http://id.beritasatu.com/opini/penyakit-komplikasi-manufaktur/172579


*Penyakit Komplikasi Manufaktur*
*Oleh Andry Satrio Nugroho* | Rabu, 28 Februari 2018 | 9:35

[image: Andry Satrio Nugroho, Peneliti INDEF (Institute for Development of
Economics and Finance] Andry Satrio Nugroho, Peneliti INDEF (Institute for
Development of Economics and Finance

Berita Terkait

   -

   Membangun Industri
   <http://id.beritasatu.com/home/membangun-industri/172991>
   -

   Perlu Pembenahan Manufaktur
   <http://id.beritasatu.com/home/perlu-pembenahan-manufaktur/172108>
   -

   Dorong Industri Manufaktur
   <http://id.beritasatu.com/home/dorong-industri-manufaktur/171772>
   -

   Gejala Deindustrialisasi yang Kian Terasa Perlu Diwaspadai
   
<http://id.beritasatu.com/home/gejala-deindustrialisasi-yang-kian-terasa-perlu-diwaspadai/171628>
   -

   Industri Manufaktur Penyumbang Terbesar Ekspor Nasional
   
<http://id.beritasatu.com/home/industri-manufaktur-penyumbang-terbesar-ekspor-nasional/171409>

Perekonomian Indonesia saat ini berjalan susah payah, bergerak namun
lamban. Selama empat tahun terakhir, ekonomi Indonesia konsisten tumbuh
lima persenan. Tahun 2017, Indonesia masih terseok di angka pertumbuhan
5,07%, sedangkan Negara jiran seperti Malaysia bisa mencapai 6,2%, Vietnam
6,8% dan Filipina 6,7%, berlari lebih kencang di tahun lalu.



Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini tidak mampu bergerak kencang karena
motor penggeraknya, yaitu industri, akselerasinya juga tidak cepat. Mari
kita lihat, asupan industri terhadap perekonomian memang sudah ada dan
diklaim meningkat, namun hal ini tidak cukup. Wajar jika perekonomian
terasa bergerak pelan dan terkesan berjalan di tempat selama empat tahun
ini.



Mulai dari sektor *tradable*, seperti per tanian, pertambangan dan industri
manufaktur yang hari ini tumbuh lebih lambat dari sektor *non-tradable *seperti
jasa. Tahun 2017, sektor *tradable *yang merupakan sektor penghasil barang
hanya tumbuh sebesar 3,43%, sementara sektor *non-tradable* meningkat
hingga 5,83%. Alih-alih pertumbuhannya mengejar sector *non-tradable*,
sektor *tradable *justru tumbuh semakin rendah menjauh dari sektor
*tradable*.



Salah satu porsi terbesar dari sektor *tradable *ini adalah industri.
Industri manufaktur yang menjadi tumpuan sumber pertumbuhan sebesar 0,91%,
saat ini hanya tumbuh 4,27% (*year on year*/yoy), setelah tahun lalu tumbuh
4,26% (yoy) atau hanya naik 0,01%. Jika dilihat dari industri manufaktur
non-migas, tumbuh 4,84% dari sebelumnya 4,43% (yoy). Memang baik, namun
lagi-lagi masih belum cukup karena masih tumbuh berada di bawah pertumbuhan
ekonomi. Apalagi jika dibandingkan dengan sektor jasa seperti sektor
informasi dan teknologi yang tumbuh sebesar 9,81% dan jasa keuangan dan
asuransi sebesar 5,48%.



Hanya tiga sektor industri yang kinerjanya berada di atas pertumbuhan
ekonomi pada 2017, di antaranya industri makanan dan minuman (9,23%), logam
dasar (5,87%), serta mesin dan perlengkapan (5,55%). Padahal tahun lalu ada
lima sektor industri yang tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi. Konsekuensi
dari rendahnya pertumbuhan industri tentu adalah kontribusinya terhadap
perekonomian yang semakin rendah.



Tercatat, kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto
(PDB) yang turun menjadi 20,16% dari sebelumnya sebesar 20,51% terhadap
PDB. Penurunan ini juga dialami oleh industri non-migas yang sebelumnya
sebesar 18,21% menjadi 17,88%, turun 0,32%.



Semakin berkurangnya kemampuan industri maka semakin kehilangan pula
peluang untuk mendapatkan efek pengganda yang dapat dilakukan industri ini.
Segi tenaga kerja, meskipun pergerakannya tidak begitu konsisten, namun per
tahun, pertumbuhan 1% industri manufaktur, sejak 2014 hingga 2017 rata-rata
mampu menyerap 104,079 tenaga kerja baru.



Dari segi penerimaan, sektor industri manufaktur menyumbang pajak terbesar
dibandingkan sektor lainnya sebesar 31,8% pada 2017 dan tumbuh 17,1% dari
tahun sebelumnya.



*Mencari penyebab*

Bak penyakit komplikasi, penyebab dari lesunya kinerja industri ini perlu
dicermati lebih teliti. Dari segi keuangan, perbankan merupakan mayoritas
pemberi dana terbesar, yakni sebanyak 70% untuk investasi industri sedang
dan besar di sektor industri manufaktur. Namun, kontradiktif ketika melihat
bunga kredit yang masih besar dan jumlah suntikan kredit perbankan yang
diberikan sektor industri yang masih belum optimal.



Perbankan lebih cenderung memilih menggelontorkan kredit kepada rumah
tangga yang dipergunakan untuk kegiatan konsumsi. Selain permintaan yang
tinggi, juga karena sektor rumah tangga berisiko rendah, tidak seperti
sektor industri. Masalah lain adalah ketersediaan bahan baku di dalam
negeri yang rendah. Sebagai contoh saja, industri petrokimia. Industri yang
dijuluki sebagai ibu industri karena kemampuannya dalam menyediakan
berbagai macam bahan baku bagi industri seperti plastik, tekstil, hingga
farmasi ini rantai industrinya, baik hulu, antara hingga hilir sudah
dikuasai produk impor.



Saat ini 50% bahan baku industri petrokimia berasal dari impor. Hal ini
terlihat dalam kebutuhan bahan baku petrokimia sebesar 5,6 juta ton per
tahun dan baru terpenuhi sebanyak 2,45 juta ton per tahun dari dalam
negeri. Salah satu bahan baku seperti *naphtha cracker *hanya bisa
diproduksi 900 ribu ton per tahun, sementara permintaan domestik sudah
mencapai 1,6 juta ton per tahun.



Thailand mampu memproduksi 5 juta ton, bahkan Singapura saja mampu
memproduksi 3,8 juta ton per tahun. Ketergantungan impor juga bukan masalah
ketersediaan (*supply*), namun juga permasalahan harga. Ambil contoh harga
energi seperti gas industri yang masih mahal, US$ 9,5 per mmbtu jika
dibandingkan negara lain di Asean yang hanya US$ 6-7 per mmbtu.



Masalahnya pun masih berkutat dari ketidakberdayaan pemerintah untuk
menekan harga akibat komponen *cost recovery* di awal produksi lebih banyak
ditanggung kontraktor daripada Negara sehingga kontraktor memiliki daya
tawar yang lebih tinggi untuk mempergunakan gas yang diproduksi dan
menjualnya mendekati harga keekonomiannya. Belum lagi permasalahan harga
gas yang lebih mahal di hilir karena ongkos distribusi dibandingkan biaya
produksi yang ada di hulu.



Memang, impor bukanlah persoalan yang tabu. Pelaku industry setidaknya
memilih jalan ini karena masalah ketersediaan (*supply*) dan harga yang
lebih murah. Namun, jika industri strategis dihidupi oleh produk impor,
struktur industri akan rapuh dan keinginan industri yang berkelanjutan
hanya berhenti sebagai sebuah harapan.



*Menakar Solusi*

Banyak hal yang dapat ditempuh jika pemerintah ingin mencapai target
pertumbuhan industri yang dicanangkan saat ini yaitu sebesar 5,6%. *Pertama
*dan sangat jelas, permasalahan ini bukan permasalahan yang harus
diselesaikan satu pemangku kebijakan saja. Kemenperin tidak bisa berdiri
sendiri karena kementerian lainnya juga turut andil untuk mendorong
industri. Harga energi yang menjadi bahan baku industri juga berada pada
kewenangan Kementerian ESDM. Gempuran impor barang industri juga berada di
bawah kekuasaan Kemendag.



*Kedua*, penerapan standar nasional Indonesia (SNI) dan tingkat komponen
dalam negeri (TKDN). Menerapkan keduanya secara konsisten menjadi salah
satu sarana dan dukungan dari pemerintah kepada industri untuk melindungi
produk industri dari gempuran produk impor berkualitas rendah. Ambil contoh
baja sebagai produk industry saat ini yang dikuasai oleh produk impor.



Celakanya, di saat yang bersamaan, pemerintah justru sedang getol membangun
infrastruktur. Padahal, produk baja impor dari segi kualitas masih jauh
dari baja produk nasional. Jalan tengah, memberlakukan segera Non Tarif
Measurement (NTM) bagi produk-produk industri



*Ketiga*, kembali pada riset dan inovasi. Pemerintah sudah memberikan
wacana keringanan pajak 200-300% bagi industri yang membangun fasilitas
riset dan vokasi. Hal ini cukup bisa memberikan angin segar bagi para
pelaku industri khususnya industri berbasis riset seperti industri farmasi.



Namun, perlu diingat bahwa semuanya harus berada pada payung yang sama
yaitu membangun visi industri. Hal ini yang pemerintah saat ini absen dan
cenderung tidak terpikirkan. Tanpa visi industri, kita akan kehilangan arah
dalam mengembangkan industri strategis dan prioritas secara berkelanjutan.



*Andry Satrio Nugroho, **Peneliti Institute for Development of Economics
and Finance (Indef)*

Kirim email ke