http://www.suara-islam.com/read/kolom/opini/24814/-Impor-Beras-Kanker-Stadium-Empat-dan-Jempol-Kaki
Impor Beras, Kanker Stadium Empat, dan Jempol Kaki

22 Januari 16:51 | Dilihat : 253

[image: Impor Beras, Kanker Stadium Empat, dan Jempol Kaki] Ilustrasi:
Impor Beras

Hari-hari ini adalah hari-hari yang amat menegangkan bagi petani padi
Indonesia. Pasalnya, seperti kata Menteri Perdagangan Engartiasto Lukita,
500.000 beras impor bakal masuk pada pekan keempat Januari ini. Kalau
rencana ini mulus, maka petani kita tinggal menghitung hari menuju
sempurnanya penderitaan.

Menjadi petani di negeri ini memang memerlukan daya tahan dan kesabaran
ekstra. Petani nyaris tidak mungkin kaya. Pangkalnya, kebijakan perberasan
dari para pengelola negeri cenderung tidak berpihak kepada petani.
Contohnya, ya sekarang ini. pemerintah berencana impor 500.000 ton beras
justru menjelang panen raya. Jadi, kalau petani sanggup menjalani profesi
(takdirnya?) selama puluhan tahun, tak pelak lagi, itu karena mereka punya
daya tahan ekstra.

Lalu bagaimana dengan kesabaran ekstra? Sebagai rakyat, wajar dan bisa
dipahami jika mereka berusaha memperbaiki nasibnya. Jangan tanya soal kerja
keras, petani kita sudah bekerja sangat keras. Maksud saya, memperbaiki
nasib di sini adalah dengan menyuarakan aspirasinya. Jadi wajar dan normal
banget kalau petani menolak beras impor.

Sejatinya, teriakan petani yang menolak beras impor itu sangat nyaring.
Ditambah dengan sikap serupa dari banyak kepala daerah, teriakan itu sudah
sangat gemuruh. Tapi entah bagaimana dan apa sebabnya, Pemerintah bagai
buta-tuli. Tetap ngeyel dengan rencana impor beras tadi.

Degil dan arogan

"Beras saya impor. Enggak usah (perdebatkan), karena itu diskresi saya,"
kata Mendag Enggar di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (12/1) silam.

Pernyataan Enggar ini jelas menunjukkan sikap degil dan arogan penguasa.
Bagaimana mungkin seorang menteri bisa berkata demikian untuk keputusannya
yang menyangkut hajat hidup begitu banyak orang? Kalau Enggar, misalnya,
cuma seorang tukang semir sepatu di terminal bus, dia bebas saja menentukan
semir merk tertentu yang menjadi pilihannya. Orang lain dilarang protes.
Kalau konsumen tidak suka dengan merk semir yang digunakannya, mereka boleh
mencari tukang semir sepatu lainnya.

Tapi ini Enggar kan menteri perdagangan. Keputusan impor beras yang
diambilnya sudah pasti bakal memukul petani. Mosok dia bisa berkata
searogan itu? Memang petani dan rakyat Indonesia boleh dan bisa memilih
Mendag lain kalau tidak suka dengan Enggar? Mikir dikit lah…

Lebih seru lagi, keputusan Mendag yang ngotot impor beras itu ternyata sama
sekali tidak didukung data akurat. Pada Raker dengan Komisi  VI DPR, Kamis
(18.01) pekan silam, dia mengaku belum mengantongi data beras secara
lengkap. “Masih banyak gudang yang belum melapor,” ujarnya.

Sungguh ironi dan tragedi besar. Ngotot mengimpor beras menjelang panen
raya ternyata hanya berdasarkan dugaan-dugaan. Atau, jangan-jangan seperti
diduga banyak pihak, impor beras hanya untuk mengejar komisi para pemburu
rente yang berkolaborasi dengan penguasa culas? Satu hal yang pasti, impor
beras kali ini, sekali lagi, menunjukkan bagaimana para pejabat publik kita
mengelola negara secara serampangan.

Bukti lain betapa serampangannya mereka yang diamanahi jabatan publik,
adalah fakta Badan Urusan Logistik (Bulog) menyiapkan Rp15 triliun untuk
mengimpor 500.000 ton beras. Menurut Direktur Utama Perum Bulog, Djarot
Kusumayakti duit sebanyak itu untuk mendatangkan beras  dari Thailand,
Vietnam, dan Pakistan.

Dengan matematika sederhana, artinya beras yang diimpor itu harganya
Rp30.000/kg. Bukan main… Dagelan model apa lagi yang tengah dipertontonkan?
Tidakkah cukup kalian menyakiti batin dan memorakporandakan dapur para
petani? Mengapa masih harus ditambah dengan pamer kedegilan yang amat
absurd? Tidakkah ada secuil empati kalian terhadap petani kita?

Bisa sejahterakan petani

Angka-angka itu memang sungguh tidak masuk akal. Bayangkan, kalau saja Rp15
triliun itu dialokasikan untuk membeli padi petani yang sebentar lagi
panen, betapa sejahteranya petani kita. Tentang harga beras yang belakangan
ini terus naik, itu lebih disebabkan oleh permainan para mafia beras.
Mereka sengaja ‘menggoreng’ pasar beras sedemikian rupa, untuk menimbulkan
kesan terjadi kelangkaan. Dengan begitu, izin impor pun keluar. Selanjutnya
para mafia kartel bisa kembali berpesta-pora.

Usai rapat koordinasi pembahasan HPP beras di Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (4/1), Djarot mengatakan, stok beras
Bulog di awal 2018 mencapai hampir satu juta ton. Dia memperkirakan, stok
beras Bulog tersebut cukup untuk menutup kebutuhan rastra atau bantuan
sosial untuk empat bulan lebih. Artinya, tidak ada alasan Pemerintah ngotot
mengimpor beras menjelang panen raya.

Carut-marut penanganan perberasan nasional membuat Kepala Bulog keenam
periode 2000-2001 Rizal Ramli merasa geram. Dia minta impor beras
dibatalkan. Kalau pun tidak mungkin dibatalkan, maka beras impor tadi
seluruhnya harus masuk gudang-gudang Bulog. Setelah itu, karena musim panen
telah tiba, Bulog harus aktif membeli padi/petani petani.

Rasanya terlalu lelah mengeritik para penguasa. Semua kritik dan saran tadi
bak angin lalu di telinga dan hati mereka. Para pejabat publik terlalu
asyik dengan fantasi dan imajinasi masing-masing. Mereka tidak peduli
terhadap dampak dari semua itu. Jangankan dampak buruk bagi rakyat, efek
negatif yang mungkin terjadi kepada Presiden selaku bos pun, mereka tidak
peduli. Soal rakyat jadi tidak suka kepada Presidennya, itu bukan urusan
para menteri. Soal elektabilitas Presiden bakal tergerus pada 2019,
jangan-jangan memang itu tujuannya.

Presiden cuek?

Sayangnya, Presiden Jokowi pun sepertinya cuek saja dengan fenomena ini.
Padahal mustahil Jokowi tidak tahu, bahwa masalah terberat Indonesia dalam
tiga tahun pemerintahannya adalah ekonomi. Di tangan para menteri neolib,
pertumbuhan ekonomi kita tidak beringsut jauh dari 5%. Jumlah pengangguran
juga cenderung naik. BPS melaporkan, Agustus 2017 yang dirilis November
2017, jumlah pengangguran naik 100.000 orang menjadi 7,04 juta.

Sekadar informasi, kriteria bekerja versi BPS sama sekali berbeda dengan
kriteria awam. Menurut BPS, bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan
oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu  memperoleh
pendapatan atau keuntungan paling sedikit satu jam secara tidak terputus
selama seminggu yang lalu. Jadi, menurut BPS, kalau anda bekerja sejam
seminggu yang lalu, maka anda bukanlah pengangguran. Seru, kan?

Di tengah melambungnya angka pengangguran, tren deindustrialisasi, dan
terjunnya daya beli, Menteri Keuangan Sri Mulyani yang neolib itu justru
sibuk menggenjot pajak, mengulik Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari
rakyat kelas bawah, dan memangkas anggaran sosial di APBN yang berdampak
naiknya harga-harga. Dia juga terus saja membuat utang baru. Jumlahnya
benar-benar nyaris menyentuh Rp4.000 triliun.

Celakanya lagi, utang-utang baru yang sebagian berupa obligasi* (bond)*
yang dibuat Sri selalu berbunga sangat tinggi. Pengamat ekonomi politik
dari Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra menghitung, kerugian yang
diderita Indonesia akibat utang-utang berbunga supertinggi mencapai Rp121
triliun dan US$6,7 miliar. Kerugian itu terjadi hanya dalam periode
2006-2010 ketika Sri menjadi Menkeu era SBY. Artinya, jumlah tersebut belum
termasuk utang baru yang dibuat dalam dua tahun lebih dia menjadi Menkeu
Jokowi.

Pada saat yang sama, dia justru menggelontorkan mega subsidi bagi lima
industri sawit Rp7,5 triliun. Entah apa yang ada di benak Sri hingga hal
ini bisa terjadi. Padahal, pada saat yang sama petaka gizi buruk di Papua
telah merenggut puluhan nyawa anak-anak tak berdosa. Seandainya sebagian
dari Rp7,5 triliun itu untuk anggaran pelayanan kesehatan penduduk Papua…

Tapi, sekali lagi, sayangnya, Jokowi bak abai dengan fakta-fakta miris ini.
Reshuffle kabinet jilid tiga lima hari lalu, hanya membongkar-pasang
Menteri Sosial dan Kepala Staf Presiden. Sementara para menteri ekonomi
yang jadi biang masalah, justru sama sekali tidak disentuh. Ibarat sakit
kanker stadium empat, kok malah mengolesi balsem jempol kaki. (*)

Jakarta, 22 Januari 2018

*Edy Mulyadi*
*Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS) *
  • [GELORA45] Impor Beras, K... Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]

Kirim email ke