Ayo genjot terus pembangunan!! Sejak Suharto sampai Jokowi, sama sumber 
pembangunannya :utang!!! Kasihan sekali pendukung buta Jokowi yang tak mempu 
melihat bahwa Imperialisme ada dibelakang semua malapetaka ini. Tak mampu 
melihat Imperialisme sama dengan globalisme, free trade,neoliberalisme.... 
Contoh kongkrit, si Wayan kok malah sengsara dengan Pembangunan yang terus 
menggebu-gebu!!
Tak Banyak Pihak Sadar, Bali Terancam Kehabisan Air Tanah Akibat Industri 
Pariwisata

Bali bisa mengalami kerusakan lingkungan dan kekeringan di masa mendatang bila 
massifnya pembangunan infrastruktur turisme tak kunjung dikontrol.

Nelayan mencari rumput laut di tepian pantai dekat lokasi pembangunan resor 
baru Pantai Geger, Nusa Dua, Bali. Foto oleh Olivia Rondonuwu/Reuters..Wayan* 
masih ingat betul seperti apa kehidupan di Bali sebelum hotel dan vila-vila 
mengambil alih Pulau Dewata. Artinya empat dekade lalu, saat sawah-sawah masih 
dianggap berharga karena menghasilkan beras yang dikonsumsi warga, bukan 
sekadar menyediakan pemandangan indah untuk kartu pos.IKLA“Sebelum para 
wisatawan datang, kami sangat menikmati hidup sebagai petani,” ujar Wayan. 
“Dulu, hidup rasanya ringan saja. Kami tak pernah terpikir untuk menjadi orang 
kaya, karena hidup mudah. Kini orang-orang menginginkan lebih. Jadi banyak dari 
kenalan saya stres karena uang.”Dulu saat Wayan masih anak-anak, dia selalu 
diajak bekerja di sawah keluarganya. Bangun pagi dan berkeringat di bawah 
matahari bersama bapaknya. Sawah keluarganya menyediakan hampir segala 
keperluan hidup. Sektor wisata pulau tersebut belum menjamah kampungnya di 
Cemagi, pantai barat Bali. Bahkan di awal 1990-an, Cemagi masih dianggap 
wilayah terpencil pulau dewata. Kini, desa ini menjadi lahan villa senilai Rp13 
miliar ke atas dan properti yang harganya terus meroket.Cemagi terletak 
beberapa kilometer di utara Tanah Lot. Lahan ini belakangan menjadi sorotan 
media, karena munculnya rencana pembangunan resor terbaru hasil kongsi Hary 
Tanoesoedibjo dan rekan bisnisnya, Presiden AS Donald Trump. 
Megaproyek yang ditolak warga setempat karena mencaplok lahan adat ini 
merupakan contoh anyar, bagaimana aliran modal dari luar pulau senantiasa 
mencoba mengkapitalisasi industri wisata Bali—walau penduduk tak lagi 
menginginkannya.
Pariwisata mendominasi 80 persen perekonomian Bali, meski diperkirakan 85 
persennya, sebetulnya dimiliki investor dari luar pulau. Bagi sebagian besar 
warga lokal, seperti Wayan, perkembangan turisme di pulau ini tidak memengaruhi 
hidup ataupun kesejahteraan mereka. Keluarga Wayah telah menjual lahan mereka 
lantaran bertani makin tidak menghasilkan pendapatan memadai. Tak lagi punya 
sawah, Wayan sekarang beralih profesi menjaga vila-vila, hotel, dan resor mewah 
milik sebuah perusahaan besar. Dia bekerja tiga kali lebih lama dibandingkan 
saat bertani dulu untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup di Bali yang terus 
melonjak.“Saat para wisatawan ke sini, semua jadi serba mahal,” ujarnya kepada 
VICE. “Sekarang beli sayur-sayuran dan beras saja sulit, karena orang-orang 
Bali terus menjual lahan mereka. Ada banyak sekali gedung, tapi tidak cukup 
banyak sayur-sayuran di Bali pada saat ini.”Wayan mulai menyadari ada hal lain 
yang hilang di pulau tersebut: air. Para petani Bali pertama kali membangun 
sistem irigasi komunal pada abad ke-9, yang disebut Subak, dulu saat reruntuhan 
Angkor Wat di Kamboja belum dibangun. Selama berabad-abad, petani Bali memiliki 
akses pada air segar untuk mengairi lahan serta untuk diminum. Sekarang, 
anugrah berupa air itu makin menyusut saja. Beberapa tahun belakangan, sudah 
sering diberitakan penduduk di wilayah agraris Bali kesulitan mendapat pasokan 
air minum.“Sebelumnya kami tidak punya masalah dengan air, namun kini saat 
musim kemarau, kami punya masalah,” ujar Wayan pada saya. “Terkadang kami dapat 
air. Terkadang tidak cukup.”Akibatnya petani lokal mulai mencuri air milik 
tetangga desa di kala malam. Wayan bilang, untuk melawan pencurian tersebut, 
sebagian petani tidur di ladang pada malam hari. Situasi sosial macam ini 
merupakan perubahan drastis dari hari-hari di mana air segar merupakan 
kepemilikan komunal dan tak satupun warga yang terpikir mencuri air.Wayan 
mengambil jeda beberapa saat, saat ngobrol bersama saya. Dia memikirkan ke mana 
perginya segala air. “Mungkin karena pemanasan global ya,” ujarnya.Berkat 
ledakan pariwisata Bali bernilai miliaran Rupiah (termasuk proyek Donald Trump 
yang kontroversial), ratusan kuli bangunan perempuan ikut membanting tulang di 
bawah sengatan mentari, walau diupah lebih rendah dibandingkan kuli laki-laki.
Biang kerok sebenarnya ada di hadapan semua orang di Bali: industri pariwisata. 
Sebanyak 65 persen air tanah pulau tersebut diserap bisnis turisme, seperti 
disimpulkan sejumlah penelitian. Berdasarkan penelitian gabungan ini ditemukan 
fakta bahwa di seluruh Pulau Dewata, kamar-kamar hotel dan vila-vila 
mengonsumsi hingga 3.000 liter air tanah setiap harinya.

Hitungan itu belum mencakup air yang digunakan pada kolam-kolam, pemandian 
mubazir hanya buat turis, maraknya proyek pembangunan gedung hotel atau vila 
baru (butuh air untuk mengaduk campuran semen), serta makin membludaknya 
lapangan-lapangan golf—seperti rencana lapangan 18-hole yang dibangun untuk 
resor Trump. Dampaknya sektor wisata mengakibatkan 260 dari 400 sungai di Bali 
mengalami kekeringan selama satu dekade terakhir. Praktik ekstrasi air tanah 
menurunkan pasokan air tanah hingga 60 persen. Sumber air segar terbesar di 
Bali, Danau Buyan, telah menurun 3,5 meter, sementara akuifernya sekarang 
dengan cepat mencapai titik yang tak bisa kembali saat air laut mulai memasuki 
sumber air bersih.Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan, sampai-sampai 
sebagian ahli menyebutnya “krisis air.”“Dampak penyusutan air sangat 
signifikan,” ujar satu peneliti senior asal Bali. “Semakin banyak kita 
mengambil air dari tanah, semakin kita menciptakan celah untuk air laut mengisi 
celah tersebut karena ada tekanan konstan bahwa air laut memasuki 
tanah.”Setelah akuifer Bali terkontaminasi akibat pasokan air yang susut, 
kerusakannya tidak dapat diperbaiki. Kepada VICE, si peneliti minta namanya tak 
disebut karena pernah diancam bakal dibunuh, gara-gara menyinggung isu ini 
sebelumnya. Untunglah masih ada peneliti lain yang masih berani memberi 
pernyataan on the record tentang dampak buruk bisnis pariwisata.“Daerah pesisir 
di mana akuifer terus dieksploitasi, akan mengalami kebocoran air laut ke air 
tanah, yang tidak akan bisa dibalikkan sampai kapanpun. Artinya, kita 
bergantung sepenuhnya pada tanaman-tanaman desalinasi untuk memperbaiki air 
laut untuk pasokan air perumahan, agrikultur dan wisata Bali,” kata Ida Bagus 
Putu Binyana, peneliti dari Politeknik Negeri Bali yang telah bertahun-tahun 
mengkaji topik keseimbangan pasokan air di Pulau Dewata.
Sejauh ini dampak-dampak berkurangnnya pasokan hanya dirasakan langsung oleh 
para petani berdekatan dengan area tursime. Di area-area lain milik para petani 
yang dihubungi VICE melaporkan kehidupan berjalan normal, dengan dua hingga 
tiga hasil panen selama setahun.“Menurut saya, selama lima tahun ke depan 
situasi sawah-sawah akan tetap baik-baik saja,” ujar Ketut Karda, anggota Subak 
Singaraja, yang terletak 8 kilometer dari area wisata, saat dihubungi VICE. Dia 
percaya bahwa situasi sekarang mulai membaik bagi para petani.
Anjuran membuat sumur resapan kini makin banyak bertebaran di kawasan wisata 
Bali. Foto oleh penulis.“Kini, segalanya ditangani dengan baik,” ujarnya. 
“Sebelumnya, tidak ada dukungan dari pemerintah. Kini faktanya, para petani 
bisa mendapatkan pinjaman bank atau dukungan finansial lainnya untuk 
meningkatkan hasil panen mereka.”Hanya saja, karena Bali dibebani target 
menarik tujuh juta wisatawan asing pada 2018, potensi “krisis air” ini akan 
terus berlangsung kecuali pemerintah dan pejabat bidang pariwisata 
memperbaikinya.“Dengan meningkatnya pariwisata, tingkat permukaan air akan 
semakin menurun,” ujar sang peneliti. “Jadi, dalam jangka pendek, air bukan 
masalah. Namun dalam jangka panjang, ini akan menjadi isu yang lebih besar 
karena tingkat permukaan air menurun, dan di banyak area coastal ada intrusi 
air laut.”Sebetulnya ada solusi untuk persoalan air ini. IDEP, lembaga swadaya 
yang membela hak petani mengakses air bersih, menyampaikan bahwa sebuah sistem 
“sumur isi ulang” dapat mengarahkan air bawah tanah hasil hujan buat mengisi 
pasokan air pulau tersebut. Sistem ini memakan biaya hingga US$1 juta—memang 
mahal tapi lebih kecil dibandingkan biaya yang dibutuhkan untuk membangun 
hotel-hotel ini. Tetap saja, harus ada pergerakan oleh pemerintah atau industri 
wisata untuk memulai proyek ini.“Air pada dasarnya gratis jadi tidak ada 
insentif untuk melindungi air dan sebagian besar industri dan pemerintah hanya 
memikirkan jangka pendek saja,” ujar peneliti saat ditanya soal kurangnya 
progres dalam hal “sumur isi ulang” ini.Saya menghubungi Perhimpunan Hotel dan 
Restoran Bali, untuk mengonfirmasi apakah mereka paham telah terjadi penurunan 
sumber air di Bali. Wayan Marta, selaku ketua PHRI setempat, menyampaikan belum 
menerima “informasi formal” apapun terkait kondisi tersebut dari pemerintah. 
Namun dia cepat-cepat menambahkan kalau beberapa LSM sudah memberitahunya bila, 
“krisis air di Bali akan terjadi dalam waktu dekat.”Marta mengakui adanya peran 
sektor wisata dalam “mempercepat” krisis tersebut. “Pertumbuhan pesat 
perkembangan dan populasi yang terus meningkat,” ujarnya. Menuurt Marta, 
“perubahan area hijau menjadi area pembangunan adalah salah satu faktor utama 
yang menurut kami mempercepat datangnya krisis air.”Pihak asosiasi hotel 
rencananya akan mengambil langkah proaktif, dengan “mengimbau” seluruh hotel 
dan bisnis dalam lingkup organisasi agar “mengimplementasi inisiatif-inisiatif 
ramah lingkungan.
“Kami berbagi dan mendiskusikan banyak praktik terbaik dan ide-ide untuk 
mengurangi, menggunakan ulang, dan mendaur ulang air yang dapat 
diimplementasikan langsung di area kami,” ujar Marta dalam balasannya kepada 
VICE melalui surel. “Hal ini termasuk mengganti keran air yang mengeluarkan air 
lebih sedikit, dan memberikan pilihan pada tamu-tamu apakah mereka ingin 
spreinya diganti setiap hari, dan hanya menggunakan mesin pencuci baju dan 
piring saat cucian sudah banyak, dan lain-lain.”
Bagaimanapun, melihat perubahan yang dialami petani di sekitar kawasan wisata, 
tak diragukan lagi bila lanskap alam Bali telah diubah sepenuhnya oleh sektor 
wisata. Melihat dampaknya, perubahan ini belum tentu bagus. Wayan meratapi 
fakta betapa sekarang banyak lahan pertanian ditinggalkan begitu saja oleh 
petani lokal. Wayan menyoroti masa depan bagi warga lain yang tak lagi memiliki 
lahan seperti dirinya.“Saya rasa ini adalah pola pikir yang salah karena lahan 
mereka akan hilang dan mereka tidak akan memiliki apa-aoa lagi di masa depan 
untuk anak cucu mereka,” ujarnya. “Orang-orang Bali akan musnah.”*Wayan adalan 
pseudonim. Dia meminta nama aslinya tidak disebut karena isu ini cukup sensitif 
bagi kelangsungan pekerjaannya.

Kirim email ke