https://www.antaranews.com/berita/680884/moeldoko-hkti-siap-atasi-lima-
persoalan-petani
Moeldoko: HKTI siap atasi lima
persoalan petani
Jumat, 26 Januari 2018 22:02 WIB
Petani padi. (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)
Soal pascapanen. Kami beli mau panen berapapun. Harganya 10 persen di
atas harga pasar...."
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menilai setidaknya ada lima
persoalan petani dan pertanian di Indonesia. Lima persoalan itu adalah
persoalan tanah, modal, teknologi, manjerial, dan pascapanen.
"Pertama persoalannya tanah. Tanah kita sempit. Rata-rata petani kita
hanya punya tanah 0,2 ha. Sudah begitu kondisi tanahnya rusak karena
penggunaan pestisida dan pupuk anorganik yang berlebihan," kata Moeldoko
dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Persoalan modal, dijelaskan Moeldoko, petani pada saat mau menanam sudah
pusing karena tanam sebelumnya gagal, tanam sebelumnya lagi juga gagal,
tapi petani tidak menyerah karena tidak ada kehidupan lain. Apa yang
terjadi? Kondisi ini dimainkan oleh para tengkulak dan pengijon yang
pada akhirnya petani dalam kondisi lemah, kalah dan terlilit utang.
"Sehingga saat dia akan panen, mereka dikuasai para tengkulak. Saya
sempat kelakar dengan Presiden, saat akan panen, petani itu sudah mau
kelelep. Modal untuk beli benih, beli pupuk, modal kerja. Kita juga
memiliki ketergantungan benih sangat tinggi pada negara lain, apalagi
pestisida," kata mantan Panglima TNI ini yang berbicara dalam seminar
CEO Talks dengan topik Agroindustry and Investment.
Sementara, lanjut Moeldoko, saat ini petani menghadapi teknologi
pertanian belum direspons dengan baik. Petani masih suka menggunakan
cara lama meski sudah jelas hasilnya rata-rata hanya 4-5 ton per hektar.
"Banyak yang merasa jagoan karena selama ini hidupnya di pertanian.
Pendampingan oleh anak muda sering diremehkan. Saya sering tanyakan ke
petani, kamu merasa jago bertani tapi kenapa enggak kaya juga? Karena
dia tidak mau berubah," kata pria yang juga menjabat Kepala Staf
Presiden (KSP) ini.
Moeldoko menambahkan, yang paling banyak dialami petani adalah persoalan
manajerial dan pascapanen. Kebanyakan petani hingga saat ini tidak
terbiasa untuk memanage. Berikutnya persoalan harga yang selalu dihadapi
petani dari waktu ke waktu.
"HPP enggak tau, tenaga enggak dihitung. Kalau dia bertani jagung,
kedelai, apalagi padi. Padi itu enam jam setelah panen harus
dikeringkan, kalau tidak akan rusak. Ada kira-kira 10 persen yang lolos
saat panen dengan cara tradisional. Dengan teknologi mekanisasi,
lost-nya berkurang menjadi 3 persen," papar Moeldoko.
Persoalan-persoalan itulah yang membuat pria kelahiran Kediri, Jawa
Timur ini memutuskan terjun ke pertanian untuk turut mencari solusinya.
Sejak menjabat Ketum HKTI, Moeldoko kerap bekerjasama dengan para peneliti.
"Setelah pensiun, saya ingin berbuat sesuatu. Pertama ingin mengubah
mindset. Bagaimana mengajak petani berpikir progresif, bukan
tradisional. Bukan yang pasrah dan berpikir ingin kaya saja tidak
berani. Kedua, mengubah metode petanian. Metode yang saya jalankan
dengan tagline "mudah, murah, melimpah". Mudah know how nya, murah modal
kerjanya, dan melimpah hasilnya," terang Moeldoko.
Bersama HKTI, Moeldoko mencoba memberikan solusi persoalan tersebut.
Bagaimana menghadapi tanah yang sempit dan rusak? HKTI lakukan upaya
pemuliaan tanah.
"Tanah yang rusak kita perbaiki dengan pendekatan organik. Kita pastikan
tanah itu menjadi baik. Tanah sempit kita buat kluster-kluster. HKTI
juga memberikan petani pupuk dan benih sehingga petani enggak perlu lagi
pusing," ungkapnya.
Tidak hanya itu, HKTI juga memberikan pendampingan, usaha manajemen dan
teknologi sehingga petani bertani berteknologi. Manajemen pertanian.
"Soal pascapanen. Kami beli mau panen berapapun. Harganya 10 persen di
atas harga pasar. Ini bukan berarti kami jadi pengijon, karena misi
sosial kami adalah memuliakan bumi, meningkatkan produktivitas, dan
menyediakan asupan makanan sehat bagi generasi muda ke depan. Ini bisa
diadopsi, mau di sayur mayur, apa saja bisa," tegas Moeldoko.
Pewarta: Tasrief Tarmizi
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2018