*Alm Joe Devin di Hawai, telah membuat kamus bahasa pulau Buru dan bahasa
Melayu Ambon ke dalam bahasa Inggris. Bahasa Melayu Ambon berpengaruh di
Papua, karena dulu setelah tahun 1848 Belanda menguasai Papua dikirim
guru-guru sekolah bahasa Melaju dari Maluku di kirim ke Papua.*

http://www.kabartimur.co.id/detail/indeks/opini/13535-Diglosia-Bahasa-Melayu-Ambon


Diglosia Bahasa Melayu Ambon
<http://www.kabartimur.co.id/detail/indeks/opini/13535-Diglosia-Bahasa-Melayu-Ambon#>

Senin, 23 Oktober 2017, 23:49 WIBopini
<http://www.kabartimur.co.id/detail/indeks/opini/13535-Diglosia-Bahasa-Melayu-Ambon#>

Erniati

Oleh:
Erniati - *Kantor Bahasa Maluku*

Bahasa daerah merupakan memiliki fungsi sebagai suatu identitas budaya.
Dalam praktiknya, fungsi bahasa tersebut semakin mempertegas kondisi plural
sebagai karakteristik bangsa Indonesia yang unik. Hal tersebut harus tetap
diperhitungkan dalam setiap perumusan kebijakan dan pelaksanaan
praktik-praktik yang terkait dengan pembangunan nasional. Melalui bahasa
yang beragam itulah setiap etnis menyatakan eksistensinya dalam pembangunan
bangsa sebagai bagian yang inheren dari bangsa Indonesia yang berdaulat dan
berbudaya.

Kondisi objektif berbagai bahasa daerah di Indonesia dewasa ini, terutama
bahasa-bahasa daerah yang berkedudukan sebagai bahasa ibu maupun bahasa
kedua, semakin menunjukkan kecenderungan untuk mengalami penurunan jumlah
penutur. Berkurangnya jumlah penutur secara simultan dapat membawa
bahasa-bahasa daerah tersebut ke arah kematian, bahkan kepunahan bahasa.
Grimes (2002: 1) dalam Latupapua (2013) menyatakan bahwa punahnya suatu
bahasa berarti punahnya suatu lingkungan manusia yang unik dari muka bumi.

Sehubungan dengan itu, pada tahun 2008, Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia menyatakan bahwa jumlah bahasa daerah di
Indonesia sebanyak 746 bahasa. Dari jumlah itu, terdapat enam bahasa daerah
yang sudah punah, dan beberapa bahasa daerah yang terancam punah. Mayoritas
bahasa-bahasa yang sudah dan terancam punah itu berada di wilayah Indonesia
Timur, yakni NTT, Maluku, dan Papua. Bahasa-bahasa tersebut disebut
terancam punah karena memiliki jumlah penutur kurang dari 100 orang Terkait
dengan fakta tersebut, beberapa kajian ilmiah dan penelitian yang dilakukan
oleh berbagai pihak menunjukkan hasil yang relevan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa, secara khusus, bahasa-bahasa daerah dan atau
bahasa-bahasa lokal di Maluku telah mengalami penurunan atau pemunduran
yang amat signifikan, terkait dengan persebaran penutur dan ranah
penggunaan bahasa yang cenderung menyempit. Selain itu, eksistensi
anasir-anasir budaya dan sastra yang inklusif dalam bahasa sebagai media
komunikasi sosiobudaya didapati semakin berkurang dan menurun penguasaannya
di dalam lingkungan pemiliknya, seiring melemahnya proses transformasi atau
pewarisan antargenerasi.

Penelitian Latupapua, dkk (2013) mengenai Pemertahanan Bahasa Tana sebagai
Bahasa Adat di Kabupaten Maluku Tengah merumuskan kesimpulan bahwa status
bahasa Tana sebagai bahasa tua yang digunakan dalam ranah ritual berada
pada kategori critically endangered language, yakni tahapan sangat kritis
dan memerlukan perawatan yang sangat serius. Hal demikian disebabkan karena
penutur dan pencerita yang menggunakan bahasa tersebut dalam ritual adat
semakin berkurang jumlahnya sementara proses pewarisan teks sastra lisan
yang dituturkan dalam ritual dengan menggunakan bahasa Tana tidak berjalan
dengan baik, terutama upaya pewarisan yang melibatkan generasi muda.

Penyebab penting lainnya yang dapat dijelaskan di sini adalah munculnya
fenomena kebocoran diglosia yang terkait dengan penggunaan bahasa dalam
hirarki atau tingkatan dan ranah yang berbeda-beda. Ketika kebutuhan
menyampaikan makna dalam leksikon, frasa, dan kalimat dalam satu bahasa
tidak sebanding dengan penguasaan kosakata yang ada, maka penutur cenderung
menggantikan unsur-unsur tersebut dengan leksikon dan frasa dari bahasa
yang berada pada tingkatan atau ragam yang lebih rendah/ informal. Pada
akhirnya, penggunaan leksikon dan kosakata dari bahasa-bahasa daerah atau
bahasa-bahasa tua perlahan-lahan mulai tergantikan oleh unsur-unsur dari
bahasa yang lebih modern, atau yang menduduki fungsi normatif dalam
komunikasi oleh pemakai bahasa tersebut .Hasil kajian ilmiah melalui
penelitian tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak hasil kajian
yang memaparkan fakta yang tidak terbantahkan mengenai kondisi
bahasa-bahasa daerah di Maluku yang mulai perlahan-lahan ditinggalkan oleh
penuturnya karena berbagai sebab. Penyebab yang dapat disebutkan antara
lain; permasalahan penyempitan ranah, sikap dan minat penutur terhadap
penggunaan bahasa, pengaruh-pengaruh eksternal, serta keterbatasan dalam
pewarisan antargenerasi.

Lebih lanjut, kondisi bahasa-bahasa daerah di Maluku yang didapati semakin
berkurang penuturnya tersebut memiliki hubungan kausatif dengan sikap dan
pilihan penutur terhadap bahasa dan eksistensi Bahasa Melayu Ambon.  Bahasa
Melayu Ambon adalah bahasa pengantar dalam komunikasi informal antaretnis
di Maluku. Sementara itu, Bahasa Indonesia  digunakan dalam ranah
komunikasi formal. Oleh sebab bahasa Melayu Ambon dan bahasa Indonesia
telah mengambilalih sebagian besar peran sebagai wahana komunikasi utama
dalam lingkungan penutur maka peran bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa
daerah dan bahasa etnik dapat diasumsikan semakin melemah dari segi pilihan
penutur terhadap bahasa tertentu dalam ranah penggunaan tertentu.

Bahasa Melayu Ambon sebagai suatu anasir yang terbentuk akibat proses
asimilasi yang panjang dalam kurun waktu lama tak dapat dipungkiri turut
menyerap sebagian besar kosakata dari Bahasa Portugis, Bahasa Belanda,
serta bahasa-bahasa daerah setempat. Dalam perkembangannya, berbagai faktor
eksternal seperti sikap bahasa, minat bahasa, preferensi, serta pewarisan
register bahasa dalam berbagai tataran disinyalir telah menyebabkan semacam
proses ‘arkaisme’ atau ‘penuaan’ terhadap kosakata tertentu, terutama
kosakata yang berasal atau mendapat pengaruh dari bahasa-bahasa Eropa dan
bahasa daerah atau bahasa lokal.* (*)*

Kirim email ke