https://www.kompasiana.com/kadirsaja/mengapa-indonesia-sulit-sekali-
swasembada_575e61d84f7a61d911773ced
Kadir Ruslan <https://www.kompasiana.com/kadirsaja>
Kadir Ruslan <https://www.kompasiana.com/kadirsaja>
FOLLOW
<https://www.kompasiana.com/kadirsaja/mengapa-indonesia-sulit-sekali-swasembada_575e61d84f7a61d911773ced>
pegawai negeri
Pemerhati masalah sosial-ekonomi. Bekerja di BPS-RI. Penerima Beasiswa
BPI-LPDP 2016 (PK-76) Program Magister Luar Negeri. Mendalami Applied
Economics and Econometrics di Monash University.
Berkicau\r\n@KadirRuslan. Sesekali menulis kolom untuk dimuat di koran
nasional (http://menulisdikoran.blogspot.com/). E-mail: kadir...@bps.go.id
Mengapa Indonesia Sulit Sekali
Swasembada?
Juni 2016 14:33 Diperbarui: 17 Januari 2018 06:37 818 10
Mengapa Indonesia Sulit Sekali Swasembada?
<https://assets-a2.kompasiana.com/items/album/2016/06/13/daily-news-mentan-perlu-keterlibatan-semua-pihak-untuk-percepat-swasembada-pangan-01-575e61c193fdfdd00498c87f.jpg?t=o&v=760>
gambar: greeners.co
Kita memiliki harga diri yang tinggi sebagai negara agraris. Karena itu,
importasi komoditas pangan, terutama yang bisa dihasilkan oleh petani
kita, merupakan sebuah aib dan cela.
Tengok saja komoditas beras. Pro dan kontra di berbagai media acapkali
mewarnai debat publik terkait importasi komoditas ini. Sebagai sumber
utama pemenuhan karbohidrat masyarakat Indonesia, boleh dibilang beras
merupakan komoditas pangan paling strategis yang kerap membikin gaduh
negeri ini.
Data statistik memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat
Indonesia dalam mengkonsumsi beras mencapai lebih dari 80 persen. Itu
artinya, hampir seluruh masyarakat Indonesia mengandalkan beras sebagai
makanan pokok dan sumber karbohidrat. Tidak mengherankan kalau ungkapan
“bukan makan namanya, kalau tanpa nasi” acap kali kita dengar untuk
menekankan pentingnya posisi beras dalam pola diet masyarakat Indonesia.
Impor beras tidak hanya menyangkut harga diri sebagai bangsa agraris,
tapi juga nasib belasan juta rumah tangga petani padi yang kepulan asap
dapurnya sangat bergantung pada perkembangan harga gabah.
Jika impor beras dilakukan saat produksi padi petani kita melimpah,
harga gabah bakal jatuh. Hasil panen padi pun bisa jadi tidak mampu
menutupi biaya produksi. Kalaupun untung, keuntungan yang diperoleh
kemungkinan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena itu, slogan swasembada beras merupakan harga mati dan selalu
menjadi agenda prioritas pembangunan nasional. Upaya yang dikerahkan
untuk mewujudkan swasembada beras juga tidak main-main. Triliunan rupiah
telah digelontorkan pemerintah hanya untuk sekadar meningkatkan produksi
padi nasional.
Sayangnya, meski pemerintah telah berupaya maksimal dengan
mengalokasikan sumber daya yang tidak sedikit, swasembada beras masih
jauh panggang dari api. Faktanya, menurut catatan Badan Pusat Statistik
(BPS), tahun lalu impor beras nasional mencapai 0,86 juta ton. Tahun ini
angkanya dipastikan lebih tinggi lagi. Betapa tidak, realisasi impor
beras sepanjang Januari-April saja sudah menyentuh 1,02 juta ton.
Persoalan yang terjadi pada komoditas pangan lainnya, seperti jagung dan
kedelai juga setali tiga uang. Swasembada baru sekadar mimpi. Untuk
komoditas kedelai bahkan masalahnya lebih akut. Bayangkan, 60 persen
kebutuhan kedelai nasional dipenuhi dari impor. Kita mungkin bangga
dengan panganan lokal tempe-tahu. Tapi apalah artinya kebanggaan itu
jika bahan bakunya diimpor dari Amerika Serikat, transgenik pula.
Mengapa swasembada beras dan juga komoditas tanaman pangan lainnya
begitu sulit kita rengkuh? Artikel singkat ini mencoba menjawab
pertanyaan tersebut dengan menguraikan salah satu kendala utama yang
merintangi jalan menuju swasembada: daya dukung petani yang rendah.
Tak bisa dipungkiri, petani kita sejatinya merupakan aktor utama dalam
mewujudkan swasembada pangan. Tanpa mereka, tak usah bermimpi untuk
swasembada. Sayangnya, dewasa ini daya dukung mereka tidak optimal
karena jeratan kemiskinan, umur yang kian tua, dan kapabilitas yang rendah.
Hingga kini, sektor pertanian masih menjadi pusat kemiskinan. BPS
mencatat, sekitar 63 persen penduduk miskin negeri ini merupakan
masyarakat pedesaan. Sementara hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
memperlihatkan bahwa mayoritas rumah tangga miskin (67,26 persen) di
daerah pedesaan merupakan rumah tangga dengan lapangan pekerjaan utama
kepala rumah tangga di sektor pertanian.
Kondisi kemiskinan di sektor pertanian sejalan dengan fakta bahwa selama
ini tingkat kesejahteraan petani kita cenderung stagnan. Tengoklah
perkembangan indeks nilai tukar petani (NTP). Indikator yang dianggap
menjelaskan perkembangan tingkat kesejahteraan petani itu dalam sepuluh
tahun terakhir angkanya seolah begitu-begitu saja: stagnan.
Konsekuensinya, kultur dan hastrat bertani kian tergerus. Karena identik
dengan kemiskinan, bertani merupakan pilihan terakhir bagi penduduk
perdesaan untuk bertahan hidup. Pendek kata, sektor pertanian tak lagi
menarik secara ekonomi dan kian ditinggalkan. Hasil Sensus Pertanian
2013 memperlihatkan bahwa sepanjang 2003-2013, rumah tangga usaha tani
berkurang sebanyak 5,10 juta rumah tangga (16,32 persen).
Transformasi struktur ekonomi memang tak bisa dilawan. Mau tak mau kita
harus beranjak dari negara yang perekonomiannya bertumpu pada sektor
pertanian (agraris) menuju negara yang bertumpu pada sektor industri dan
jasa. Namun, ada yang patut didawaspadai dari tren penurunan jumlah
rumah tangga usaha pertanian tersebut.
Jika dicermati, penurunan jumlah petani dalam sepuluh tahun terakhir
ternyata sebagian besar terjadi pada kelompok usia muda. Itu artinya,
selama ini regenerasi petani jalan ditempat. Tidak mengherankan bila
kini petani kita didominasi kelompok usia tua.
Data BPS meunjukkan bahwa sepanjang 2008-2014 persentase petani padi
sawah berumur di atas 50 tahun meningkat tajam dari 20,19 persen menjadi
52,07 persen, sementara pada saat yang sama persentase petani padi sawah
berumur di bawah 35 tahun justru menurun tajam dari 25,93 persen menjadi
8,14 persen. Pola yang sama juga terjadi pada petani jagung dan kedelai.
Jika tren seperti ini terus berlanjut, tentu sangat berbahaya. Bagaimana
caranya kita memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri kalau tak
ada lagi yang menjadi petani? Ini bukan lagi sebatas persoalan harga
diri sebagai negara agraris, tapi kedaulatan dan keberlangsungan
produksi pangan kita.
Persoalan semakin pelik karena selain didominasi kelompok usia tua,
mayoritas petani kita memiliki tingkat kapabilitas yang rendah.
Bayangkan, sekitar 70 persen petani tanaman pangan negeri ini hanya
tamatan SD atau tidak tamat SD. Tak mengherankan jika produktivitas dan
efisiensi usaha tani mereka relatif rendah.
Miskin, tua, dan memiliki kapabilitas yang rendah tentu sebuah kombinasi
yang buruk. Sulit rasanya kita bakal merengkuh swasembada di tengah
kondisi sebagian besar petani kita seperti demikian. Karena itu,
pemerintah jangan hanya berkutat pada peningkatan produksi komoditas
pertanian namun mengabaikan pembangunan pedesaan.
Selain berfokus pada peningkatan produksi untuk mewujudkan swasembada,
pada saat yang sama pemerintah juga harus mendorong regenerasi dan
peningkatan kapabilitas petani melalui perangkat kebijakan yang
mendukung peningkatan taraf hidup petani dan masyarakat pedesaan.
Dengan demikian, pertanian tetap menjadi lapangan pekerjaan yang
menarik, terutama bagi generasi muda, dan dijalankan oleh mereka yang
memiliki kapabilitas yang mumpuni. (*)