?????????????????????????????

http://mediaindonesia.com/read/detail/166470-lebaran-bercita-rasa-pancasila
*Lebaran Bercita Rasa Pancasila*

Penulis: *Gantyo Koespradono, Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jakarta* Pada: Jumat, 15 Jun 2018, 07:05 WIB Opini
<http://mediaindonesia.com/opini>


<http://www.facebook.com/share.php?u=http://mediaindonesia.com/read/detail/166470-lebaran-bercita-rasa-pancasila>

<http://twitter.com/home/?status=Lebaran%20Bercita%20Rasa%20Pancasila%20http://mediaindonesia.com/read/detail/166470-lebaran-bercita-rasa-pancasila%20via%20@mediaindonesia>

[image: Lebaran Bercita Rasa Pancasila]HARI yang ditunggu-tunggu akhirnya
tiba juga. Hari ini, Jumat (15/6) bertepatan dengan 1 Syawal 1439 Hijriah,
umat muslim di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia, merayakan Idul
Fitri.

Idul Fitri di Indonesia punya keunikan tersendiri, sebab tidak saja
dirayakan oleh umat Islam yang sebelumnya telah menjalani ritual berpuasa,
tetapi juga oleh umat agama-agama lain.


Perjumpaan dengan anggota keluarga, khususnya orang tua di saat Lebaran
memiliki makna dan suka cita yang tidak bisa dinilai dengan uang dan harta
benda.

Lebaran memiliki makna yang universal. Maka wajar jika umat dari agama lain
juga memanfaatkan Idul Fitri untuk mudik bertemu dengan orang tua dan sanak
saudara.

Gereja tempat di mana saya biasa beribadah sejak Minggu (10/6) lalu mulai
lengang. Banyak jemaah yang ikut mudik Lebaran. Saya perkirakan Minggu
(17/6) besok, ruang ibadah akan semakin kosong sebab banyak jemaah yang
mudik.

Harap maklum, komunitas kami umat Kristen, sudah terbiasa dengan perbedaan.
Dalam satu keluarga, ada yang beragama Islam (entah itu bapak, ibu, kakak
atau adik).

Anggota keluarga bapak mertua saya ada yang Islam, Katolik dan Protestan.
Jika Lebaran datang, ibu mertua selalu masak ketupat opor untuk menjamu
tetangga yang muslim.

Ibu kandung saya dulu muslim. Adik kandung saya almarhum bersuamikan
seorang muslim. Anak-anaknya ada yang mengikuti ayah dan ibunya.

Nenek saya dari ibu, dulunya muslim. Entah mengapa ketika usianya sudah
lebih 70 tahun, ia minta dibaptis dan menjadi Kristen. Sebaliknya paman
saya yang Katolik menjadi mualaf.

Di komunitas gereja kami sendiri jika ada yang mualaf, namanya tidak
dicoret dari keanggotaan gereja. Kami menganggap mereka tetap bersaudara
meski berbeda iman.

Berlebaran dalam cita rasa Pancasila memang indah. Perbedaan dalam
persaudaraan seperti inilah yang coba divisualkan oleh lima sutradara dalam
film LIMA. Saling menghormati dan tidak ada pemaksaan kehendak.

Iman sangat pribadi. Kebenaran yang relatif tidak bisa menjadi monopoli
sebuah kelompok, apalagi jika dipaksakan kepada orang lain yang berbeda
keyakinan.

Lebaran yang membahagiakan itu telah tiba. Para pemudik yang sejak beberapa
hari lalu berbondong-bondong meninggalkan Jabodetabek telah sampai ke
kampung halaman. Yang muda sungkem dan cium tangan kepada yang tua. Mereka
saling bermaafan. Duh, indahnya.

Tersiar kabar perjalanan para pemudik ke kampung halaman lancar karena
pemerintah serius membangun infrastruktur, antara lain tol yang terus
mengular.

Kita layak berterima kasih kepada pemerintah. Hebatkah Presiden Joko Widodo
(Jokowi)?

Menurut saya tidak. Biasa-biasa saja. Pasalnya, pemerintah memang
berkewajiban membangun infratruktur, seperti tol, yang oleh pemerintahan
sebelumnya kurang diperhatikan.

Pemerintah sekarang banyak membangun pelabuhan dan bandar udara; terakhir
Presiden Jokowi meresmikan renovasi Bandara Ahmad Yani Semarang.

Hebatkah Jokowi? Juga tidak. Biasa-biasa saja, sebab sudah menjadi
kewajiban pemerintah (negara) untuk memperbaiki pelayanan kepada publik.

Menjelang Idul Fitri, tersiar kabar para ibu rumah tangga tidak mengeluhkan
harga daging sapi, ayam, cabai dan kebutuhan dapur lainnya yang tiba-tiba
naik, sehingga hari ini rendang dan opor ayam plus ketupat nikmat sekali
kita santap.

Berbaik hatikah pemerintah dan Presiden Jokowi? Nggak juga, sebab
pemerintah memang berkewajiban mengelola pasokan barang-barang kebutuhan
pokok, sehingga tidak dikuasai para spekulan yang kerap mempermainkan pasar..

Tapi, kenapa dulu-dulu setiap menjelang Lebaran, harga kebutuhan pokok naik
semua dan mudik ke kampung halaman sarat dengan horor di jalan?

Maaf, kalau Anda mengajukan pertanyaan seperti itu, saya tidak bisa
menjawab. Silakan bertanya kepada orang-orang yang dulu pernah duduk di
pemerintahan sebelum Presiden Jokowi. Pada saat itu saya cuma bisa
prihatin. Pasrah dengan keadaan. Saya tidak tertarik membahas soal-soal
begini.

Saya justru tertarik kepada kritik yang disampaikan putra sang presiden
sebelum Jokowi kepada pemerintahan sekarang. Beberapa hari sebelum Idul
Fitri, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku Komandan Kogasma Partai
Demokrat menyinggung sejumlah persoalan bangsa di era kepemimpinan Presiden
Joko Widodo, termasuk soal revolusi mental, yang menurut AHY, mulai
terlupakan.

Dalam pidatonya, AHY juga menyoroti masalah kekuasaan dalam konteks tata
negara yang dianggap selalu merasa benar. AHY berpendapat negara dan
pemerintah tidak boleh sewenang-wenang menggunakan kekuasaan untuk merampas
kebebasan individu.

Putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono itu mengkritisi program revolusi
mental yang belum dijalankan secara maksimal. Malah, program infrastruktur
yang terus digalakkan selama kepemimpinan Jokowi. Padahal, kata AHY,
pembangunan karakter bangsa itu harus terus dilaksanakan.

Banyak orang, termasuk teman saya berkomentar, sebelum bicara seperti itu,
AHY sebaiknya bertanya dulu kepada bapaknya apa yang sudah dilakukan sang
ayah ketika dua kali menjabat presiden berkait dengan revolusi mental?

"Bukankah Jokowi membuat program revolusi mental lantaran mental manusia
Indonesia sudah rusak karena tidak pernah dipedulikan oleh
presiden-presiden sebelumnya?" kata teman saya.

Maaf, saya tidak sependapat dengan teman saya. Saya menganggap kritik AHY
terlepas serius atau ngawur layak diperhatikan oleh Jokowi di saat kita
merayakan Idul Fitri bercita rasa Pancasila.

Banyak orang bijak mengatakan bahwa Idul Fitri adalah momentum manusia
untuk kembali ke fitrahnya. Momentum bagi manusia yang sebulan berpuasa
untuk hidup baru.

Islam mengajarkan umatnya untuk disiplin, antara lain sembahyang lima
waktu. Selayaknya di saat kita bersuka cita merayakan Lebaran, ke depan
kita berkomitmen untuk lebih menghargai waktu. Bukan sebaliknya sembahyang
lima waktu digunakan untuk mengorupsi waktu dan momentum untuk
bermalas-malasan.

Tempo hari Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa harga racun kalajengking
adalah yang paling mahal di dunia. Tetapi yang jauh lebih mahal dari racun
kalajengking, menurut Jokowi, adalah waktu. Belajar menghargai waktu juga
bagian dari revolusi mental.

Mungkin lantaran itulah mengapa pemerintahan Jokowi ngebut membangun
infrastruktur, sehingga para pemudik tahun ini lebih cepat tiba di kampung
halaman merayakan Lebaran bercita rasa Pancasila, karena pemerintah telah
sukses membangun sedikitnya 568 kilometer tol.

Itu artinya, panjang tol yang dibangun di masa pemerintahan Jokowi yang
baru berumur sekitar tiga tahun jauh melampaui panjang tol yang dibangun
sepanjang 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto ataupun dua periode
pemerintahan SBY.

Untuk diketahui semasa SBY (10 tahun), pemerintahannya hanya mampu
membangun tol sepanjang 212 kilometer. Lho, kok, bisa?

Ah, sudahlah saya tidak akan membahas soal masa lalu. Ketupat, opor,
rendang dan sambal goreng yang dimasak istri sudah matang.

Duh, nikmatnya ikut merayakan Lebaran. Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir
dan batin.(*)
  • [GELORA45] Lebaran Bercita Ra... Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]

Kirim email ke