamenghisap 
kaum proletar.Tatiana:Benar sekali kata Roy. Tak mungkin ada pemimpin yang adil 
kalau mereka sejaksemula merupakan bagian dari pada bandit. Teologipasifis 
harus disubstitusi dengan teologi aktif, teologinya kaum kaum proletar,yang 
dicirikan oleh semangat menggali persoalan dunia melalui 
penilikanobjektif-material untuk memecahkan persoalan di dunia, sebelum 
mengetuk pintusurga. Jika tidak, kita hanya turut memperpanjang waktu 
penghisapan danmelanggengkan malapetaka. Naudzubillah mindzalik.*** Bogor, 10 
April 2017 —————[1] Ketika sayadengarkan dengan cermat, beberapa kali sang 
khotib di sebuah masjid di Bogormenyebut nama Sayyid Qutb, seorang ideolog 
Ikhwanul Muslimin Mesir yang mati ditiang gantungan, saya bisa memastikan sang 
khotib kemungkinan besar seorangikhwanul muslimin. Sedangkan khotib di dusun 
saya di Jombang, bisa sayapastikan seorang sunni, karena secara pribadi saya 
mengenalnya.[2] Joseph A.Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy, 
London & NewYork: Routledge, 1976, hal. 81-86.[3] Ibid., hal.82-83.[4] Lih. 
DavidHarvey, A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford UniversityPress, 
2005, hal. 157-158.[5] Tania Murray Li, TheWill to Improve, Governmentaly, 
Development, and the Practice of Politics,Durham & London: Duke University 
Press, 2007, hal. 62-63.
   

Kirim email ke