----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: 'Chan CT' sa...@netvigator.com 
[GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com>Kepada: GELORA_In 
<GELORA45@yahoogroups.com>Terkirim: Jumat, 15 Desember 2017 03.55.54 
GMT+1Judul: [GELORA45] Agama dan nasionalisme 'alat pemenangan' Pilpres 2019?
     


Agama dan nasionalisme 'alat pemenangan' Pilpres 2019?
Nuraki AzizBBC Indonesia Hak atas fotoGETTY IMAGESImage captionMayoritas rakyat 
Indonesia menolak radikalisme agama. 
Masalah agama, nasionalisme dan komunisme masih tetap akan dipakai pada 
Pemilihan Presiden 2019, termasuk kepada presiden Joko Widodo, kata pengamat 
militer, Soleman Ponto.

"Sekarang ini kan sedang, seperti nasionalisme, agama dan komunisme bertempur. 
Bagaimana Pak Jokowi itu dianggap, wah PKI, seorang komunis. Dia dianggap 
sebagai seorang yang anti agama.

"Kalau yang namanya mencari dukungan, itu kan segala cara. Saya tidak yakin itu 
dia punya data yang kuat tentang ini. Tetapi karena ini dipakai sebagai alat, 
sebagai alat apa aja bisa dipakai," lanjut Soleman yang mantan Kepala Badan 
Intelijen Strategis (BAIS).
   
   - FPI: ‘Indonesia bukanlah negara demokrasi’ 
   - Saudi dirikan sekolah di Indonesia, isu Wahabi kembali ramai 
   - Tentang milad, jilbab, Raja Salman, dan Indonesia

Tetapi pada bulan Agustus lalu, Wahid Institute menyebutkan 11 juta orang 
bersedia melakukan tindakan radikal, 0,4% penduduk Indonesia pernah bertindak 
radikal dan 7,7% mau bertindak radikal jika memungkinkan.

Tindakan radikal -dalam bentuk mengkafirkan, ujaran kebencian, menolak orang 
yang tidak beriman menjadi pejabat tinggi negara- dapat menjadi semakin besar 
pengaruhnya karena ditularkan ke lingkungan sekitar, kata pengamat politik 
Donny Gahral Adian.

"Bagaimana pengaruh mereka terhadap lingkungan sekitar mereka. Kalau mereka 
ayah, ke istrinya, ke anaknya, ke teman kantornya, teman peer group-nya. Nah 
itu sebenarnya bagaimana radicalism bisa menyebar melalui jaringan-jaringan, 
apakah kekerabatan, atau sosial, bisnis," kata pengamat dari Universitas 
Indonesia ini.
Hak atas fotoAFPImage captionBasuki Tjahaja Purnama divonis bersalah dan 
dihukum pidana penjara dua tahun, awal Mei 2017. 
Pilkada Jakarta cerminan Pilpres?

Sebagian orang memandang pihak-pihak yang melancarkan tuduhan-tuduhan tersebut 
bisa diketahui lewat apa yang terjadi pada Pilkada Jakarta, berdasarkan 
indication and warning intelijen, meskipun indikasi dan peringatan tersebut 
tetap bukanlah suatu kepastian, kata Soleman.

"Bagaimana kasus gubernur Jakarta kan, pak Ahok ini, bagaimana gertaknya 
penggunaan SARA ini dipakai. Nah yang tidak diharapkan adalah situasi pemilihan 
gubernur Jakarta ini dibawa menjadi pada saat Pilpres 2019," kata Mayjen (purn) 
Soleman.
   
   - Ada apa di balik pengunduran dua pengacara Setya Novanto? 
   - Siapa berebut posisi ketua umum Golkar -jika Setya Novanto mundur atau 
jatuh 
   - Golkar tak ganti Setya Novanto, partai bisa terbelah?

Pihak-pihak ini bisa saja pesaing terdekat Jokowi, Prabowo Subianto, pendukung 
mantan presiden Suharto atau siapa saja yang berkepentingan ingin memenangkan 
pemilihan presiden, tambahnya.

Pengamat intelijen, Muchyar Yara, memandang radikalisme agama, nasiolisme dan 
komunisme hanyalah dipakai saja, tetapi tidak terlalu berpengaruh.

"Itu dibuat. Bisa juga hilang sekejap, bisa juga muncul dengan tiba-tiba, 
issue-issueseperti komunisme, nasionalisme, agama. Itu tergantung kemampuan dan 
kekuatan pihak-pihak yang me-manage issue-issue tersebut. Dan itu berpulang 
kembali kepada, dalam situasi sekarang ini, dengan kemampuan uang, " kata 
mantan pejabat BIN dan Partai Golkar ini.
Hak atas fotoAFPImage captionPenanaman modal asing diterima selama menumbuhkan 
ekonomi Indonesia. 
Investasi dan pekerja asing

Radikalisme nasionalisme adalah salah satu hal yang tetap dipakai dalam 
memenangkan Pilpres 2019. Apakah itu terkait dengan afiliasi politik ataupun 
ekonomi.

Topik pekerja atau investasi asing, seperti tambang Freeport di Papua dan 
pekerja dari Cina akhir-akhir ini kembali muncul.

"Nasionalisme yang diusung oleh pak Jokowi, itu bukan nasionalisme yang 
tertutup, menjadi ultra nationalisme anti asing. Foreign investment welcome to 
Indonesia as long as itu menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan 
pertumbuhan ekonomi, menyumbang terhadap penerimaan negara, itu pada akhirnya 
dipakai untuk rakyat," kata pengamat Donny Gahral Adian.
   
   - Terorisme dan Masyarakat Ekonomi ASEAN jadi sorotan KTT ASEAN 
   - Apa yang harus Anda ketahui tentang Masyarakat Ekonomi Asean 
   - Cegah ekstremisme, ASEAN 'harus moderat'

Muchyar Yara juga setuju nasionalisme tetap mempengaruhi pemilihan presiden 
2019.

"Menurut saya iya. Menurut saya iya begitu. Dan sepanjang sejarah yah di 
Indonesia, mungkin hanya Gus Dur yang berhasil menjadi presiden mewakili 
platform politik Islam. Itupun beliau dianggap sangat toleran. Jadi umumnya 
nasionalis yang biasanya bisa lebih diterima."
Hak atas fotoREUTERSImage captionPenolakan tegas Jokowi atas keputusan Trump 
terkait dengan Yerusalem, dinilai menguntungkan dirinya. 
Yerusalem, Palestina

Pandangan para calon Pilpres 2019 terkait dengan keputusan Presiden Amerika 
Serikat, Donald Trump, memandang Yerusalem sebagai ibukota Israel juga dianggap 
penting para pemilih. Soleman memandang kebijakan luar negeri pemerintah Jokowi 
yang memihak Palestina dianggap penting mayoritas rakyat Indonesia.

"Sasaran tembak yang, apa sekarang terjadi pada rakyat Palestina, kalau beliau 
nanti kurang, masih dianggap kurang effort nya, itu akan jadi masalah," kata 
Ponto.
   
   - Donald Trump: Yerusalem adalah ibu kota Israel 
   - PM Netanyahu tentang Yerusalem: Palestina mesti menerima kenyataan 
   - Yerusalem: Tiga hal yang perlu Anda ketahui tentang kota suci

Pada hari Rabu (13/12) di KTT Organisasi Kerja sama Islam di Istanbul, Turki, 
Presiden Jokowi secara tegas menolak pengakuan Trump tersebut.

Respon tanggap dan tegas Jokowi dipandang positif terkait dengan Pilpres 2019, 
pandang pengamat politik Donny Gahral Adian.

"Cukup positif karena dia langsung merespon bahwa menolak Yerusalem sebagai ibu 
kota Israel. Dia dalam posisi bahwa dispute antara Palestinians dan Israel itu 
perlu diselesaikan dengan cara-cara yang lebih civilised," katanya.
Hak atas foto@ALARABY_ARImage captionFoto kejadian di masjid Mesir beberapa 
tahun lalu, yang dibuat seolah-olah baru saja terjadi di media sosial. 
Siapa pemenang?

Jadi siapa yang diperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden? Hal-hal apa 
yang penting untuk diusung agar mengungguli persaingan?

Posisi petahana, dukungan terhadap UUD 1945, Pancasila dan keberagaman adalah 
faktor-faktor penentu, menurut pengamat Soleman Ponto.

"Walaupun dia sudah sebagai incumbent, dia harus tetap bisa memperlihatkan 
kepada masyarakat Indonesia bahwa beliaulah, masih dalam tangan beliau 
Indonesia masih bisa berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 dan Pancasila dengan 
keberagamannya," kata Mayjen Ponto.
   
   - Pemain game di YouTube raup US$7 juta 
   - Perempuan AS tembak kekasihnya agar 'bisa terkenal’ di YouTube 
   - Gangnam Style tak lagi jadi video terpopuler di YouTube

Selain faktor petahana, jumlah dana dan kemampuan mengelolanya, menentukan 
tokoh yang akan menjadi presiden Indonesia, kata pengamat Muchyar Yara.

"Kalau soal dana, kita sekarang ini tidak bisa menghitung secara jelas. Di 
Indonesia ini kan hanya pelaporan saja ke KPU dan KPU tidak punya akses yang 
kuat untuk bisa menelusuri. Namun secara umum yang namanya petahana pasti 
banyak dapat support," Muchyar menjelaskan.

Salah satu medan persaingan politik yang penting akhir-akhir ini adalah media 
sosial. Tetapi saat ini masih belum jelas pihak yang akan meraup keuntungan 
dari mempengaruhi pemakai Facebook atau medsos lainnya, kata Donny Gahral Adian.

"Pertarungannya masih cukup ketat karena social media itu kan cair, apapun bisa 
terjadi, satu issue di viral kan, itu seolah-olah menjadi kebenaran. Orang 
gampang percaya terhadap sesuatu yang sebenarnya fake news, sesuatu yang 
sebenarnya hoax, sesuatu yang sebenarnya tidak benar," kata Donny Gahral Adian 
dari UI.
    

Kirim email ke