Apakah bisa kembali ke UUD 1945, kalau misalnya pasal 33 sudah
dikosok-kocok jungkir balik oleh rezim neo-Mojopahit. Untuk dikembalikannya
membutuhkan tenaga raksasa. Isi dari UUD45 Pasal 33 antara lain sbb:

   1.

   Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
   kekeluargaan.



   1.

   Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
   hidup orang banyak dikuasai oleh negara.



   1.

   Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
   negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.



   1.

   Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
   dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
   berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
   kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.


Bukankah Pancasila itu senada dengan UUD45 dan sebaliknya, jadi kalau
berkaok-kaok tentang Pancasila dengan mengabaikan UUD45 adalah omong
kosong. Silahkan tanya ketua pembina Pancasila yang dinobatkan tahun lalu.
Siapa itu?


Apa yang dibutuhkan untuk kembali ke UUD45? Apa halangannya?


http://koransulindo.com/saatnya-kembali-ke-uud-1945/
Saatnya Kembali ke UUD 1945!

11 jam lalu

BERBAGI

Facebook
<http://www.facebook.com/sharer.php?u=http%3A%2F%2Fkoransulindo.com%2Fsaatnya-kembali-ke-uud-1945%2F>

Twitter
<https://twitter.com/intent/tweet?text=Saatnya+Kembali+ke+UUD+1945%21&url=http%3A%2F%2Fkoransulindo.com%2Fsaatnya-kembali-ke-uud-1945%2F&via=Koran+Sulindo>

<http://koransulindo.com/wp-content/uploads/2018/03/BungKarno.jpg>Bung Karno

*Koran Sulindo* – Sejak Agustus 1959 sampai kira-kira tahun 1962, kita
kerap mendengar istilah *Manipol/USDEK*. Kata-kata ini merupakan isi dari
pidato Bung Karno yang berjudul “Penemuan Kembali Revokusi Kita” atau “*The
Rediscovery of Our Revolution*”, yang disampaikan pada Hari Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1959 di Istana Merdeka, Jakarta.

Banyak dari kita sekarang ini, apalagi generasi muda, yang mungkin tidak
pernah mendengar istilah *Manipol/USDEK*. USDEK dikeluarkan atau
dimanifestokan oleh Bung Karno pada saat negara kita sedang
gencar-gencarnya menganut sistem liberalisme, kapitalisme, dan demokrasi
parlementer, yang terus-menerus memicu jatuh-bangunnya kabinet. Sistem
politik dan keamanan yang tidak stabil membuat pembangunan infrastruktur
terhenti dan memicu instabilitas ekonomi yang luar biasa.

Emir Moeis, Pendiri dan Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia

USDEK merupakan singkatan dari (kembali ke) Undang-Undang Dasar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin-Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Nasional.

Pada akhirnya, ketika Indonesia kembali menganut sistem ketatanegaraan
seperti cita-cita Proklamasi Kemerdekaan mulailah tercipta stabilitas
politik dan keamanan. Pemberontakan-pemberontakan dan gerakan separatis
seperti DI/TII dan PRRI/Permesta berhasil dipadamkan. Indonesia mulai
memunculkan  pembangunan-pembangunan infrastruktur, mulai dari pembangunan
pabrik baja, pabrik semen, sampai instalasi atom. Juga membangun Jalan
Jakarta By Pass, Jalan Lintas Sumatera, dan Jalan Lintas
Kalimantan—walaupun memang masih dalam tahap awal.

Indonesia bahkan sanggup menggelar pesta olahraga se-Asia dan membangun
stadion utama yang kita kenal sekarang sebagai Gelanggang Olahraga (Gelora)
Bung Karno. Juga hotel-hotel internasional mulai bermunculan. Yang
terpenting dari segalanya adalah kembalinya Irian Barat ke pangkuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Sejarah membuktikan ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 ini tidak
berlangsung lama. Demikian pula manfaat yang dipetiknya. Orde Baru dan
militer dengan kedok menggunakan UUD 1945 secara konsekuen ternyata malah
mengubahnya dengan sistem totaliter yang berbau militer; sistem ekonomi
yang menumbuhkembangkan sistem ekonomi percukongan, dan; menjadi komprador
imperialis Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Pembangunan cukup pesat,
namun tidak memihak rakyat, yang pada akhirnya ekonomi kita setelah 30
tahun terpuruk menjadi di bawah titik nadir, singga harus digadaikan kepada
Dana Moneter Internasional (IMF).

Sekali lagi terjadi perubahan sistim ketatanegaraan lewat reformasi.
Cita-citanya sama: ingin memperbaiki konstitusi. Bunyinya juga sama: UUD
1945, namun dibarengi dengan amandemen-amandemen.

Ternyata hasilnya lebih parah lagi. Alih-alih memperbaiki,
amandemen-amandemen itu malah mengubah UUD 1945 secara besar-besaran.
Sebagai saksi hidup yang turut berperan dalam Sidang Umum MPR RI, saya
sangat bisa merasakan nuansa liberal yang ingin dipaksakan masuk sebagai
amandemen di UUD 1945.

Saya bahkan menyaksikan sendiri berseliwerannya para konsultan,
aktivis-aktivis lembaga swadaya masyarakat, bahkan diplomat negara-negara
Barat di luar ruang sidang Gedung Nusantara 1 Kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta. Mereka kerap berdiskusi dengan sebagian anggota MPR—sungguh suatu
hal yang memprihatinkan.

Akhirnya, kita sekarang ini melihat dan merasakan bersama, betapa
berubahnya isi dari UUD 1945 setelah diamandemen: peran MPR dikebiri, tidak
lagi menjai lembaga tertinggi negara, melainkan hanya lembaga tinggi negara
saja, yang bertugas untuk melantik presiden. Fungsi MPR sebagai pembuat
garis-garis besar haluan negara ditiadakan. Keanggotaannya yang dulu
terdiri dari anggota DPR, utusan daerah, dan golongan fungsional diubah
menjadi hanya anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)—sebuah
lembaga tinggi negara baru yang sengaja dibentuk untuk mengakomodasi para
utusan daerah.

Kemudian muncul  pertanyaan, ke mana perginya golongan fungsional itu? Raib
ditelan amandemen?

Presiden dipilih langsung , bahkan kebablasan sampai-sampai gubernur,
bahkan bupati dan walikota, juga dipilih langsung. Pasal mengenai ekonomi
menekankan pada efisiensi sehingga terlihat aspek kegotongroyongan,
sosialisme, dan kekeluargaan menjadi pudar.

Menjelang dua dekade sesudah perubahan UUD 1945 besar-besaran itu kita pun
menjadi sama tahu: betapa besar tenaga, waktu, dan dana yang digunakan
untuk proses pemilihan para eksekutif ini. Belum lagi munculnya
gesekan-gesekan di antara anak bangsa, terutama semasa kampanye, yang tak
jarang mengakibatkan kerusuhan, perang kata-kata kasar, politik pencitraan
yang berlebihan, dan politik uang, demi kemenangan kandidat. Berkembangnya
teknologi informatika dan semakian mudahnya,dunia maya diakses siapa saja
menambah keributan ini, yang membelah pilah masyarakat pada tingkat yang
sudah mengkhawatirkan.

Kebijakan ekonomi yang berlandaskan efisiensi yang secara bertahap
menafikan subsidi, mengutamakan pertumbuhan tapi kurang mempertimbangkan
kesejahteraan rakyat, memang membuat pertumbuhan ekonomi yang bagus. Namun,
kesenjangan ternyata semakin melebar dan *Gini Ratio* memburuk. Sistim
ekonomi secara kasat mata menunjukkan adanya pembiaran atas praktik yang
kuat dan yang lebih efisien memakan yang lemah, sementara pengembangan
ekonomi kerakyatan masih lamban ,walaupun presiden telah berusaha sepenuh
tenaga untuk memajukannya. Semua ini diperburuk dengan tiadanya garis-garis
besar haluan negara, yang sebelumnya selalu dibuat oleh MPR.

Di bidang kebudayaan, kalau dulu oleh Bung Karno ditiadakan sifat dan
budaya kebarat-baratan, sekarang justru berkembang kebudayaan asing yang
dikaitkan dengan keagamaan, walau sebetulnya sama sekali tidak ada
keterkaitannya dengan agama.

Dengan menyaksikan itu semua, sungguh tepat kiranya kalau dikatakan bahwa
pidato dan konsep Bung Karno setengah abad yang lalu masih relevan untuk
digunakan  sekarang, yakni kembali lagi ke UUD 1945 yang seutuhnya. Ekonomi
yang berdasarkan efisiensi sebagaimana yang tercantum dalam undag-undang
dasar yang baru kita kembalikan kepada ekonomi negara yang berlandaskan
kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Demokrasi sesuai UUD 1945 yang menyatakan kedaulatan berada di tangan
rakyat yang dilaksanakan melalui pemilihan umum. Atas dasar pemilihan umum
itu akan terpilih perwakilan rakyat dalam demokrasi atau kerakyatan yang
dipimpin dalam permusyawaratan perwakilan. Percayakan mereka untuk memilih
pemimpin-pemimpin lewat lembaga perwakilan, mulai dari presiden, gubernur,
bupati, walikota, beserta wakilnya, sebagaimana dilakukan sejak tahun 1945
hingga tahun 2000.

Yang menjadi kunci adalah melaksanakan pemilihan umum yang benar-benar
jujur, adil, bebas, dan rahasia secara konsekuen, sebagaimana pernah kita
laksanakan pada tahun 1955. Kalau kita dulu dengan tingkat pendidikan yang
lebih minim mampu melaksanakan pemilihan umum yang demokratis, jujur, adil,
langsung, bebas, dan rahasia, kenapa sekarang tidak?

Jadi, sebetulnya tidak ada yang perlu diubah dari UUD 1945, melainkan
implementasinya diperbaiki. Sekali lagi: pemilihan umum harus mendasarkan
pada praktik jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Itu yang
tidak pernah dilakukan pada zaman Orde Baru.

Sudah selayaknya patut kita pikirkan dengan serius untuk betul-betul
kembali ke UUD 1945. Niscaya negara kita jaya dan rakyat kita akan lebih
sejahtera.

Kirim email ke