Moeldoko itu ketua HKTI. Paling logis pengangkatannya ini
ya untuk mengamankan impor beras. Begitulah lazimnya 
strategi reshuffle Jokowi, sekedar pemadam kebakaran.
Moeldoko Ingatkan Pemerintah
Untuk berkoalisi dengan SBY*, Moeldoko butuh restu Wiranto.
*) SBY, doktor ekonomi pertanian lolosan IPB itu toh bungkam 
soal impor beras. 
--- jonathangoeij@... wrote:
    Moeldoko ini terhitung aneh dan menarik untuk diamati, karir beliau meroket 
pada saat SBY hanya beberapa bulan jadi KSAD terus diangkat jadi Panglima TNI, 
hal yg mirip seperti pada Panglima TNI Hadi Tjahjanto maupun Kapolri Tito 
Karnavian. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya Moeldoko orang dekat dan 
kepercayaan SBY, tetapi anehnya setelah pensiun malah bergabung dengan Hanura 
partainya Wiranto. Tak tahulah.
Apakah pengangkatan Moeldoko ini menunjukkan bakal koalisi dgn SBY?

--- ajegilelu@... wrote :

Entah apa pertimbangan Jokowi mengganti Teten Masduki (PDIP) 
dengan Moeldoko. Kalau Hasyim Muzadi (NU) memang harus 
ada gantinya karena beliau tutup usia. Tetapi kenapa pula tidak pilih
dilanjutkan dengan pengganti dari NU juga?
Boleh saja orang menduga ditariknya 2 jenderal ini untuk memperkuat 
posisi Jokowi sebagai capres 2019 seperti dikatakan Wiwiek. Tetapisadarkah 
Jokowi bahwa dengan mengamputasi Teten dan penggantian 
Muzadi ini bisa mengurangi dukungan suara dari PDIP dan NU?
Di sisi lain, langkah Jokowi terhadap unsur PDIP dan NU ini seperti
menyiratkan bahwa republik sudah mencapai kulminasi kegagalan sipil 
membentuk dan menjalankan pemerintahan sejak 2001. Sebab, 
bagaimanapun, NU dan PDIP pra Kongres Semarang 2000 adalah duet 
nasionalis-sipil terbesar di Indonesia. Sialnya memang sejak kongres itu 
PDIP bertingkah aneh sehingga banyak pemikirnya yang pilih keluar, 
bedol partai besar-besaran. Hanya Kwik Kian Gie barangkali kader yang 
paling sabar. Atau telme? - telat menyadari. Heheh...


--- SADAR@... wrote:


Strategi Politik Jokowi di Lingkaran Jenderal Pensiunan
RZR , CNN Indonesia | Rabu, 17/01/2018 14:07 WIBPresiden Joko Widodo membahas 
keamanan negara dengan Jenderal Moeldoko saat masih menjabat Panglima 
TNI.(ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo 
atau Jokowi melantik dua purnawirawan jendral TNI Angkatan Darat di kabinetnya 
Rabu (17/1) pagi. Mereka adalah mantan panglima TNI Jendral (Purn) Moeldoko 
sebagai Kepala Staf Presiden (KSP) dan Jendral (Purn) Agum Gumelar sebagai 
anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres).

Pengamat poltik Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan 
Indonesia (P2P LIPI) Siti Zuhro menilai pelantikan dua pensiunan jendral itu 
sebagai modal Jokowi meningkatkan daya tawar politik (bergaining) dihadapan 
lawan politiknya menjelang Pilpres 2019.

"Untuk memperkokoh dan memperkuat posisinya sebagai incumbent yang akan 
mencalonkan kembali, dia ingin menunjukan bahwa ia tak hanya didukung oleh 
masyarakat sipil tapi juga TNI," kata Siti saat dihubungi CNNIndonesia.com pada 
Rabu (17/1).
Diketahui telah ada beberapa pensiunan jendral TNI di lingkaran kekuasaan 
Jokowi. Mereka di antaranya adalah Jendral (Purn) Wiranto yang menjabat sebagai 
Menkopolhukam, Jendral (Pur) Luhut Binsar Panjaitan menjabat sebagai Menko 
Bidang Kemaritiman dan Jendral (Purn) Ryamizard Ryacudu menjabat sebagai 
Menteri Pertahanan.


| 
Lihat juga:
 Moeldoko Resmi Jabat Kepala Staf Presiden |


Siti menyebut pengangkatan kedua jendral kali ini mengindikasikan Jokowi sedang 
merespons kekuatan koalisi Gerindra, PKS dan PAN untuk ajang Pilpres 2019. 

Siti melihat bahwa dalam struktur partai Gerindra juga memiliki banyak 
pensiunan jendral yang berdiri di belakang Prabowo. Hal itu lalu ditangkap 
Jokowi dengan melakukan strategi serupa.

"Tentunya karena ketua umumnya Gerindra yang mantan jendral itu, dalam 
kemunculan calon-calon di Pilkada juga mereka banyak mengusung para Jendral 
TNI, belum lagi di struktur partainya banyak jendral juga, hal itu juga harus 
ditimpali Jokowi dengan hal yang sama," ujarnya.

Menurut Siti, para jendral itu disiapkan Jokowi sebagai lawan tanding yang 
setara bagi koalisi Prabowo. Para jendral di belakang Jokowi itu, dianggap 
sebagai sarana untuk melawan dan mengacak-acak kekuatan koalisi Prabowo di 2019.

"Jadi posisi Jokowi sebagai calon incumbent itu harus menghadirkan lawan 
tanding yang setara untuk political bargaining yang memberikan efek politik 
mengacak acak (koalisi Gerindra, PKS dan PAN), hingga tak gentar lagi sebagai 
incumben untuk maju lagi," ujarnya.


| 
Lihat juga:
 Empat Pejabat di Reshuffle Kabinet Jilid Tiga Jokowi |


Menurut Siti, basis dukungan dari pensiunan jendral TNI masih memiliki peranan 
signifikan dalam kontestasi politik. Mereka yang berlatar militer atau polisi 
memiliki modal soal ketegasan, jejaring, kepemimpinan, serta pengalaman sebagai 
perwira tinggi di TNI.

"Tapi bagaimanapun juga basis kekuatan yang dimiliki negara seperti itu 
ternyata dalam pemilu masih signifikan peranannya. Jokowi menangkap sinyal itu 
dan tentu saja aktor-aktor dari TNI Polri itu akan dipersiapkan," ujarnya.

Kantor Staf Presiden terancam mati suri

Siti juga khawatir terhadap kinerja Kantor Staf Presiden (KSP) yang dinilainya 
akan mati suri saat berada dibawah pimpinan Moeldoko. Ia berpendapat bahwa 
kerja-kerja prioritas KSP di bawah Moeldoko akan diarahkan untuk memperkuat 
stabilitas politik negara demi kepentingan Jokowi di 2019.

Menurut Siti, KSP di bawah Moeldoko justru akan memperkuat posisi negara 
ketimbang memperkuat posisi masyarakat sipil.

"Pendekatan (KSP dibawah Moeldoko) akan dijadikan sebagai sarana stabilitas 
politik yang diarahkan untuk ikut menguatkan posisi di pemilu 2019, arahnya 
kesana," ujarnya.

Diketahui, KSP di bawah pimpinan Teten Masduki seringkali menjadi tempat 
mengadu para aktivis untuk melaporkan permasalahan hukum, Hak Asasi Manusia 
(HAM) maupun isu keadilan lainnya yang terjadi di Indonesia.


| 
Lihat juga:
 Teten Masduki Dipercaya Jadi Tangan Kanan Jokowi |


Siti khawatir hubungan baik antara masyarakat sipil terhadap KSP akan terputus 
saat Moeldoko menjabat. Pasalnya, psikologis politik masyarakat sipil akan 
berubah dan enggan untuk melapor jika pimpinannya berasal dari militer.

"Bisa  jadi nanti yang terjadi communication breakdown atau tidak harmonis 
lagi, dan tidak ada koumunikasi dua arah tadi. Lalu aspirasi belum tentu 
terkakomodasi dengan baik kalau komunikasinya juga breakdown" ungkapnya.

Jika situasi seperti itu terjadi, kata Siti, tak menutup kemungkinan kepekaan 
pemerintah terhadap usulan dan masukan dari kelompok masyarakat sipil semakin 
mengecil. Sehingga kerja-kerja KSP soal penegakan HAM dan keadilan dinilai akan 
mati suri jika hal tersebut terjadi. 

"Itu yang terjadi saat orde baru memerinatah, penegakan HAM tak dipikirkan, 
padahal dalam iklim demokrasi seperti ini sangat amat kurang itu penekanan 
hukum dan ham. Justru kita masih berjuang menegakan hukum dan HAM," katanya. 
(gil) 



   

Kirim email ke