Apakah anda yang pakai bando itu?

---In GELORA45@yahoogroups.com, <jetaimemucho1@...> wrote :



Kisah Tiongkok Sosialis vs Tiongkok Kapitalis-Imperialis
17 April 2018
   
   - 
   - 
   - 
   - 
Tatiana Lukman (penulis) bersama Sobron Aidit, istri dan tiga kawan lainnya di 
depan hotel dalam salah satu kunjungan di Tiongkok. Tercerminkah wajah 
orang-orang yang “dihukum”, “disiksa” dan “sasaran” RBKP? [Foto: Dokumentasi 
Pribadi]Koran Sulindo – Seorang teman memberi tahu tentang tulisan wartawan 
Irfan Teguh dengan judul Cerpen yang Memicu Perdebatan Lama tentang 
Trotskyisme. Tidak menyangka kritik terhadap cerpen Melarung Bro di Nantalu 
yang saya tulis lebih dari enam bulan lalu menarik perhatian reporter 
Tirto.id.Kudeta merangkak yang disertai pembantaian, penghilangan paksa, 
penyiksaan dan pemenjaraan jutaan rakyat tak berdosa telah menegakkan 
kediktatoran militer fasis Soeharto. Perubahan drastis dalam haluan politik 
negara Indonesia telah membuat ribuan orang Indonesia yang ketika itu ada di 
luar negeri dan setia kepada pemerintah Soekarno tidak bisa pulang ke Tanah 
Air. Sejumlah besar dari mereka kebetulan berada di Tiongkok. Jumlahnya 
bertambah besar dengan kedatangan mereka yang tinggal di Uni Soviet dan 
negeri-negeri Eropa Timur.Sejak pertengahan 60-an, rakyat Tiongkok di bawah 
pimpinan Mao melancarkan Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP). Tesis Mao 
yang mendasari RBKP adalah kontradiksi dan perjuangan kelas masih ada dalam 
periode transisi sosialis yang akan makan waktu panjang. Kemenangan sosialisme 
belum definitif, maka perlu meneruskan revolusi di bawah kondisi kediktaturan 
proletariat.Pengkhianatan kaum revisionis modern Uni Soviet kepada sosialisme 
sejak Kongres Partai Komunis Uni Soviet ke-20, pada 1956, telah membuat rakyat 
berbagai negeri berpaling kepada Tiongkok sebagai sumber inspirasi perjuangan 
melawan neo-kolonialisme dan imperialisme. Klik revisionis modern Khrushchov 
telah mengakhiri peran Uni Soviet sebagai sumber inspirasi dan dukungan bagi 
perjuangan rakyat sedunia untuk pembebasan nasional dan keadilan sosial. Ini 
tercermin dalam sikap Uni Soviet yang tidak mengutuk kudeta militer Soeharto 
1965. Inilah salah satu sebab timbulnya arus orang Indonesia meninggalkan Uni 
Soviet dan negeri Eropa Timur lainnya menuju pusat revolusi dunia ketika itu: 
Peking (Beijing).Selama satu dekade berlangsungnya RBKP, semangat berontak kaum 
muda Tiongkok melawan kaum revisionis di dalam partai dan pemerintah yang 
mengambil jalan kapitalisme telah menginspirasi dan mendorong kaum pemuda di 
berbagai negeri untuk terjun dalam perjuangan mendobrak sistim yang berdasarkan 
pada penghisapan dan penindasan guna membangun hari depan sosialis.Kalau mereka 
yang tidak langsung menyaksikan RBKP saja bisa merasakan pengaruh 
revolusionernya, apa lagi orang-orang asing yang tinggal di Tiongkok. Adalah 
normal kalau gelombang belajar pikiran Mao Zedong juga menyentuh masyarakat 
asing yang tinggal di berbagai kota di Tongkok. Itulah periode yang saya 
gunakan untuk mengenal dan mempelajari karya Mao. Berakhir periode belajar dan 
tidak ada lagi kemungkinan untuk menimba pengetahuan lebih jauh, maka saya 
tinggalkan Tiongkok.Bahaya restorasi kapitalis sudah dicanangkan Mao selama 
RBKP berkobar. Bahaya itu tidak datang dari serangan kaum imperialis, melainkan 
dari dalam Partai Komunis Tiongkok. Mao meninggal 9 September 1976. Kemudian, 6 
Oktober 1976, kudeta dilakukan oleh komplotan Hua Guofeng, Marsekal Ye 
Jianying, Jenderal Wang Dongxing, Li Xiannien dan pejabat tinggi partai dan 
tentara lainnya. Jiang Qing, istri Mao dan anggota politbiro, Zhang Chunqiao, 
wakil perdana menteri, Wang Hongwen, wakil ketua PKT dan Yao Wenyuan, anggota 
politbiro diundang untuk menghadiri rapat politbiro.Ternyata sebuah perangkap 
untuk menangkap keempat pemimpin dan pengikut setia garis revolusioner 
Mao.Segera setelah itu, dimulai gelombang penangkapan dan persekusi terhadap 
hampir semua pengikut Mao yang mencapai puluhan juta. Mereka ditangkap dan 
dianiaya dengan kejam. Ambil contoh di Provinsi Zhejiang, dari 1976 sampai 
1980, semua wakil rakyat yang duduk dalam pimpinan di berbagai tingkat, tak 
perduli dari massa, tentara, kader veteran partai, aktivis akar rumput di tim 
produksi desa menjadi sasaran persekusi dan penangkapan. Aktivis RBKP yang 
ditangkap dan dianiaya mencapai lebih dari empat juta orang. Di wilayah 
Taizhou, hanya di lembaga pemerintah, dua orang ditembak, 11 orang bunuh diri, 
23 orang dijatuhi hukuman penjara, 50 orang dipecat dari partai, 3.200 guru 
dipecat dari pekerjaannya. (The Paris Commune in Shanghai: the Masses, the 
State, and Dynamics of “Continuous Revolution” oleh Hongsheng Jiang)Sejak klik 
revisionis yang dipimpin Deng Xiaoping memegang kekuasaan dalam partai dan 
negara, dimulailah reformasi kapitalis yang setahap demi setahap menghancurkan 
basis ekonomi sosialis yang sudah dibangun rakyat Tiongkok di bawah pimpinan 
Mao. Perubahan watak kelas Partai Komunis tercermin dalam kebijakan dan 
keberpihakannya. PKT di bawah pimpinan Mao adalah partai kelas buruh dengan 
kaum tani sebagai sekutu terpercaya dan terdekat. Mao tidak takut massa 
berdemonstrasi atau buruh mogok, malah mendorong mereka untuk mengeluarkan 
pendapatnya dengan bebas. Mao tidak akan pernah mengizinkan Tentara Pembebasan 
Rakyat menindas aksi protes di lapangan Tiananmen 1989.Sebaliknya, PKT di bawah 
Deng Xiaoping berpihak kepada kaum kapitalis untuk melakukan pengisapan 
terhadap kaum buruh dan kaum pekerja lainnya. Kaum buruh dan kaum tani yang 
berani menuntut hak-haknya, kaum Maois yang mendirikan grup-grup studi 
Marxisme-Leninisme dan Fikiran Mao Zedong mengalami penindasan dan 
persekusi.Orang-orang Indonesia yang mendapat perlindungan pada zaman Mao, 
begitu Deng berkuasa, dihadapkan pada pilihan: kalau ingin terus tinggal di 
Tiongkok, dilarang melakukan kegiatan politik. Kalau masih mau berpolitik, akan 
dibantu untuk meninggalkan Tiongkok. Deng tahu bahwa orang-orang ini tinggal di 
Tiongkok karena pilihan politik, bukannya karena mau berturisme. Deng ingin 
menunjukkan kepada Jenderal fasis Soeharto kesediaannya untuk memulihkan 
hubungan diplomatik melalui tindakan mengusir orang-orang komunis dan progresif 
dari negerinya.Kisah Bro di Cerpen Martin
Sampailah akhirnya kita pada cerita si Bro di cerpen Martin Aleida yang saya 
kritik karena pemutarbalikan fakta dan fitnah terhadap Tiongkok sosialis dan 
Mao Zedong yang telah mengulurkan tangan solidaritasnya kepada orang-orang 
Indonesia yang menentang kudeta militer Soeharto. Bro termasuk mereka yang 
meninggalkan Tiongkok setelah Deng berkuasa. Kalau mau membenci Tiongkok, 
bencilah Tiongkok kapitalis Deng yang telah mengusirnya. Jangan mencampur aduk 
Tiongkok sosialis dengan Tiongkok kapitalis-imperialis!Sejak tinggal di negeri 
Belanda, bergaul dan turut serta dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan 
komunitas Indonesia, perlahan-lahan saya menjadi sadar akan perubahan sikap dan 
pikiran orang-orang yang dulu ideologinya (saya anggap) sudah tinggi dan punya 
kedudukan tertentu dalam organisasinya, dibanding dengan saya yang tidak tahu 
apa-apa.Ketika terjadi pembantaian pada 1965/66, tak terhitung jumlahnya mereka 
yang mengalami penyiksaan kejam di tangan para algojo sadis. Tak heran mereka 
yang tak tahan siksaan akhirnya mengkhianati keyakinan dan kawan-kawannya. 
Ternyata itu tidak terjadi di Indonesia saja. Tanpa mengalami kelaparan, 
kedinginan, atau siksaan, dengan suka rela sementara orang bersedia to sell his 
soul to the devil.Kebohongan seperti yang diceritakan di Melarung Bro di 
Nantalu, saya temukan juga dalam wawancara Agam Wispi yang dimuat majalah 
Tempo. Begini fiksi Agam: ”Kami pergi ke desa-desa menjalani re-edukasi. Kami 
disuruh mengangkat tahi dengan tangan. Banyak yang diserang disentri dan lever. 
Bersama beberapa kelompok saya berontak.”Saya hanya bisa geleng-geleng kepala.. 
Seperti Bro, Agam Wispi juga pernah tinggal satu kompleks dengan saya. Saya 
kenal sekali Agam Wispi. Setiap hari ia selalu datang ke tempat Fransiska 
Fangiday yang tinggal satu gedung dengan saya. Saya senang sekali mendengar 
cerita dan pengalaman mereka dalam perjuangan. Di samping itu masih ada satu 
hal lagi yang mendekatkan kami: musik klasik. Obrolan berhenti kalau Fransiska 
pasang plat Chopin piano concerto Nomor 1. Sekeliling kami terasa sunyi, hanya 
terdengar alunan piano. Sesekali terdengar bisikan tante Siska: “aduuuh, 
manisnya.”Saya jadi bertanya-tanya kapan Agam dipaksa angkat tahi dengan 
tangannya? Siapa yang kena disentri? Tak sekalipun saya dengar ada kawan yang 
kena disentri. Memang di antara orang Indonesia ada yang sakit lever. Tapi 
penyakit itu tidak didapatnya di Tiongkok atau disebabkan karena kerja keras, 
makan kurang dan angkat tahi di Tiongkok. Bisa jadi ditemukan penyakit itu 
ketika sudah di Tiongkok, tapi sebetulnya di Indonesia sudah kena lever, tapi 
tidak ketahuan.Dan itu logis. Mana ada aktivis politik yang makanannya bergizi 
dan hidup sehat? Jangan lupa ketika itu ada orang-orang Indonesia yang memang 
datang ke Tiongkok untuk berobat. Delegasi orang sakit. Bukan hanya sakit 
lever. Ada yang sakit paru-paru, diabetes dan sebagainya. Saya tidak tahu 
penyakit apa saja yang mereka derita.. Yang jelas perhatian tak kurang kepada 
mereka yang sakit. Juga tersedia sanatorium.Kemudian tentang re-edukasi. Apa 
bentuk re-edukasi yang dimaksud Agam? Yang jelas kami sering diundang 
berkunjung ke desa untuk mendengarkan cerita bagaimana kaum tani turut serta 
dalam perjuangan kelas dan belajar Fikiran Mao Zedong. Kemudian diundang nonton 
opera Peking, balet, sendratari, konser piano dengan tema-tema baru yang lahir 
dalam RBKP. Tidak ada paksaan untuk menerima undangan ini. Siapa yang tak 
tertarik, bisa saja tinggal di asrama. Ketika itu sedang terjadi perubahan 
besar untuk merevolusionerkan seni dengan menampilkan buruh, tani dan prajurit 
sebagai tokoh-tokoh utamanya. Mereka bahagia dan bangga dikunjungi orang asing 
yang mendukung Revolusi yang sedang mereka lancarkan. Apakah ini yang dimaksud 
re-edukasi?Agam bicara tentang pemberontakan. Saya tertawa terbahak-bahak 
ketika membaca Agam berontak. Berontak melawan siapa? Ia meninggalkan Tiongkok 
dan tunduk kepada orang-orang revisionis di Republik Demokratik Jerman. 
Padahal, ketika itu, pada umumnya orang Indonesia yang tinggal di Tiongkok 
sangat anti-revisionis, termasuk Agam. Tapi, demi izin tinggal di Jerman Timur, 
ia buang “anti-revisionisnya”. Sementara itu, orang-orang yang anti-revisionis, 
berbondong-bondong pergi ke Tiongkok. Maka itu timbul pertanyaan, Agam berani 
berontak melawan siapa?Semua orang berhak meninggalkan keyakinan dan cita-cita 
yang pernah dianut dan diperjuangkannya. Yang memuakkan dan lebih lanjut 
merendahkan diri mereka sendiri adalah perbuatan menyebar kebohongan, fitnah 
dan pemutarbalikan fakta. Apakah sebuah tindakan terpuji mengejar kemenangan 
sayembara dengan menggunakan penderitaan orang yang dulunya satu barisan? 
Tatiana tidak menarik buat Martin Aleida karena menolak menceritakan kisah 
hidupnya untuk kemudian dijadikan objek guna lebih lanjut mengharumkan namanya. 
[Tatiana Lukman]

Kirim email ke