Ini strategi khusus dari Mendes untuk awasi dana desa
 Jumat, 2 Maret 2018 12:54 WIB
 
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Sandjojo. 
(ANTARA /Akbar Nugroho Gumay)

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan 
Transmigrasi (PDTT) Eko Putro Sandjojo menerapkan strategi khusus untuk 
mengawasi pengelolaan dan penggunaan dana desa.

Menteri Eko dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat, menyatakan 
komitmennya untuk mengawal dan mengawasi penggunaan dana desa hingga tahap 
pemanfaatannya.

"Untuk itu kami gunakan strategi khusus untuk memastikan dana desa benar-benar 
diperuntukkan pemberdayaan potensi ekonomi desa," kata Eko.

Strategi yang dimaksud yakni dengan menekankan pengawasan pada dua hal, 
katanya, yakni menekan celah potensi penyalahgunaan dana desa dan meningkatkan 
kualitas para pendamping desa.

"Kedua hal ini memang sempat menjadi sorotan publik lantaran mencuatnya 
sejumlah kasus penyimpangan yang terjadi di sejumlah daerah, beberapa waktu 
lalu. Apalagi berbagai penyimpangan tersebut tidak hanya melibatkan aparat 
desa, tapi juga pejabat daerah, bahkan penegak hukum," katanya.

Ia mengemukakan, sampai saat ini dana desa sudah mengucur ke sebagian besar 
desa.

Dalam tiga tahun terakhir tepatnya sejak 2015 alokasi dana desa terus menanjak 
signifikan dari Rp20,67 triliun atau sekitar Rp280,3 juta per desa pada 2015 
hingga menjadi Rp60 triliun atau sekitar Rp800,4 juta per desa pada 2017.

Sedangkan pada 2018 ini jumlah dana desa sama dengan pada 2017, yakni Rp60 
triliun.

Cukup jauh

Bersamaan dengan itu, program pemberdayaan potensi desa juga telah bergulir 
cukup jauh, bahkan sudah mengarah ke pembentukan badan usaha milik desa 
(BUMDes) yang berpayung hukum.

"Karena itu pengawasan menjadi hal yang secara terus-menerus harus 
ditingkatkan," ujar Eko sebelumnya.

Dalam hal pengawasan terhadap kemungkinan tindak penyalahgunaan dana desa, kata 
Eko, saat ini sudah ada nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) 
antara Kemendes, Kemendagri, dan Kepolisian Republik Indonesia.

Sayangnya, untuk program dana desa 2018 yang menjangkau 74.958 desa, Polri 
memiliki kekurangan 20.673 personel Bhabinkamtibnas.

Selain kekurangan personel pelaku pengawas dana desa, infrastruktur penunjang 
kinerja kepolisian juga kurang. Terbukti hingga hari ini banyak daerah yang 
tidak memiliki pos polisi.

Data statistik kriminal BPS menunjukkan, pada 2014 hanya sekitar 10,6 persen 
desa atau kelurahan yang di wilayahnya terdapat pos polisi, termasuk polsek, 
polres, dan polda.

Menurut Eko, perihal penyalahgunaan dana desa lebih menjadi kewenangan aparat 
penegak hukum, baik Polri maupun KPK. Sedangkan Kemendes bersama-sama 
pemerintahan daerah lebih terfokus pada pengawasan agar program pemberdayaan 
potensi desa berjalan sesuai yang ditargetkan.

Dalam hal ini, pendamping desa memiliki peran sentral sebagaimana diatur dalam 
Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan 
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yakni Pendamping desa bertugas 
memfasilitasi dan mendampingi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan 
desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan 
pemberdayaan masyarakat desa.

Tenaga pendamping bukanlah pengelola proyek pembangunan di desa. Kerja 
Pendampingan desa difokuskan pada upaya memberdayakan masyarakat desa melalui 
proses belajar sosial.
  
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Heppy Ratna Sari

Kirim email ke