Kejanggalan Terapi 'Brainwash' Dokter Terawan
Di Balik Alasan IDI Memecat Dokter..."Penelitian Dokter Terawan...
Ilustrasi dr. Terawan: memodifikasi alat dignosis menjadi alat pengobatan. 
Tirto/Lugas
9 April 
2018https://tirto.id/kejanggalan-terapi-039brainwash039-dokter-terawan-cHrz
Banyak kejanggalan soal metode 'cuci otak' yang diterapkan dokter Terawan. Dari 
jumlah puluhan ribu pasien hingga klaim pengakuan di Jerman.tirto.id - Kepala 
Anung Anindito tiba-tiba puyeng saat berolahraga. Ia terjatuh dan nyaris tak 
sadarkan diri. Rupanya ia terserang vertigo. Ia langsung diberi pertolongan 
pertama dan obat. 

Peristiwa itu terjadi pada 2010. Saat itu, ia menemani Susilo Bambang Yudhoyono 
yang berkunjung ke Bali. Anung adalah fotografer keluarga SBY. 

Sepulang dari Bali, Anung melakukan tes kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan 
Darat (RSPAD) Gatot Soebroto. Hasilnya cukup aneh. Tidak ada masalah apa pun 
pada tubuh Anung. Saat hendak pulang, ia bertemu dengan dokter Terawan Agus 
Putranto. Ia sudah kenal lama dengan si dokter. (Terawan menjabat kepala RSPAD 
sejak 2015 hingga sekarang.)

“Kamu sakit apa?” tanya Terawan, dengan bahasa Jawa.

Anung menjelaskan kondisinya. Ia merasa kepalanya berat dan sering pusing. 
Tanpa basa-basi, Terawan menawarkan tes pencitraan resonansi magnetik alias MRI 
kepada Anung. Tes MRI dapat membantu dokter mengidentifikasi penyakit pasien 
dengan cara menampilkan gambar struktur dan organ dalam tubuh si pasien.

“Gratis,” ujar Terawan, meyakinkan.

Tawaran itu langsung disambut oleh Anung. Hari itu juga ia melakukan MRI. 
Hasilnya, demikian Anung, menunjukkan ada kekurangan suplai darah ke otak. 

Terawan lantas menawarkan pengobatan lebih lanjut lewat apa yang dia sebut 
metode 'brainwash' alias 'cuci otak' dengan Digital Subtraction Angiography 
(DSA). Karena sudah kenal baik, Anung menurut dan percaya. Pada hari yang sama, 
Anung menjalani operasi tersebut. 

Sebuah selang dimasukkan ke pembuluh darahnya sampai ke belakang leher. Lalu 
disemprotkan heparin. Nama terakhir adalah obat antikoagulan alias pengencer 
darah, yang berfungsi mencegah pembentukan gumpalan darah di pembuluh, arteri, 
atau paru-paru. Heparin juga dipakai sebelum operasi untuk mengurangi risiko 
penggumpalan darah.

Sekitar setengah jam, brainwash selesai dilakukan. 

Anung ingat, saat itu Terawan menjelaskan bahwa pengobatan ini adalah 
pengobatan baru. 

“Dokter Terawan tidak pernah bilang bisa menyembuhkan stroke. Beliau cuma 
bilang kalau ini baru,” katanya. 

Setelah itu, Anung merasa ada perubahan yang baik pada tubuhnya, yang ia bilang 
"lebih segar dan sehat." 

Ada banyak testimoni serupa yang merasakan keberhasilan pengobatan itu. Meski 
demikian, praktik terapi atau pengobatan yang diterapkan dokter Terawan belum 
memiliki dasar kuat. Idealnya, sebuah penemuan baru dalam bidang medis harus 
melalui uji klinis sebelum dipraktikkan pada manusia. 

Baca juga: Bisakah Testimoni Pasien Selamatkan Dokter Terawan dari Pemecatan?

Alat Diagnosis Menjadi Alat Pengobatan
Kritik pedas disampaikan oleh Moh. Hasan Machfoed, profesor neurologi dari 
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Ia mengatakan bahwa metode 
yang dikenalkan Terawan itu tak masuk akal. Salah satu alasannya, DSA bukanlah 
alat terapi penyembuhan, tetapi hanya alat untuk diagnosis penyakit. 

Dalam dunia kedokteran, DSA sudah lazim digunakan. Di bidang neurologi, DSA 
disebut cerebral angiography, digunakan untuk memeriksa gejala gangguan 
pembuluh darah otak (stroke iskemik). 

“Kalau misalnya Anda sakit batuk dua bulan, Anda pasti sakit paru-paru. Oleh 
spesialis paru-paru, Anda dirontgen. Anda divonis menderita TBC (tuberkulosis). 
Terbukti rontgen itu alat diagnosis, kan? Tapi rontgen itu diklaim bisa 
menyembuhkan Anda,” kata Machfoed kepada Tirto, 6 April lalu, mengilustrasikan 
bagaimana rontgen sebagai metode diagnosis tapi kemudian diklaim sebagai alat 
penyembuh.

Sebagaimana gambaran itu, Terawan mengklaim bahwa alat DSA—seyogyanya sebagai 
diagnosis—yang diterapkannya "sudah dimodifikasi", dan digunakan untuk 
memasukkan heparin—biasanya dipakai untuk obat campuran saat pasien melakukan 
tes darah di rumah sakit. 

Tapi, Machfoed berkata bahwa Digital Subtraction Angiography tetaplah alat 
untuk mengetahui kelainan pembuluh darah. "Hanya diagnosis. Nah, supaya 
kelihatan arteri di otak, dikasih juga heparin. Heparin itu maksudnya supaya 
nanti mencegah gumpalan darah." 

"Jadi heparin itu untuk mencegah, mencegah, dan mencegah pembekuan darah," 
tegas Machfoed.

Irawan Yusuf, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, yang 
menjadi promotor disertasi Terawan, bahkan mengatakan fungsi brainwash bukan 
untuk penyembuhan, melainkan hanya meningkatkan aliran darah dalam otak pada 
stroke kronis, memperbaiki suplai darah ke jaringan tersumbat ke otot jantung. 


Uji Penelitian dr. Terawan: Lemah dan Cacat
Dalam kesaksiannya di persidangan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI, Prof. 
Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A(K) telah menganalisis dua penelitian 
brainwash. Analisis itu dilakukan dari tiga aspek: praktik kedokteran, bukti 
ilmiah, dan penilaian teknologi kesehatan. 

Dari analisis itu, Sastroasmoro mempertanyakan praktik kedokteran Terawan: 
Apakah sudah ada Pedoman Nasional Praktik Kedokteran dan Pedoman Praktik Klinik 
untuk rumah sakit bagi pengobatan stroke. Sementara lewat bukti ilmiah, 
penelitian Terawan yang diterbitkan Bali Medical Journal dan Indonesian 
Biomedical Journal tak disunting dengan baik serta ditulis dalam jurnal 
terakreditasi B, menurut klasifikasi riset teknologi dan pendidikan tinggi. 

Baca juga: IDI Mempersilakan Dokter Terawan Membela Diri
Temuan lain terkait kualitas laporan merujuk kriteria Consolidated Standard of 
Reporting Trials (CONSORT) tahun 2015. Riset Terawan dinilai "lemah" dan 
"cacat" dari validitas studi secara metodologi. Penelitiannya mengabaikan aspek 
desain penelitian, besaran sampel, cara pengambilan sampel, dan penulisan, 
terutama Terawan tidak memahami prinsip uji acak terkendali—lemah dalam uji 
coba obat atau prosedur medis. 

Selain itu, Sastroasmoro menilai penelitian Terawan bukanlah berbasis studi 
eksperimen nyata, tetapi pra-eksperimen yang berpotensi bias karena bersandar 
pada asumsi. 

Kritik lain disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Teguh AS Ranakusuma Sp.S(K) dalam 
keterangannya pada sidang Majelis. Menurutnya, penelitian Terawan terkait 
clinical biomarker tidak dapat digunakan sebagai terapi atau pengobatan kepada 
pasien stroke. 

Karena itu, Ranakusuma meminta Terawan untuk mengubah judul disertasinya, yang 
semula memakai istilah brainwash menjadi intra arterial heparin flushing 
(IAHF). 




Klaim sang Dokter yang Meragukan
Meski belum melawati uji klinis dan penelitian ilmiah yang memadai, pasien yang 
ditangani oleh Terawan sudah membeludak. Pada 2016, Terawan pernah mengklaim 
ada 30 ribuan pasien yang sudah ditanganinya. Jumlah ini terus meningkat. 
Terakhir, ia bahkan mengklaim lebih dari 40 ribu pasien yang ditanganinya lewat 
metode 'cuci otak' tersebut. 

Angka ini fantastis. Sampai-sampai pada Agustus 2016, Terawan tercatat dalam 
Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk pengerjaan DSA terbanyak. Terawan 
mengakumetodenya itu dikenalkan sejak 2004. 

Dengan klaim 40 ribu pasien selama 13 tahun, artinya dalam sehari ia melakukan 
DSA kepada 8 sampai 9 pasien. Ini jika dikerjakan tanpa libur. Seandainya 
seorang pasien menjalani DSA membutuhkan waktu satu jam, setiap hari Terawan 
bekerja selama 8 sampai 9 jam khusus untuk DSA. 

Baca juga: Menkes Minta Masalah Dokter Terawan Diselesaikan Secara Internal
Klaim lain yang meragukan adalah pengakuan paten yang dia sebut "Terawan 
Theory" dari Jerman. DSA dengan metode Terawan disebut-sebut sudah dipraktikkan 
di sejumlah rumah sakit di Jerman. Salah satu rumah sakit yang disebut 
menggunakan metode "Terawan Theory" adalah Augusta Krankenhaus di Düsseldorfer, 
Jerman. 

Namun, dalam laman layanan medis di situsweb rumah sakit tersebut, kita tak 
menemukan informasi apa pun terkait "Terawan Theory". Di sana hanya ada layanan 
angiografi normal, seperti tes diagnosis untuk kaki, lengan tangan, leher, 
perut, dan pasien yang ingin cuci darah. Tak ada satu pun rujukan yang menyebut 
apa yang disebut layanan 'cuci otak', brainwash, atau heparin flushing. Rumah 
sakit ini pun tak punya departemen neurologi.

Itu berbeda dengan situsweb milik RSPAD Gatot Soebroto, yang mencantumkan DSA 
sebagai salah satu layanan unggulannya. Dengan menampilkan foto doker Terawan 
yang memegang alat medis dan muka menghadap kamera, laman ini menulis bahwa 
layanan medis tersebut "menangani gangguan sirkulasi darah otak pada 
kasusCerebro Vaskular Disease (CVD), memberikan pelayanan komprehensif dan 
holistik dengan menggabungkan multi disiplin ilmu kedokteran (neurologist, 
radiologist, cardiologist dan bidang lainnya) melalui konsultasi dan evaluasi 
para ahli di bidang terkait." 

Nadanya meyakinkan; bahwa jika ada kelainan sirkulasi otak, dokter di layanan 
tersebut "[...] menggunakan alat Digital Substraction Angiography (DSA) yang 
dimodifikasi dengan lntra Arterial Cerebral Flushing." 

Menurut Moh. Hasan Machfoed, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter 
Spesialis Saraf Indonesia, yang juga hadir dalam pemeriksaan etik terhadap 
dokter Terawan, apa yang disebut "modifikasi" pada DSA itu "tidak ada 
manfaatnya"—alias hanya akal-akalan.

"DSA itu sebagai alat diagnosis, namun oleh Dokter Terawan dijual sebagai 
pengobatan stroke. Bahkan, yang lebih celakanya lagi, orang menganggap bisa 
terhindar dari stroke. Rupanya orang dibohongi," ujar Machfoed.

Baca juga artikel terkait KASUS DOKTER TERAWAN atau tulisan menarik lainnyaMawa 
Kresna

(tirto.id - Indepth) 

Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam

Kirim email ke