Yang paling diuntungkan semua orang sudah tahu dan paham Bung Djie. Kita bisa 
bilang bagaikan mengulang cerita Tunggul Ametung dan Ken Arok, Julius Caesar 
dan Brutus. Baik Tunggul Ametung maupun Julius Caesar mati ditangan orang yg 
diangkat dirinya sendiri, orang yg dianggap alat/senjata tetapi kemudian makan 
tuan. 

 Dalam Agresi Militer ke Irian Barat, Soeharto seperti alat/senjata yg 
digunakan Soekarno (dan mungkin juga PKI yg pendukung berat aneksasi Irian 
Barat itu) tetapi berbalik jadi makan tuan yg menggulingkan Soekarno dan 
membasmi/membantai PKI. Soeharto adalah bastard penghianat memang tidak perlu 
diragukan lagi.
 

 Yang mau saya lihat disini justru asal-mula segala malapetaka adalah ambisi 
agresor imperialis Indonesia menganeksasi Irian Barat yg ternyata berakibat 
sedemikian fatal. Seandainya tidak ada agresi militer Irian Barat itu tentu 
Soeharto terus dalam pendidikan dengan karir militer yg mati, tidak akan ada 
pembantaian 500 ribu rakyat Papua, tidak ada pembantaian 3 juta anggota PKI, 
simpatisannya, ataupun bahkan yg tidak berkaitan dgn PKI sama sekali, tidak ada 
pengerukan sumber daya alam.
 

 Mungkin, tanpa agresi Irian Barat itu Indonesia telah menjadi negara maju 
Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kertoraharjo.
 

---In GELORA45@yahoogroups.com, <djiekh@...> wrote :

 Bung Jo, Memang ada cara berpikir untuk mencari kemungkinan siapa di balik 
layar, dengan Qui Bono :
 Cui bono? (/kwiː ˈboʊnoʊ/ https://en.wikipedia.org/wiki/Help:IPA/English), 
literally "to whom is it a benefit?", is a Latin 
https://en.wikipedia.org/wiki/Latin_language phrase related to the 
identification of crime suspects https://en.wikipedia.org/wiki/Suspect, 
expressing a utilitarian https://en.wikipedia.org/wiki/Utilitarian view that 
the perpetrator of a crime https://en.wikipedia.org/wiki/Crime may be found 
among those who have something to gain, chiefly with an eye toward financial 
gain. The party which benefits may not always be obvious or may have 
successfully diverted attention to a scapegoat 
https://en.wikipedia.org/wiki/Scapegoat, for example.[citation needed 
https://en.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Citation_needed] 

 Di peristiwa 30 September 65, siapa paling diuntungkan ? Apa lagi proses2 
kejadiannyanya juga membuktikan itu......
 Salam,
 KH

 
 2018-05-22 4:00 GMT+02:00 jonathangoeij@... mailto:jonathangoeij@... 
[GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com mailto:GELORA45@yahoogroups.com>:
   
 Operasi dengan sandi Mandala tersebut dipimpin Mayjen Soeharto. Melihat 
efektifnya Operasi Mandala dan dukungan kuat Blok Timur terhadap operasi itu, 
Amerika Serikat akhirnya merayu Belanda berunding dan akhirnya menyerahkan 
Papua ke tangan pengawas internasional dari PBB pada Agustus 1962.

 ...
 Sejarah kemudian mencatat, setelah upaya kup gagal pada 1965 dan pembubaran 
PKI yang menyusul, justru pihak-pihak di seberang PKI yang menangguk untung 
dari perebutan Papua yang diklaim atas jasa partai tersebut. Amerika Serikat, 
sang Setan Besar di mata PKI, berhasil memeroleh izin pengelolaan tambang di 
Mimika yang mengalirkan keuntungan berlipat-lipat selama sekian puluh tahun ke 
negeri Paman Sam, juga ke pundi-pundi pemerintahan Orde Baru.

Pengerukan sumber daya yang hingga saat ini masih terus menggoreskan luka di 
Tanah Papua barangkali bakal tetap terjadi, bagaimanapun. Tapi apa mau dikata, 
sudah telanjur tercatat dalam sejarah bahwa sokongan masif PKI terhadap agresi 
militer pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an yang jadi salah satu pembuka 
nelangsa tersebut.

 ...
 PKI dan Agresi Militer Papua 
http://nuranibangsa.com/berita/2017/09/30/182/pki-dan-agresi-militer-papua 
Abdul Aziz 
http://nuranibangsa.com/berita/2017/09/30/182/pki-dan-agresi-militer-papua#   | 
  Politik http://nuranibangsa.com/kategoriberita/politik  |   Sabtu, 30 
September 2017 - 11:20:15 WIB   |  dibaca: 106 kali
 
 
 
 NURANI -- Wartawan legendaris Indonesia Rosihan Anwar (alm) pernah mengenang 
seperti ini. Pada pertengahan 1961, wacana upaya militer pemerintah Indonesia 
guna merebut Papua mengemuka. Saat itu, Presiden Sukarno semacam putus asa 
dengan jalur diplomasi yang tak kunjung berhasil dipakai merebut wilayah yang 
dipanggil pemerintah republik dengan nama
Irian Barat tersebut.

Namun menurut Rosihan, ada satu pihak yang tak sepakat dengan opsi agresi 
militer tersebut: Tentara Nasional Indonesia (TNI). “Dalam soal Irian Barat, 
Gabungan Kepala Staf (GKS) mencapai kesimpulan mereka tidak bersedia melakukan 
perang terhadap Belanda mengenai soal Irian Barat. Kesimpulan ini mereka tulis 
dalam sebuah memorandum yang telah disampaikan kepada Presiden/Panglima 
Tertinggi. Alasannya rupa­rupa,” tulis Rosihan dalam catatan pada 10 Agustus 
1961 yang tercantum dalam bukunya Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 
1961-1965 (terbit 1980).

Menurut Rosihan, secara militer-teknis GKS berpendapat pihak Indonesia belum 
siap berperang. Sebaliknya, Sukarno dan Menteri Luar Negeri Subandrio yang saat 
itu cenderung ke kiri sudah “oorlogszuchtig” alias sudah tak sabar ingin 
berperang dan menginvasi Papua.

Rosihan melanjutkan, bagi dua sekawan tersebut pertimbangan militer-teknis 
tidak berlaku. Pandangan yang berkebalikan dengan pendapat Jenderal Nasution 
yang ia simpulkan dari rerupa kunjungan ke Eropa dan Timur Tengah. Nasution 
mengambil kesimpulan dari kunjungan-kunjungan itu, negara negara Blok Barat 
akan mengambil sikap antagonistis terhadap Indonesia bila serangan militer 
dilancarkan; sedangkan negara-negara Timur Tengah menyatakan tak kuasa menutup 
terusan yang bakal dipakai kapal-kapal tempur negara-negara Barat membalas 
agresi Indonesia ke Papua.

“Demikianlah seraya ke luar pihak Tentara masih tetap berbicara tentang soal 
Irian Barat, keadaan sebenarnya di dalam memperlihatkan hal lain, yakni tidak 
adanya kesediaan untuk berperang mengenai soal Irian Barat,” tulis Rosihan.

Persoalannya, saat itu tentara, utamanya TNI Angkatan Darat (AD), punya 
pengaruh yang harus dibagi dengan kekuatan lainnya, yakni Partai Komunis 
Indonesia (PKI) yang telah berhasil menghimpun jutaan pendukung setelah 
diampuni dosanya dalam pemberontakan di Madiun pada 1948. Dalam soal Papua, PKI 
sudah mendukung upaya dilakukannya agresi
militer sejak pertengahan 1950-an

Pada Kongres Nasional VII (Luar Biasa) yang berlangsung di Jakarta, 7-14 
September 1956, sikap itu masuk dalam program partai. “Perhebat lebih lanjut 
perjuangan pembebasan Irian Barat dengan jalan menyusun kekuatan dalam negeri, 
menggalang semua potensi nasional, memodernisasi perlengkapan AD, ALRI, dan 
AURI dan menarik solidaritas internasional, untuk  menghadapi segala 
kemungkinan,” bunyi simpulan program PKI di bidang hubungan internasional saat 
itu seperti dimuat secara lengkap tabloid Bintang Merah yang terbit selepas 
kongres. Partai-partai lain, tak punya program serupa saat itu.

Sukarno tak menutup mata atas dukungan tersebut. M C Ricklefs dalam Sejarah 
Modern Indonesia (2008) menuliskan, sikap PKI terkait Papua membuat Sukarno 
memasukkan Ketua Umum CC PKI DN Aidit dan agitator Nyoto, keduanya saat itu 
menjabat menteri koordinator, sebagai anggota “Front Nasional untuk 
memperjuangkan Irian Barat”.

Saat itu, PKI juga parpol utama yang berhasil menggelar aksi-aksi massa 
mendukung perebutan Papua. Setimbalnya, tulis Ricklefs, sentimen soal Papua 
digunakan PKI untuk meraih sebanyak mungkin anggota-anggota baru.

Tak hanya soal dukungan massa, sumbangan yang lebih signifikan kaum kiri 
terhadap perebutan Papua terkait persenjataan. Pengaruh PKI dan sikap Sukarno 
yang kian ke kiri membuat Indonesia bisa ke Uni Soviet dan membeli senjata guna 
melancarkan agresi ke Papua saat Amerika Serikat enggan merestui operasi 
perebutan.
 Klaim Aidit: Perjuangan PKI Paling Besar Bebaskan Papua Di antara alutsista 
yang didatangkan dari Soviet guna merebut Papua menurut Sibero Tarigan dalam 
Kisah Heroik Seputar Perjuangan Indonesia Merebut Irian Barat (2014), adalah 41 
helikopter MI-4, sembilan helikopter MI-6, 30 jet tempur MiG-15, 49 pesawat 
buru MiG-17, 10 pesawat buru MiG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MiG-21, satu 
kapal
penjelajah kelas Sverdlov, 22 pesawat pembom Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom 
jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim, 26 pesawat angkut IL-14 
dan AQvia-14, dan enam pesawat angkut berat Antonov An-12B.

Dengan persenjataan tersebut, juga sokongan terus-menerus aksi-aksi massa PKI, 
Presiden Sukarno akhirnya memerintahkan operasi militer yang digelar pada 
Desember 1961. Sedangkan TNI, dengan tambahan alutsista terbaru tak menolak 
perintah.

Operasi dengan sandi Mandala tersebut dipimpin Mayjen Soeharto. Melihat 
efektifnya Operasi Mandala dan dukungan kuat Blok Timur terhadap operasi itu, 
Amerika Serikat akhirnya merayu Belanda berunding dan akhirnya menyerahkan 
Papua ke tangan pengawas internasional dari PBB pada Agustus 1962.

Aidit tak menunda kesempatan menggembar-gemborkan peran PKI dan kaum kiri 
terkait perebutan Papua. Dalam tulisan untuk Pravda, surat kabar CC Partai 
Komunis Uni Soviet pada 13 Oktober 1962, ia memuji kesatuan golongan kiri di 
Tanah Air maupun internasional terkait perebutan Papua Barat.

Terkait perjuangan dalam negeri, Aidit menyatakan bahwa tanpa bantuan nyata 
kubu sosialis, “Kaum imperialis Belanda dan Amerika Serikat tidak pernah akan 
dapat dipaksa untuk menyetujui pemasukan Irian Barat ke dalam kekuasaan 
Republik Indonesia.”

Sementara untuk dukungan dari luar negeri, Aidit menuliskan, “tak dapat 
dibayangkan tanpa bantuan yang sungguh-sungguh tidak mementingkan diri dari 
pihak negeri-negeri Sosialis terutama Uni Soviet. Bantuan tersebut, berupa 
senjata-senjata termodern dan sokongan moral yang sepenuh-penuhnya amat 
meninggikan daya tempur angkatan bersenjata Republik Indonesia sehingga menjadi 
lawan yang sungguh-sungguh ditakuti oleh kaum imperialis.”

Dalam tulisan itu, Aidit juga mengklaim partai menyumbang sukarelawan guna 
bertempur di Papua. “Berjuta-juta pemuda dan pemudi Indonesia mendaftarkan diri 
sebagai sukarelawan untuk dikirim ke daerah front Irian Barat guna merintis 
untuk penancapan kekuasaan Republik Indonesia di Irian Barat,” tulis Aidit 
mengklaim.

Ia juga mendaku, upaya buruh-buruh dalam organisasi sayap PKI mengambil alih 
perkebunan, pabrik, dan tambang yang dikuasai perusahaan Belanda pada Desember 
1957 satu rangkaian dalam upaya perebutan Papua. Pola pikir Aidit dan 
propagandanya sama sekali tak memberikan tempat bagi kemungkinan bagi Papua 
menjadi negara merdeka. Tuntutan kemerdekaan Papua yang sudah disuarakan 
sejumlah anasir di Papua saat itu dipandang Aidit sebagai cara-cara “memelihara 
imperialisme Belanda di Irian Barat dengan meminjam tangan-tangan pribumi.”

Mantra soal peran besar PKI dalam perebutan Papua juga berulang kali dirapalkan 
Aidit. “Perjuangan gagah berani daripada rakyat dan anggota-anggota partai kita 
telah menyebabkan bebasnya Irian Barat dan dicabutnya SOB yang terkutuk itu,” 
kata Aidit dalam pidatonya dalam sidang pleno CC PKI pada 25 Desember 1963.

Sejarah kemudian mencatat, setelah upaya kup gagal pada 1965 dan pembubaran PKI 
yang menyusul, justru pihak-pihak di seberang PKI yang menangguk untung dari 
perebutan Papua yang diklaim atas jasa partai tersebut. Amerika Serikat, sang 
Setan Besar di mata PKI, berhasil memeroleh izin pengelolaan tambang di Mimika 
yang mengalirkan keuntungan berlipat-lipat selama sekian puluh tahun ke negeri 
Paman Sam, juga ke pundi-pundi pemerintahan Orde Baru.

Pengerukan sumber daya yang hingga saat ini masih terus menggoreskan luka di 
Tanah Papua barangkali bakal tetap terjadi, bagaimanapun. Tapi apa mau dikata, 
sudah telanjur tercatat dalam sejarah bahwa sokongan masif PKI terhadap agresi 
militer pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an yang jadi salah satu pembuka 
nelangsa tersebut.
 Sumber: Republika
 

Sumber Berita: http://nuranibangsa. com/berita/2017/09/30/182/pki- 
dan-agresi-militer-papua #ixzz5GBvNab9O 
http://nuranibangsa.com/berita/2017/09/30/182/pki-dan-agresi-militer-papua#ixzz5GBvNab9O
 
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial No Derivatives 
http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/3.0

 

 

 

 
 
 
 
 




 


Kirim email ke