From: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] 
Sent: Thursday, January 18, 2018 3:25 AM
  



https://www.kompasiana.com/kadirsaja/mengapa-indonesia-sulit-sekali-

swasembada_575e61d84f7a61d911773ced




 
Kadir Ruslan 
FOLLOW
pegawai negeri Pemerhati masalah sosial-ekonomi. Bekerja di BPS-RI. Penerima 
Beasiswa BPI-LPDP 2016 (PK-76) Program Magister Luar Negeri. Mendalami Applied 
Economics and Econometrics di Monash University. Berkicau\r\n@KadirRuslan. 
Sesekali menulis kolom untuk dimuat di koran nasional 
(http://menulisdikoran.blogspot.com/). E-mail: kadir...@bps.go.id 



Mengapa Indonesia Sulit Sekali Swasembada? 
Juni 2016   14:33 Diperbarui: 17 Januari 2018   06:37 818 10 



 
gambar: greeners.co 

Kita memiliki harga diri yang tinggi sebagai negara agraris. Karena itu, 
importasi komoditas pangan, terutama yang bisa dihasilkan oleh petani kita, 
merupakan sebuah aib dan cela.

Tengok saja komoditas beras. Pro dan kontra di berbagai media acapkali mewarnai 
debat publik terkait importasi komoditas ini. Sebagai sumber utama pemenuhan 
karbohidrat masyarakat Indonesia, boleh dibilang beras merupakan komoditas 
pangan paling strategis yang kerap membikin gaduh negeri ini.

Data statistik memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Indonesia 
dalam mengkonsumsi beras mencapai lebih dari 80 persen. Itu artinya, hampir 
seluruh masyarakat Indonesia mengandalkan beras sebagai makanan pokok dan 
sumber karbohidrat. Tidak mengherankan kalau ungkapan “bukan makan namanya, 
kalau tanpa nasi” acap kali kita dengar untuk menekankan pentingnya posisi 
beras dalam pola diet masyarakat Indonesia.

Impor beras tidak hanya menyangkut harga diri sebagai bangsa agraris, tapi juga 
nasib belasan juta rumah tangga petani padi yang kepulan asap dapurnya sangat 
bergantung pada perkembangan harga gabah.

Jika impor beras dilakukan saat produksi padi petani kita melimpah, harga gabah 
bakal jatuh. Hasil panen padi pun bisa jadi tidak mampu menutupi biaya 
produksi. Kalaupun untung, keuntungan yang diperoleh kemungkinan tak cukup 
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Karena itu, slogan swasembada beras merupakan harga mati dan selalu menjadi 
agenda prioritas pembangunan nasional. Upaya yang dikerahkan untuk mewujudkan 
swasembada beras juga tidak main-main. Triliunan rupiah telah digelontorkan 
pemerintah hanya untuk sekadar meningkatkan produksi padi nasional.

Sayangnya, meski pemerintah telah berupaya maksimal dengan mengalokasikan 
sumber daya yang tidak sedikit, swasembada beras masih jauh panggang dari api. 
Faktanya, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu impor beras 
nasional mencapai 0,86 juta ton. Tahun ini angkanya dipastikan lebih tinggi 
lagi. Betapa tidak, realisasi impor beras sepanjang Januari-April saja sudah 
menyentuh 1,02 juta ton.

Persoalan yang terjadi pada komoditas pangan lainnya, seperti jagung dan 
kedelai juga setali tiga uang. Swasembada baru sekadar mimpi. Untuk komoditas 
kedelai bahkan masalahnya lebih akut. Bayangkan, 60 persen kebutuhan kedelai 
nasional dipenuhi dari impor. Kita mungkin bangga dengan panganan lokal 
tempe-tahu. Tapi apalah artinya kebanggaan itu jika bahan bakunya diimpor dari 
Amerika Serikat, transgenik pula.

Mengapa swasembada beras dan juga komoditas tanaman pangan lainnya begitu sulit 
kita rengkuh? Artikel singkat ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan 
menguraikan salah satu kendala utama yang merintangi jalan menuju swasembada: 
daya dukung petani yang rendah.

Tak bisa dipungkiri, petani kita sejatinya merupakan aktor utama dalam 
mewujudkan swasembada pangan. Tanpa mereka, tak usah bermimpi untuk swasembada. 
Sayangnya, dewasa ini daya dukung mereka tidak optimal karena jeratan 
kemiskinan, umur yang kian tua, dan kapabilitas yang rendah.

Hingga kini, sektor pertanian masih menjadi pusat kemiskinan. BPS mencatat, 
sekitar 63 persen penduduk miskin negeri ini merupakan masyarakat pedesaan.. 
Sementara hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional memperlihatkan bahwa mayoritas 
rumah tangga miskin (67,26 persen) di daerah pedesaan merupakan rumah tangga 
dengan lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga di sektor pertanian.

Kondisi kemiskinan di sektor pertanian sejalan dengan fakta bahwa selama ini 
tingkat kesejahteraan petani kita cenderung stagnan. Tengoklah perkembangan 
indeks nilai tukar petani (NTP). Indikator yang dianggap menjelaskan 
perkembangan tingkat kesejahteraan petani itu dalam sepuluh tahun terakhir 
angkanya seolah begitu-begitu saja: stagnan.

Konsekuensinya, kultur dan hastrat bertani kian tergerus. Karena identik dengan 
kemiskinan, bertani merupakan pilihan terakhir bagi penduduk perdesaan untuk 
bertahan hidup. Pendek kata, sektor pertanian tak lagi menarik secara ekonomi 
dan kian ditinggalkan. Hasil Sensus Pertanian 2013 memperlihatkan bahwa 
sepanjang 2003-2013, rumah tangga usaha tani berkurang sebanyak  5,10 juta 
rumah tangga (16,32 persen).

Transformasi struktur ekonomi memang tak bisa dilawan. Mau tak mau kita harus 
beranjak dari negara yang perekonomiannya bertumpu pada sektor pertanian 
(agraris) menuju negara yang bertumpu pada sektor industri dan jasa. Namun, ada 
yang patut didawaspadai dari tren penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian 
tersebut.

Jika dicermati, penurunan jumlah petani dalam sepuluh tahun terakhir ternyata 
sebagian besar terjadi pada kelompok usia muda. Itu artinya, selama ini 
regenerasi petani jalan ditempat. Tidak mengherankan bila kini petani kita 
didominasi kelompok usia tua.

Data BPS meunjukkan bahwa sepanjang 2008-2014 persentase petani padi sawah 
berumur di atas 50 tahun meningkat tajam dari 20,19 persen menjadi 52,07 
persen, sementara pada saat yang sama persentase petani padi sawah berumur di 
bawah 35 tahun justru menurun tajam dari 25,93 persen menjadi 8,14 persen. Pola 
yang sama juga terjadi pada petani jagung dan kedelai.

Jika tren seperti ini terus berlanjut, tentu sangat berbahaya. Bagaimana 
caranya kita memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri kalau tak ada lagi 
yang menjadi petani? Ini bukan lagi sebatas persoalan harga diri sebagai negara 
agraris, tapi kedaulatan dan keberlangsungan produksi pangan kita.

Persoalan semakin pelik karena selain didominasi kelompok usia tua, mayoritas 
petani kita memiliki tingkat kapabilitas yang rendah. Bayangkan, sekitar 70 
persen petani tanaman pangan negeri ini hanya tamatan SD atau tidak tamat SD. 
Tak mengherankan jika produktivitas dan efisiensi usaha tani mereka relatif 
rendah.

Miskin, tua, dan memiliki kapabilitas yang rendah tentu sebuah kombinasi yang 
buruk. Sulit rasanya kita bakal merengkuh swasembada di tengah kondisi sebagian 
besar petani kita seperti demikian. Karena itu, pemerintah jangan hanya 
berkutat pada peningkatan produksi komoditas pertanian namun mengabaikan 
pembangunan pedesaan.

Selain berfokus pada peningkatan produksi untuk mewujudkan swasembada, pada 
saat yang sama pemerintah juga harus mendorong regenerasi dan peningkatan 
kapabilitas petani melalui perangkat kebijakan yang mendukung  peningkatan 
taraf hidup petani dan masyarakat pedesaan. Dengan demikian, pertanian tetap 
menjadi lapangan pekerjaan yang menarik, terutama bagi generasi muda, dan 
dijalankan oleh mereka yang memiliki kapabilitas yang mumpuni. (*)




  


Kirim email ke