- HOME 
   -  HUMANIORA

Aliarcham Mati Muda di Boven Digoel
Makam Aliarcham. FOTO/Istimewa885 Shares   Reporter: Petrik Matanasi30 Oktober, 
2017dibaca normal 3:30 menit   
   - Aliarcham terlibat dua kali pemogokan buruh besar, sehingga ia dihukum 
dengan dibuang ke Papua
Melihat penderitaan orang miskin, ia keluar sekolah dan melawan Belanda, sampai 
akhirnya dibuang ke Digoel.tirto.id - Sebelum kenal dengan Marxisme, Aliarcham 
lebih dulu mengenal Samin Surosentiko. Kisah tokoh Sedulur Sikep itu sudah 
didengar oleh pemuda kelahiran Pati tahun 1901 ini sejak ia masih sekolah di 
Hollandsche Inlandsche School (HIS), sekolah elit untuk anak-anak pribumi 
berbahasa Belanda. 

Sekolah di HIS tak hanya membuatnya bisa baca tulis huruf Latin, tapi juga 
bahasa Belanda, sehingga ia bisa mengakses surat kabar yang berpihak pada kaum 
kuli. Media-media itu adalah Sinar Hindia—yang kemudian menjadi Api—milik 
Sarekat Islam Merah, Suara Rakyat dan Het Vrije Woord milik Indische Sociaal 
Demokratische Vereniging (ISDV) alias Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia, dan 
de Express milik orang radikal macam Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker. 

“Dari guru-guru agamanya, ia menerima ajaran-ajaran Saminisme tentang persamaan 
dan persaudaraan manusia, tentang gotong-royong dan tiada penindasan, tentang 
membenci dan melawan penjajah Belanda,” demikian tertulis dalam buku Aliarcham 
Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya (1964), terbitan Akademi Ilmu Sosial 
Aliarcham, Jakarta. 

Baca Juga: Cara Samin Melawan dan Membikin Resah Belanda

Aliarcham adalah putra seorang guru agama kampung. Dia tak dibesarkan dalam 
sebuah keluarga miskin. Setelah lulus dari HIS, ia melanjutkan ke sekolah guru 
pribumi atau Kweekschool voor Inlands Onderwijs di Ungaran dan akhirnya ke 
sekolah guru menengah atas Hogare Kweekschool, di Purworejo. Namun, Aliarcham 
yang keras kepala tak menyelesaikan sekolahnya di Purworejo itu. Dia 
menyaksikan kemiskinan dan penghinaan terhadap orang-orang di sekitarnya, dan 
ia pun jadi komunis. 

Ketika masih sekolah guru, pada 1921 dia sudah tercatat sebagai anggota PKI, 
selain terus menjadi anggota SI Merah. Saat itu, ia menjadi tukang kritik di 
sekolah, bahkan tak mau membungkukkan badannya di hadapan orang-orang Belanda, 
termasuk guru-gurunya. Ia menganggap orang-orang Belanda kerap menghina 
orang-orang Indonesia yang mereka biarkan bodoh dan miskin. 

Suatu hari, pada 1922, Guru Kepala di sekolahnya memanggilnya jelang ujian 
akhir. Aliarcham diancam dikeluarkan dari sekolah jika terus menjadi tukang 
kritik yang keras kepala. Aliarcham tak mau diancam dan memilih undur diri dari 
muka gurunya. Namun, sang guru Belanda itu memanggilnya masuk ke ruangannya 
lagi dan mengulangi ancamannya. Bukannya takut, Aliarcham malah kesal dan 
keluar sambil membanting pintu. 

“Tuan takkan dapat mematikan semangat perjuangan saja. Saya akan berjuang 
melawan penjajahan Belanda,” kata Aliarcham ketika hengkang dari sekolah guru 
calon abdi Belanda itu. 

Ia kemudian menuju Semarang, tempat PKI tumbuh dan melawan Belanda dengan 
keras. PKI kala itu dipimpin orang-orang muda binaan seorang komunis Belanda, 
Henk Sneevliet. Aliarcham melihat Sneevliet lebih peduli pada penderitaan 
orang-orang Indonesia yang terbodohi dan dimiskinkan ketimbang orang-orang 
Indonesia terpelajar yang sibuk mencari posisi di jajaran birokrasi kolonial. 

“Kaum intelektual Indonesia hendaknya merasa malu kepada intelektual kelas 
buruh Belanda seperti Sneevliet yang berjuang untuk kemuliaan rakyat 
Indonesia,” kata Aliarcham. 

Baca Juga: Henk Sneevliet Mahaguru Pendiri PKI 

Menurut Ruth McVey, dalam Kemunculan Komunisme di Indonesia (2010), Aliarcham 
muda sempat menjadi eksekutif PKI di Semarang, di bawah pengawasan Darsono. 
Menurut catatan Harry Albert Poeze dalam Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 
(1897-1925), Aliarcham menjadi ketua setelah Winanta ditangkap pada pertengahan 
1924. 

Di PKI, Aliarcham tak kalah giat dibanding Sneevliet yang saat itu sudah 
terusir dari Indonesia. Sebagai orang terpelajar di PKI dan SI Merah, Aliarcham 
termasuk orang yang cukup didengar. Setelah Kongres Sarekat Islam di Bandung 
pada 1922, ada aturan anggota SI tak boleh punya keanggotaan ganda dengan PKI. 

Maka dari itu, seperti diceritakan dalam buku Aliarcham Sedikit Tentang Riwayat 
dan Perjuangannya, ia lalu “mengusulkan agar nama SI Merah dirubah menjadi 
Sarekat Rakyat, dengan tujuan untuk dapat menarik garis pemisah yang tegas 
antara yang putih dengan yang merah. Usulnya ini diterima dengan suara bulat.” 

Aliarcham adalah anggota PKI yang kerap diawasi polisi kolonial. Ia dianggap 
propagandis berbahaya dalam pemogokan buruh kereta api di Jawa Timur pada 
Oktober 1923 yang membuatnya dipenjara selama 4 bulan. Aliarcham tentu tak 
kapok. Pada 1925, ia kembali aksinya diulangi dalam pemogokan buruh pabrik gula 
Tanggulangin. Pemerintah kolonial membuangnya ke ujung timur Hindia Belanda. 

Di penghujung tahun itu, Aliarcham bersama Marjohan berangkat ke Papua. Menurut 
catatan Mangkudan Sati yang dikutip buku Aliarcham Sedikit Tentang Riwayat dan 
Perjuangannya, ia menumpang kapal van der Wijk pada 24 Desember 1925. Sebelum 
kapal berangkat, Aliarcham bertemu isterinya, Sukimah, dan anak lelakinya yang 
masih kecil, meski hanya beberapa menit. 

Di Papua, Aliarcham dikurung dalam satu kurungan sempit. Kepada penjaga-penjaga 
bersenjata di sekitar kurungannya yang sempit itu, Aliarcham berkata: 
“Pemerintah kalian sangat ketakutan kepada saya yang tidak bersenjata ini.” 

Ketika Pemberontakan PKI 1926 meletus, bisa dibilang Aliarcham tak terlibat.. 
Seperti Haji Misbach, ia sudah dibuang di Papua. Dan ketika seribuan orang PKI 
dibuang ke Boven Digoel, Aliarcham pun dikirim ke sana, di daerah yang saat ini 
disebut sebagai Tanah Merah. Di Tanah Merah, anak dan istrinya juga ikut serta. 

Baca Juga: 
   
   - Mohammad Misbach Sang Haji Merah
   - Digoel Tempat Buangan Para Pembangkang
share infografik

Meski dibuang jauh, Aliarcham masih keras kepala. Tak heran pada akhir 1928, ia 
bersama Sardjono, Dachlan, Mohamad Sanusi, Soenario, Soemantri, dan Thomas 
Najoan dipindah ke kamp Gudang Arang, tak jauh dari Tanah Merah. Dari Gudang 
Arang, mereka dipindahkan ke kamp Tanah Tinggi. Tempat itu begitu sunyi, dan 
kesunyian adalah musuh utama paling berbahaya di sana. 

Sewaktu di Tanah Merah, Aliarcham pernah dituduh melakukan hal cabul. Menurut 
catatan Mas Marco Kartodikromo dalam Pewarta Deli (29/10/1931), Aliarcham 
diperiksa terkait perbuatan tak senonohnya kepada Noerhati—istri dari Hermawan. 
Tuduhan itu tak terbukti dan Aliarcham dinyatakan tidak bersalah oleh sebuah 
komisi yang terdiri dari orang-orang buangan juga. 

Di akhir-akhir hidupnya, Aliarcham menghabiskan waktu di Tanah Tinggi. Penyakit 
paru-parunya kerap kambuh. Dia kerap terbatuk-batuk dan akhirnya terbaring. 
Hingga akhirnya, “ia dipapah oleh kawan-kawannya menaiki kapal sungai. Kapal 
berlayar kembali menuju Tanah Merah.” Belum sampai di Tanah Merah, maut 
menjemputnya pada 2 Juli 1933. 

“Waktu Ali Archam meninggal, semua orang merasa diguyur air dingin karena sikap 
pribadinya yang kuat dan pantang menyerah,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang 
Di Persimpangan Kiri Jalan (1997). 

Dia dimakamkan di sebuah makam yang cukup sederhana. Dalam sebuah foto di buku 
Boven Digul(1936) yang disusun dr. L.J.A. Schoonheyt—pernah berdinas sebagai 
dokter di sana—tergambar makam Aliarcham terhiasi oleh lambang palu arit 
disertai puisi terkenal dari Penyair Belanda, Henriette Rolland Holst. Dan 
tampak di foto seekor anjing sedang menjaganya. Makamnya masih bisa ditemukan 
di Boven Digoel, di Taman Makam Perintis Kemerdekaan di Tanah Merah. 

Baca Juga: 
   
   - Puisi dan Perjuangan Tante Jet untuk Indonesia
   - Kampus-kampus Merah Kampus Kader Komunis 
Dalam suratnya kepada Sukimah soal meninggalnya Aliarcham, dr. Schoonheyt 
menulis: “Saya melihat sesuatu yang luar biasa kuatnya pada diri suami nyonya, 
yaitu pendirian politiknya yang tak pernah kendor melawan pemerintah. Dan 
sebagai manusia, saya sangat menghormati akan keteguhan hati ini.” 

Tak hanya Schoonheyt yang sadar soal itu. PKI menamai salah satu kampusnya, 
sebuah Akademi Ilmu Sosial, dengan nama Aliarcham. Sekolah ini kemudian 
menerbitkan buku tipis soal Aliarcham pada 1964: Aliarcham, Sedikit Tentang 
Riwayat dan Perjuangannya. 

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik 
Matanasi 
(tirto.id - pet/msh)
Keyword
SEJARAH INDONESIA PKI HINDIA BELANDA BOVEN DIGOEL ALIARCHAM AKADEMI SOSIAL 
ALIARCHAM HUMANIORA SEJARAH MILD REPORT

Kirim email ke