Dengan sistem sekarang mahar politik akan selalu ada, pada dasarnya mahar 
politik merupakan anak dari threshold yg hanya partai2 dgn sekian persen yg 
boleh mengajukan calon sedang calon independen dipersukar sedemikian rupa 
hampir tidak memungkinkan. Hapus threshold dan biarkan calon independen maju 
tanpa dipersulit persyaratan sedemikian rupa maka mahar politik akan hilang.

---In GELORA45@yahoogroups.com, <j.gedearka@...> wrote :





https://www.antaranews.com/berita/678180/kalau-mahar-politik-kian-

dibiarkan


Kalau "mahar politik" kian 


dibiarkan

Selasa, 16 Januari 2018 19:58 WIB

Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) menggelar aksi simpatik pemilu 2014 
"Stop Golput dan Stop Politik Uang" pada saat hari bebas kendaraan di kawasan 
Pantai Losari, Makassar, Sulsel, Minggu (6/4/2014). Pada pemilu legislatif yang 
akan di gelar tiga hari mendatang di harapkan masyarakat dapat berperan aktif 
memberikan hak suaranya serta menciptakan pemilu yang bersih dan jujur. (ANTARA 
FOTO/Dewi Fajriani) ()
Jakarta (ANTARA News) - Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 
pada Juni 2018, tidak hanya terjadi persaingan diantara bakal calon kepala 
daerah tapi juga antara satu partai politik yang satu dengan yang lainnya..

Yang kemudian muncul adalah suasana "panas" apalagi ada satu parpol yang para 
pemimpinnya mulai saling memaki dan pecat-memecat.

Masyarakat selama beberapa hari terakhir ini, mulai menyaksikan suasana saling 
mencemooh hingga pecat-memecat diantara para tokoh Partai Hati Nurani Rakyat 
atau Hanura, terutama ketika beberapa tokohnya memecat Ketua Umum Dewan 
Pimpinan Pusat Hanura Oesman Sapta Odang dan kemudian menunjuk Pelaksana Tugas 
Ketua Umum Daryatmo.

Namun, tak mau kalah gertak, Oesman Sapta Odang--yang juga Wakil Ketua Majelis 
Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahkan juga Wakil Ketua Dewan Perwakilan 
Daerah--memecat Sekretaris Jenderal DPP Hanura Syarifuddin Suding.

Pecat-memecat ini patut disimak karena bagaimanapun juga Partai Hanura adalah 
salah satu partai politik peserta yang ikut dalam kontestansi pilkada yang akan 
datang sehingga "pertarungan internal" itu bisa diperkirakan mempengaruhi 
tingkat konsentrasi para pemimpin, anggota hingga simpatisannya. 

Dunia politik di Tanah Air ini seharusnya patut memuji atau menghargai atau 
apapun istilahnya terhadap Partai Golkar yang akhirnya mampu memilih ketua umum 
yang baru, yaitu Airlangga Hartarto untuk menggantikan Setya Novanto karena 
diduga terlibat kasus korupsi dengan kerugian negara tidak kurang dari Rp2,3 
triliun pada proyek KTP elektronik yang bernilai Rp5,9 triliun.

Tentu masyarakat amat berharap agar kemelut di Partai Hanura--siapa pun 
"pemenangnya"--dapat diselesaikan secara baik apalagi partai ini belumlah 
menjadi parpol yang "benar-benar besar dan kuat".

Karena sekarang sudah bulan Januari, sedangkan pilkada serentak dijadwalkan 
berlangsung 27 Juni 2018 maka waktunya sudah sangat "mepet", yakni persiapannya 
tinggal enam bulan lagi. Semua pihak mulai lagi pemerintah, KPU, Bawaslu, 
panwaslu, masyarakat sudah harus memeras keringat agar pesta demokrasi ini 
benar-benar berlangsung jujur dan adil alias jurdil serta bebas rahasia.


"Mahar Politik"

Karena pesta demokrasi ini akan memilih gubernur-wakil gubernur, wali kota dan 
wakil wali kota hingga bupati dan wakil bupati, maka tentu saja begitu banyak 
calon kepala daerah yang merasa dirinya mampu menjadi gubernur, bupati dan wali 
kota.

Mereka mulai "menjual dirinya" kepada partai-partai politik yang diharapkan 
bisa mendukung pencalonan dirinya itu. Namun ternyata hal itu sama sekali tidak 
gampang.

Seorang bakal calon wali kota Cirebon, Jawa Barat, Brigadir Jenderal Polisi 
Purnawirawan Siswandi mengaku harus memberikan "uang sogokan" atau istilah 
kerennya "mahar politik" sedikitnya ratusan juta rupiah agar bisa didukung oleh 
satu partai. 

Tentu saja "tuduhan" minta "mahar politik" atau bahasa gampangnya "sogokan" itu 
dibantah habis-habisan oleh para tokoh parpol di Cirebon itu.

Sebelumnya, seorang pengusaha dari Jawa Timur, La Nyalla Mattalitti juga 
mengaku atau mengklaim bahwa dirinya harus memberikan "mahar politik" miliaran 
rupiah agar pencalonan dirinya itu sukses sebagai calon gubernur. Namun 
lagi-lagi pengakuan La Nyalla itu dibantah oleh tokoh parpol di Jawa Timur itu. 

Akibatnya, La Nyalla Mattalitti terpaksa harus "bercerita" tentang dimintanya 
uang sogokan itu.


Kok Terjadi?

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian baru-baru 
ini mengungkapkan bahwa untuk menjadi calon bupati saja, seseorang harus 
menyediakan uang Rp30 miliar. 

Kalau sukses menjadi bupati maka pertanyaan Kapolri adalah gaji atau bahkan 
pendapatan selama lima tahun ini pasti tidak akan mungkin mengembalikan uang 
Rp30 miliar itu, maka akankah satu-satunya alternatif adalah menggerogoti uang 
APBD setempat?.

Sang bupati pasti juga akan mulai berpikir bahwa bisa saja dia tidak terpilih 
untuk masa jabatan atau periode kedua sehingga juga harus memiliki "tabungan" 
selama menjadi pejabat.

Kalau begitu, bagaimana mengatasi masalah uang atau modal yang "segunung" itu?

Cara yang paling mudah dipikirkan tapi sama sekali tidak mudah dilaksanakan 
adalah Kementerian Dalam Negeri yang membawahi gubernur, bupati dan wali kota 
harus mencari cara agar pemilihan kepala daerah itu tidak ruwet, berbelit-belit 
serta tak makan waktu lama.

Coba bagaimana seorang calon gubernur Papua, misalnya, harus mendatangi semua 
kota, kabupaten atau distrik (kecamatan) untuk berkampanye guna mendapat 
dukungan dari calon pemilih kalau begitu banyak daerah terpencil hanya bisa 
didatangi dengan pesawat udara--yang pasti mahal--sambil membawa ratusan atau 
ribuan kaos, poster, pulpen serta berbagai jenis "cendera mata" bagi para 
pemilihnya.

Kalau calon bupati saja harus menyediakan uang Rp30 miliar, maka bagaimana 
seorang calon gubernur harus memiliki anggaran "segunung" apalagi seorang calon 
presiden untuk menghadapi pilpres?

Rakyat pasti sudah sangat benci, jengkel bahkan muak menghadapi kenyataan 
banyak gubernur, bupati hingga wali kota yang terpaksa harus ditangkap oleh KPK 
hanya gara-gara berkorupsi sehingga keadaan memprihatinkan atau bahkan 
memalukan ini harus segera dihentikan.

Tentu masyarakat berhak menaruh harapan kepada Presiden Joko Widodo, Menko 
Polhukam Wiranto serta Mendagri Tjahjo Kumolo agar menghasilkan "resep jitu" 
supaya tidak ada lagi bupati, wali kota sampai dengan gubernur yang "masuk bui" 
gara-gara korupsi uang rakyat. 

Yang amat didambakan rakyat dari para pemimpinnya sama sekali tidak banyak atau 
tak berlebihan, yakni bagaimana harga bahan pokok sehari-hari mulai dari beras, 
gula, kopi, gula pasir bisa murah dan tidak terus melonjak-lonjak, uang sekolah 
yang tak mahal, mudah mencari pekerjaan serta punya rumah hingga tak ada lagi 
korupsi.

Berlebihankah harapan rakyat itu? 

Pewarta: Arnaz F. Firman
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2018
   
   - TAGS:
   - mahar politik

Kirim email ke