Oooo, apa baru tahu kalau CIA di belakang kudeta Suharto??? Lantas bagaimana 
anda pernah minta  supaya PKI , Aidit, Lukman dan Nyoto bertanggung jawab atas 
pembantaian, dus menempatkannya sejajar dengan para jenderal???Permintaan 
menggantung Aidit juga keluar dari mulut kawan anda, si Atjong!!! 

    On Sunday, April 15, 2018 6:32 AM, "'Chan CT' sa...@netvigator.com 
[GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com> wrote:
 

      
http://sinarharapan.net/2017/10/dokumen-cia-as-tegaskan-g30s-1965-bukti-kudeta-tni-ad/
 
Dokumen CIA AS Tegaskan G30S 1965 Bukti Kudeta TNI AD
October 19, 2017 Ist SHNet, JAKARTA – Dokumen Central Intelijen Agency Amerika 
Serikat (CIA AS), menegaskan, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI 
AD), memang digunakan sebagai pintu masuk untuk melakukan kudeta terhadap 
Presiden Soekarno, melalui Gerakan 30 September (G30S) 1965.Rilis 
http://nsarchive.gwu.edu/ dan www.bbc.com, menyebutkan, CIA AS memberikan 
dukungan logistik dan persenjataan untuk memuluskan kudeta Panglima Komando 
Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Letjen TNI Soeharto terhadap 
Presiden Soekarno.Hal ini semakin memperkukuh analisis mantan diplomat AS, 
Pater Dale Scoot dan disertasi John Roosa, 1998, dimana G30S 1965, bukti kudeta 
Soeharto yang sepenuhnya didukung CIA AS.Bahkan Greg Poulgrain, seorang 
Indonesianis dari Australia, dalam bukunya yang sudah diterbitkan ke dalam 
Bahasa Indonesia tahun 2017, berjudul: “Bayang-bayang Intervensi Perang Siasat 
John F Kenedy dan Allen Dulles atas Soekarno”Greg Poulgrain menyebutkan, sikap 
Soekarno yang tidak mau menyerahkan konsesi pertambangan emas dan tembaga di 
Papua kepada perusahaan Amerika Serikat, menjadi pemicu langkah CIA 
mendongkelnya dari kursi kepresidenann.Dengan demikian, tudingan G30S 1965 
merupakan bukti pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagaimana 
ditulis Dinas Sejarah TNI AD dan selalu menjadi rujukan di era Pemerintahan 
Presiden Soeharto, 1 Juli 1966 – 21 Mei 1998, dengan sendirinya seratus persen 
terbantahkan.Dalam kabel diplomatik Kedutaan AS untuk Indonesia kepada 
Kementerian Luar Negeri Amerika di Washington tanggal 12 Oktober 1965 
disebutkan bahwa, “Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan 
menjatuhkan Soekarno dan mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat 
memberi tahu soal kemungkinan itu.”Hal ini diungkap dalam dokumen rahasia AS 
tentang penggulingan Presiden Republik Indonesia, Soekarno dan pembantaian 
massal 1965. Jadi pembantaian massal pasca G30S 1965, sepenuhnya tanggungjawab 
TNI AD. AS telah mengetahui skala pembantaian tragedi 1965.Sejumlah dokumen 
kabel diplomatik Amerika soal tragedi 1965 kembali dibuka ke publik oleh 
lembaga nonprofit National Security Archive (NSA), National Declassification 
Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration 
(NARA).Dokumen 1964 – 1968Laporan itu menguak sejumlah surat dari dan ke AS 
ketika pembantaian terjadi. Dokumen yang dibuka adalah 39 dokumen setebal 
30..000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia 
sejak 1964 hingga 1968. Isinya antara lain seputar pertikaian antara tentara 
dengan PKI, termasuk efek selanjutnya berupa pembantaian massal.Dalam telegram 
rahasia itu juga disebutkan, “Jika itu terlaksana, maka itu akan dilakukan 
dengan gerakan yang cepat tanpa peringatan dan Soekarno akan digantikan 
kombinasi junta militer dan sipil.”Dari negara-negara Barat, Angkatan Darat 
mengharapkan bantuan ekonomi berupa makanan dan lainnya..Hal itu terkait 
perkembangan pada 10 Oktober 1965 yang menyebutkan Soekarno menerima pimpinan 
Angkatan Darat di Istana yang memberikan laporan soal keterlibatan PKI pada 
kejadian 30 September 1965.TNI AD Dimarahi SoekarnoSoekarno menolak membaca dan 
memarahi mereka karena menghina PKI. Para jenderal yang tidak disebutkan 
namanya itu kemudian meninggalkan Soekarno dengan rasa jengkel.Sutarto, asisten 
Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani, menyampaikan ke diplomat Amerika perlunya 
mengeksekusi pimpinan PKI dan membunuh Omar Dani yang kala itu menjabat Menteri 
Panglima Angkatan Udara Indonesia. Itu tercatat dalam kabel dari Kedutaan untuk 
Kemenlu tanggal 18 Oktober 1965.Sutarto menyampaikan bahwa gejolak anti-PKI 
sudah merebak di Medan dan Makassar, sementara Jawa Tengah sedang berada dalam 
situasi yang kacau. Aksi-aksi anti-PKI ini dilaporkan dipimpin oleh “Angkatan 
Darat/kelompok Muslim”.“Kita perlu menggantung Aidit, Njoto, dan Lukman di 
Lapangan Banteng guna menunjukkan ke semua orang seperti apa sebenarnya 
mereka,” kata Sutarto dikutip laporan tersebut.Bahkan lebih lanjut Sutarto 
menyebutkan, “Omar Dani harus meletakkan jabatannya atau kita harus membunuh 
dia..” Ada pejabat AU lain yang juga disebut harus dicampakkan, yakni Sri 
Muljono, Suryadarma, dan Abdoerachmat.Data dan fakta ini menguak sebagian tabir 
yang selama ini masih tertutup rapat dalam sejarah Indonesia. Selama ini, 
negara, terutama Tentara Nasional Indonesia, mengelak untuk membicarakan atau 
membuka sejarah kelam tragedi 1965.Fakta yang tersaji dalam dokumen diplomatik 
Amerika ini membantah narasi tunggal yang selalu didegungkan bahwa korban 
pembantaian tragedi 1965 adalah komunis atau mereka yang memang seharusnya 
bertanggung jawab.“Mereka kebingungan dan mengaku tak tahu soal 30 September,” 
tulis laporan diplomatik Kedutaan Besar AS pada 20 November 1965.Kader PKI 
BingungDalam telegram Kedutaan ke Kemenlu 20 November 1965, digambarkan bahwa 
kader-kader PKI kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi, dan tidak tahu 
harus berbuat apa. Informasi didapat diplomat AS dari seorang jurnalis 
Australia yang dapat dipercaya.Si jurnalis disebutkan adalah jurnalis Barat 
pertama yang mengunjungi Jawa Tengah, yakni pada 10 Oktober 1965. “Dia 
berbicara dengan kader-kader PKI di beberapa tempat di Jawa Tengah,” tulis 
laporan itu.Informasi serupa dikonfirmasi Konsuler Politik Kedutaan Yugoslavia 
yang mengatakan terlibat kontak secara rutin dengan aktivis PKI. Si aktivis 
sama sekali tidak panik dan tetap percaya Soekarno akan melindungi 
mereka.“Mereka tidak akan bertindak tanpa perintah Soekarno,” ujar sang 
diplomat. Dokumen itu juga melaporkan, pada 26 November 1965 laporan dari 
Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya menyebutkan terus mendapatkan laporan 
pembantaian di berbagai wilayah di Jawa Timur oleh Ansor. Di Tulungagung 
setidaknya 15.000 komunis dibunuh.“Pembantaian diwarnai dengan Perang Suci 
(jihad): membunuh kafir akan memberi tiket ke surga dan jika darah korban 
diusapkan ke wajah, maka akan lebih terjamin (masuk surga),” tulis laporan 
tersebut.Selain kelompok-kelompok Islam, Angkatan Darat juga mempersenjatai 
pertahanan sipil atau Hansip sebagai kekuatan memerangi PKI. Dalam laporan 
Konsulat Jenderal Amerika di Medan menyebutkan hal itu dilakukan untuk 
meningkatkan peran pengawasan di kota maupun pedesaan.“Ketika ini dilaksanakan, 
rantai komando militer bertambah luas hingga setiap desa yang ada di Sumatera,” 
tulis laporan tersebut. Tak sampai di situ, pemuda yang berusia 8-13 tahun 
diwajibkan ikut Pramuka yang dikontrol tentara. “Secara singkat, Sumatera 
dengan cepat berubah menjadi tanah tentara,” demikian http://nsarchive.gwu.edu/ 
dan www.bbc.com.Permalukan manuver GatotRilis http://nsarchive.gwu.edu/ dan 
www.bbc.com sekaligus mempermalukan manuver  Panglima TNI Gatot Nurmantyo 
(mantan Kepala Staf TNI AD), telah menginstruksikan seluruh anggota TNI memutar 
Film Dokumenter G30S/PKI yang diproduksi tahun 1984 dengan sutradara Arifin C 
Noor.Gatot Nurmanyo berdalih pemutaran Film Dokumentar G30S/PKI mengklaim 
mengingatkan semua pihak, akan keganasan PKI melalui G30S 1965. Istruksi Gatot 
dikeluarkan menjelang Sabtu, 30 September 2017.Tapi ada 4 parameter perlu 
dikritisi film berdurasi 271 menit, layak atau tidak dikategorikan sebagai film 
dokumenter. Pertama, apabila diklaim G30S 1965 sebagai pemberontakan PKI, dalam 
adegan jelas-jelas divisualkan pelaku penculikan dan pembunuhan terhadap 7 
jenderal senior TNI AD, adalah pria berseragam TNI AD, bukan berpakaian 
PKI.Justru CIA AS memanfaatkan konflik internal di lingkungan TNI AD, antara 
kelompok Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letjen TNI Ahmad Yani (kontra PKI) 
dengan Panglima Komando Tempur (Pangkopur) IV/Mandau berkedudukan di 
Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, Brigjen Soepardjo (pro PKI), untuk 
meledakkan G30S 1965, dengan tujuan utama mengkudeta Presiden Soekarno.Kedua, 
belum ada bukti di negara manapun di dunia, kudeta dilakukan sipil. Kudeta 
selalu dilakukan militer terhadap pemerintahan yang sah.Ketiga, divisualkan 
tokoh PKI, yaitu Dipa Nusantara Aidit, sebagai perokok berat. Padahal, 
pengakuan orang dekat dan anak-anaknya, D.N. Aidit sama sekali bukan seorang 
perokok berat.Keempat, peta dalam visual menggambarkan Timor Timur masuk 
wilayah Indonesia, dengan menggambarkan situasi yang terjadi tahun 1965. 
Padahal Timor Timur baru berintegrasi dengan Indonesia tahun 1975 dan memilih 
memisahkan diri melalui referendum tahun 1999.Saat dikonfirmasi rilis 
http://nsarchive.gwu.edu/ dan www.bbc.com, Menteri Pertahanan Republik 
Indonesia yang mantan Kepala Staf TNI AD, Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu, 
menolak memberikan komentar pada malam Bahasa dan Budaya Internasional di 
Pusdiklat Badiklat Kementerian Pertahanan, Pondok Labu, Jakarta Selatan, Rabu, 
18 Oktober 2017.Persepsi politikDari dokumen http://nsarchive.gwu.edu/ dan 
www.bbc.com, semakin menegaskan, materi penulisan di sekitar G30S 1965 diklaim 
bukti pemberontakan PKI garapan Dinas Sejarah TNI AD, bagian dari sebuah 
program pembangunan persepsi politik pemerintahan Presiden Soeharto, 1 Juli 
1966 – 21 Mei 1998.Dalam membangun persepsi politik, selalu dilakukan upaya 
sistematis di dalam meyakinkan masyarakat, dengan mengabaikan dan atau 
memanipulasi fakta sejarah, sehingga Film Dokumentar G30S/PKI, hanya bisa 
dilihat selama era Soeharto, 1966 – 1998, dan menjadi tidak relevan di era 
demokratisasi.Bagi sebuah pemerintahan, membangun sebuah persepsi politik, jauh 
lebih penting dari pada penulisan pelurusan fakta sejarah. Karena penulisan 
pelurusan fakta sejarah, hanya akan membuka borok dan aib pemerintahan yang 
tengah berkuasa.Situasi sudah berubah, dan masyarakat tidak salah kalau 
sekarang meminta pertanggungjawaban TNI AD atas pembunuhan massal pasca G30S 
1965. (Aju)  #yiv6469557492 #yiv6469557492 -- #yiv6469557492ygrp-mkp 
{border:1px solid #d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 
10px;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-mkp hr {border:1px solid 
#d8d8d8;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-mkp #yiv6469557492hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-mkp #yiv6469557492ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-mkp .yiv6469557492ad 
{padding:0 0;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-mkp .yiv6469557492ad p 
{margin:0;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-mkp .yiv6469557492ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-sponsor 
#yiv6469557492ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492ygrp-sponsor #yiv6469557492ygrp-lc #yiv6469557492hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492ygrp-sponsor #yiv6469557492ygrp-lc .yiv6469557492ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv6469557492 #yiv6469557492actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv6469557492
 #yiv6469557492activity span {font-weight:700;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv6469557492 #yiv6469557492activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv6469557492 #yiv6469557492activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv6469557492 #yiv6469557492activity span 
.yiv6469557492underline {text-decoration:underline;}#yiv6469557492 
.yiv6469557492attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv6469557492 .yiv6469557492attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv6469557492 .yiv6469557492attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv6469557492 .yiv6469557492attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv6469557492 .yiv6469557492attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv6469557492 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv6469557492 .yiv6469557492bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv6469557492 
.yiv6469557492bold a {text-decoration:none;}#yiv6469557492 dd.yiv6469557492last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv6469557492 dd.yiv6469557492last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv6469557492 
dd.yiv6469557492last p span.yiv6469557492yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv6469557492 div.yiv6469557492attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv6469557492 div.yiv6469557492attach-table 
{width:400px;}#yiv6469557492 div.yiv6469557492file-title a, #yiv6469557492 
div.yiv6469557492file-title a:active, #yiv6469557492 
div.yiv6469557492file-title a:hover, #yiv6469557492 div.yiv6469557492file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv6469557492 div.yiv6469557492photo-title a, 
#yiv6469557492 div.yiv6469557492photo-title a:active, #yiv6469557492 
div.yiv6469557492photo-title a:hover, #yiv6469557492 
div.yiv6469557492photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv6469557492 
div#yiv6469557492ygrp-mlmsg #yiv6469557492ygrp-msg p a 
span.yiv6469557492yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv6469557492 
.yiv6469557492green {color:#628c2a;}#yiv6469557492 .yiv6469557492MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv6469557492 o {font-size:0;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492photos div {float:left;width:72px;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492photos div div {border:1px solid 
#666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv6469557492
 #yiv6469557492reco-category {font-size:77%;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492reco-desc {font-size:77%;}#yiv6469557492 .yiv6469557492replbq 
{margin:4px;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492ygrp-mlmsg select, #yiv6469557492 input, #yiv6469557492 textarea 
{font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492ygrp-mlmsg pre, #yiv6469557492 code {font:115% 
monospace;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-mlmsg #yiv6469557492logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-msg p a 
{font-family:Verdana;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-msg 
p#yiv6469557492attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492ygrp-reco #yiv6469557492reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-sponsor 
#yiv6469557492ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492ygrp-sponsor #yiv6469557492ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492ygrp-sponsor #yiv6469557492ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-text 
{font-family:Georgia;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv6469557492 #yiv6469557492ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv6469557492 
#yiv6469557492ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv6469557492 

   

Kirim email ke