From: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] 
Sent: Tuesday, February 13, 2018 11:36 PM





http://regional.kompas.com/read/2018/02/13/20355061/memutus-mata-rantai-kekerasan





Munawir Aziz
Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, penulis buku Merawat 
Kebinekaan.

Memutus Mata Rantai Kekerasan
Munawir Aziz
Kompas.com - 13/02/2018, 20:35 WIB

Ilustrasi kekerasan(THINKSTOCKS/WAVEBREAKMEDIA LTD)


AKSI penyerangan di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Sleman, Daerah Istimewa 
Yoyakarta, pada Minggu (11/2/2018), menjadi catatan memilukan dari wilayah ini. 
Pada pagi yang khusyuk, di tengah proses ibadat di gereja ini, seorang lelaki 
dengan senjata tajam masuk ke selasar lalu melakukan serangan membabi buta. 

Suliyono (23 tahun), lelaki itu, seolah kalap mengayun-ayunkan pedang ke arah 
pastor dan jemaat. Ia menyerang secara garang dan melawan aparat keamanan, 
sebelum akhirnya dilumpuhkan. Empat orang terluka, mulai dari jemaat, pastor, 
hingga aparat kepolisian. 

Meski dianggap sebagai lonewolf terrorism atau teror oleh pelaku tunggal yang 
tidak terafiliasi dengan kelompok teror mana pun, aksi ini membuka tabir gelap 
betapa kekerasan telah menjadi titik penting untuk memahami Indonesia kini. 

Serangan-serangan teror saat ini seolah menarget pemuka agama sebagai korban. 
Belum lama berselang, Sabtu (27/1/2018), seorang kiai di Cicalengka, Jawa 
Barat, dibacok "orang gila". Lalu, pada Rabu (7/2/2018), seorang biksu di 
Kabupaten Tangerang, Banten, juga dipersekusi.

(Baca juga: Kisah Heroik Aiptu Munir Lumpuhkan Penyerang Gereja Santa Lidwina 
Bedog)

Sebelumnya, catatan aksi teror di Yogyakarta sering terdengar sebagai entakan 
kekerasan. Tim Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri, misalnya, pernah 
menangkap terduga terorisme di wilayah ini. 

Pada 25 Agustus 2015, Agus Ari ditangkap Densus 88. Berikutnya, pada 7 Juni 
2017, seorang warga Gunung Kidul, Yogyakarta, diamankan Densus 88 karena 
dianggap sebagai pemberi dana ke jaringan ISIS di Marawi, Filipina.

Kasus kekerasan yang terjadi di Yogyakarta membuat ingatan saya melayang ke 
masa silam. Selama beberapa tahun saya bermukim di wilayah ini untuk belajar di 
sebuah perguruan tinggi dan ngaji di Pesantren Krapyak. 

Waktu itu, rasanya ketenteraman dan suasana tenang adalah bagian dari 
keseharian. Hidup terasa seimbang, antara kampus dan pesantren, antara suasana 
akademis dan ngopi di angkringan. Yogyakarta dalam ingatan adalah tempat yang 
tenteram dan penuh kenangan.

Namun, Yogyakarta juga membuat saya tersentak ketika terjadi aksi penyerangan 
terhadap sebuah lembaga diskusi. Pada 9 Mei 2012, sekelompok orang 
mengobrak-abrik lokasi diskusi buku Allah, Liberty and Love karya Irshad Manji. 

Darinya, saya jadi ingat betul, betapa kekerasan dengan menggunakan 
simbol-simbol agama telah menjadi teror untuk menurunkan nilai-nilai toleransi 
di Yogyakarta. Betapa, wilayah yang sebelumnya terasa tenang dan damai ternyata 
menyimpan bara kekerasan.

Indeks toleransi  

Melihat kota-kota di Indonesia dalam indeks toleransi seolah berhadapan dengan 
peta untuk memahami kekerasan sekaligus kedamaian dalam ruang publik. Pada 
akhir 2017, Setara Institute merilis kajian dan Indeks Kota Toleran di 
Indonesia. 

Indeks tersebut menelaah 94 kota di Indonesia untuk diperingkat dalam isu 
promosi dan praktik toleransi. Tujuannya, mempromosikan kota-kota yang dianggap 
berhasil membangun serta mengembangkan toleransi di beberapa wilayah.

Dari laporan tersebut, muncul 10 kota dengan skor toleransi yang tinggi, yakni 
Manado (5,90), Pematangsiantar (5,90), Salatiga (5,90), Singkawang (5,90), dan 
Kota Tual (5,90). Kota dengan indeks tinggi selanjutnya adalah Binjai (5,80), 
Kotamobagu (5,80), Palu (5,80), Tebing Tinggi (5,80), dan Surakarta (5,72).

(Baca juga: Salatiga Berpredikat Kota Paling Toleran Se-Indonesia, Wali Kota 
Ucapkan Terima Kasih ke Para Guru)

Sebaliknya, ada sejumlah kota yang masuk kategori indeks toleransi rendah. Di 
antara kota-kota ini (wilayah Provinsi) DKI Jakarta (2,30), Banda Aceh (2,90), 
Kota Bogor (3,05), Cilegon (3,20), Depok (3,30), Yogyakarta (3,40), Banjarmasin 
(3,55), Makassar (3,65), Padang (3,75), dan Mataram (3,78). 

Dari catatan Setara, indeks lansiran 2017 tersebut tidak ada perubahan 
signifikan pada pada kelompok kota dengan skor tertinggi dibandingkan dengan 
data Indeks Kota Toleran 2015. Kota-kota peringkat tertinggi pada 2017 adalah 
kota-kota yang sama yang sebelumnya ada di posisi itu juga. 

Namun, perubahan signifikan terjadi pada kota-kota atau wilayah yang masuk 
peringkat indeks rendah, terutama DKI Jakarta dan Bekasi. Peringkat DKI 
Jakarta, misalnya, turun dari 65 pada 2015 menjadi peringkat 94—sekaligus 
terendah—pada 2017. 

Lalu, Setara juga menempatkan Yogyakarta pada peringkat ke-6 terendah indeks 
tersebut pada 2017, berdasarkan risetnya. Artinya, Yogyakarta yang selama ini 
dikenal dengan jargon "City of Tolerance" sesungguhnya tidak menampilkan 
toleransi dalam tindakan dan keseharian.

Pernyataan yang sama diungkap pada laporan riset Wahid Foundation. Pada 2014, 
Wahid Foundation menobatkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kota—atau 
wilayah—paling tidak toleran nomor dua se-Indonesia. 

Dari 154 kasus intoleransi serta pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di 
Indonesia sepanjang 2014—dalam catatan Wahid Foundation—, 21 peristiwa di 
antaranya terjadi di Yogyakarta.

Pada 2015, peringkat Yogyakarta sebagai kota paling intoleran bergeser menjadi 
nomor empat. Dari 190 pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi pada tahun 
itu, 10 di antaranya terjadi di Yogyakarta. 

(Baca juga: Survei Wahid Foundation: Kelompok Radikal di Indonesia Didominasi 
Pemuda)

Menurut analisis riset Wahid Foundation, di Yogyakarta terdapat pergulatan 
politik yang dibungkus agama. Ada pihak-pihak yang diduga menggunakan simbol 
agama dan beraliansi dengan jaringan kelompok garis keras di sini.

Dari narasi besar ini, perlu ada tindakan untuk memutus mata rantai kekerasan. 
Terlebih lagi, 2018 dan 2019 merupakan tahun politik dengan adanya pilkada 
serentak dan pemilu presiden. 

Indeks kekerasan dan intoleran dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan 
tindakan pencegahan, yakni dengan kesadaran betapa kekerasan mudah meletup dan 
menciptakan kepanikan di ruang publik. 

Teror, kekerasan, atau penyerangan, sejatinya merupakan pesan untuk mengubah 
pola permainan atau konstelasi politik. 

Melakukan kekerasan atas nama agama menggunakan—atau terhadap—simbol keagamaan 
merupakan kejahatan yang mengguncang kemanusiaan kita. Tindakan yang diperlukan 
untuk itu tidak sekadar menangkap pelaku, tetapi—sekali lagi—harus pula dengan 
memutus mata rantai jaringannya.











Kirim email ke