*Afghanistan dibawah kekuasaan Taliban diharuskan kepada orang laki dewasa
harus berjangut dan diukur panjangnya, kalau tidak mempunyai janggut
dihukum cambuk. Habib Rizieq berjanggut, apakah janggutnya bahagia dari
agama atau budaya?*

http://www.suara-muslim.com/2016/10/jenggot-bukan-bagian-dari-agama.html


Jenggot Bukan Bagian Dari Agama Melainkan Budaya

<https://2.bp.blogspot.com/-T-dOeCK4ZXA/WANT0fJVcqI/AAAAAAAAAgQ/MNaZwvKn6qwzSfsuqYjxLgtSrAJaLOzSQCLcB/s1600/jengot%2Bitu%2Bsunnah%2Bnabi.jpg>

Di antara keutamaan mengaji kitab hadits adalah kita dapat melihat
kehidupan Nabi Muhammad SAW secara utuh, mulai dari kehidupan beragama,
sosial, budaya, bahkan bentuk fisiknya. Namun pertanyaannya, apakah semua
bentuk kehidupan Nabi SAW itu mesti kita amalkan?

Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah” (Surat
Al-Hasyar ayat 7). Sekilas ayat ini bermakna umum, artinya segala sesuatu
yang berasal dari Nabi Muhammad harus diamalkan, baik yang bersifat duniawi
maupun agama. Akan tetapi, menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam
kitabnya *At-Turuqus
Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah*, ayat ini tidak berlaku umum, karena
ada hadits yang mengkhususkan keumumannya.

Dalam hadis riwayat Muslim, Nabi SAW berkata:

إنما أنا بشر، إذا أمرتكم بشيء من دينكم فخذوه به، وإذا أمرتكم بشيء من رأيي
فإنما أنا بشر


Artinya, “Sesungguhnya aku seorang manusia. Bila aku memerintahkan sesuatu
yang berkaitan dengan agama maka patuhilah, namun bila aku memerintahkan
sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka bagaimanapun aku juga seorang
manusia,” (HR Muslim).

Berdasarkan hadits ini, Imam Muslim dalam *Shahih Muslim* memberi judul
salah satu babnya dengan redaksi:

باب وجوب امتثال ما قاله شرعا دون ما ذكره من معايش الدنيا على سبيل الرأي


Artinya, “Kewajiban mengikuti perintah Rasul selama berkaitan dengan
syariat, bukan sesuatu yang berkaitan dengan hal keduniawian yang berasal
dari pendapat pribadi beliau.”

Dari kalimat ini dapat dipahami, tidak semua sesuatu yang berasal dari Nabi
mesti diamalkan. Karena bagaimanapun beliau juga seorang manusia, yang
memiliki pandangan pribadi, tinggal di sebuah komunitas yang memiliki
sistem sosial dan budaya tersendiri.  Maka dari itu, Kiai Ali menyimpulkan
bahwa hadits yang mengandung unsur budaya Arab tidak wajib untuk diamalkan.

*Kedudukan Jenggot*
Sebagian orang menganggap bahwa jenggot identik dengan Islam. Sehingga ada
kesan tidak sempurna keislaman seseorang bila tidak berjenggot. Karena
mereka meyakini Nabi SAW berjenggot dan kita harus menirunya. Selain itu
ada hadits yang bersumber dari Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda:

أحفوا الشوارب وأعفوا اللحى


Artinya, “Potonglah kumismu dan biarkan jenggotmu panjang,” (HR Muslim).

Dalam hadits lain disebutkan:

خالفوا المشركين أحفوا الشوارب وأوفوا اللحى


Artinya, “Berbedalah dengan orang musyrik, potong kumismu dan biarkan
jenggotmu panjang” (HR Muslim).

Hadits pertama mengindikasikan kewajiban memotong kumis dan memanjangkan
jenggot. Sementara hadis kedua juga menyiratkan hal yang sama, namun di
sana terdapat ‘illat atau alasan mengapa memanjangkan jenggot termasuk
kesunahan.

Menurut Kiai Ali Mustafa, hadits tidak dapat dipahami sepotong-sepotong dan
antara hadis dapat saling menafsirkan antara satu sama lainnya. Terlebih
lagi, terkadang dalam satu tema yang sama, ada hadits yang diriwayatkan
secara utuh dan ada yang tidak utuh. Karenanya, hadis yang redaksinya utuh
seharusnya menjadi acuan untuk memahami hadis yang tidak utuh.

Dengan demikian, hadits kedua menjadi pedoman untuk memahami hadits
pertama, karena redaksinya lebih lengkap. Implikasinya, aturan memanjangkan
jenggot dan memotong kumis sangat terkait dengan anjuran *mukhalafah lil
musyrikin* (berbeda dengan orang musyrik). Dalam pandangan Kiai Ali, yang
menjadi perhatian utama dalam hadits ini adalah imbauan untuk berbeda
dengan orang kafir, bukan aturan memanjangkan jenggotnya.

Akan tetapi perlu digarisbawahi, perintah Nabi SAW agar berbeda dengan
orang kafir ini sangat terkait dengan konteks perperangan. Supaya bisa
membedakan mana pasukan musuh dan umat Islam pada waktu perang, perlu
diberikan simbol dan tanda pada masing-masing pasukan. Di antara tandanya
adalah jenggot.

Karena itu, makna hadits ini tidak relevan dengan sendirinya pada masa
sekarang. Dalam konteks dunia modern, jenggot tidak lagi menjadi simbol
pembeda antara pasukan Muslim dan musuh. Selain itu, sebagian negara yang
dihuni umat Islam, mereka dapat hidup berdampingan dengan orang non-Muslim.
Sehingga tidak dibutuhkan lagi simbol pembeda antara orang Islam dengan
non-Muslim.

Kiai Ali mengatakan:

ومع ذلك نحن نرى بأن ما يتعلق بالشعر من اللحية والشارب وشعر الرأس كل ذلك من
باب لتقاليد والعادات وليس من باب الدين والعبادات


Artinya, “Maka dari itu, kami berpendapat bahwa segala sesuatu yang
berkaitan dengan rambut, baik jenggot, kumis, dan rambut bagian dari budaya
dan adat, bukan agama dan ibadah.

Menurut Kiai Ali, jenggot bukanlah bagian dari agama atau kesunahan, tetapi
bagian dari budaya. Berjenggot atau tidak bukanlah standar keislaman.
Silakan berjenggot, tapi jangan menganggap orang yang tidak berjenggot
sebagai orang yang tidak mengikuti sunah Nabi. *Wallahu a’lam*. (*Hengki
Ferdiansyah*)
  • [GELORA45] Jenggot Bukan Bagi... Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]

Kirim email ke