-------- 轉寄郵件 --------
主旨: [GELORA45] Potensi Politisasi SARA di Balik Wacana Poros Makkah vs
Beijing
日期: Tue, 19 Jun 2018 21:00:28 +0200
從: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45]
<GELORA45@yahoogroups.com>
https://tirto.id/potensi-politisasi-sara-di-balik-wacana-poros-makkah-vs-beijing-cMxw
Potensi Politisasi SARA di Balik
Wacana Poros Makkah vs Beijing
Politikus Gerindra Andre Rosiade bertemu Rizieq Shihab di Makkah, Rabu
(21/3/2018) waktu Arab Saudi. FOTO/Istimewa
<https://tirto.id/potensi-politisasi-sara-di-balik-wacana-poros-makkah-vs-beijing-cMxw>
Politikus Gerindra Andre Rosiade bertemu Rizieq Shihab di
Makkah, Rabu (21/3/2018) waktu Arab Saudi. FOTO/Istimewa
Oleh: Hendra Friana - 19 Juni 2018
/*Dikotomi “Koalisi Makkah” vs “Koalisi Beijing” dinilai makin
menciptakan politik pengucilan dan polarisasi masyarakat.*
/
tirto.id <https://tirto.id/> - Sekretariat Bersama Indonesia yang diisi
tiga parpol, yaitu PKS, PAN, dan Gerindra, berencana membuat garis
pemisah antara koalisi pendukung dan penentang Joko Widodo pada Pilpres
2019. Kali ini istilah yang dipakai adalah poros Makkah dan Beijing.
Pemakaian istilah tersebut disarankan oleh Imam Besar Front Pembala
Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab kepada Sekertaris Jendral Sekber
Indonesia Muhammad Idrus saat mengunjunginya di Makkah. Sebelumnya,
Rizieq mengimbau agar Gerindra, PKS, dan PAN segera merealisasikan
bentuk koalisi yang diberi nama “koalisi umat.”
Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menilai upaya
pembelahan dua kubu ini tak jauh berbeda dari yang dilakukan Ketua Dewan
Kehormatan PAN Amien Rais saat mendikotomikan "Partai Allah" dan "Partai
Setan".
Diksi poros Makkah vs Beijing dipilih lawan politik Jokowi karena
menilai kebijakan pemerintahan Jokowi dianggap cenderung pro Cina.
Menurut Adi, isu ini akan terus dikapitalisasi untuk mengipas-ngipasi
sentimen umat Islam atas kasus penodaan agama yang dilakukan Basuki
Tjahaja Purnama.
Apalagi, kata Adi, pemerintahan Jokowi dituding dengan stereotip anti
"umat Islam" lantaran melakukan—apa yang mereka sebut—“kriminalisasi”
yang menjerat Rizieq Shihab dan beberapa orang lain, yang bernaung di
bawah Persaudaraan Alumni 212, sebuah koalisi politisi yang terbentuk
setelah Pilkada Jakarta 2017.
“Jadi sengaja front ini dibuka oleh Rizieq untuk memisahkan mana
pendukung rezim, mana yang bukan; bahwa umat dengan pemerintah saat ini
tidak bisa disatukan. Seperti ingin menegaskan mana minyak, mana air,”
kata dosen politik UIN Jakarta ini kepada /Tirto/.
Namun, Adi menekankan pilihan konfrontasi tersebut memiliki konsekuensi
mengkhawatirkan, yakni benturan di masyarakat. Sebab, kata Adi, isu yang
dikapitalisasi itu akan cenderung ke arah Suku, Agama, Ras dan Antar
Golongan (SARA).
“Karena masyarakat benar-benar dibelah. Tidak ada proses ketiga yang
meredam seperti di Pilkada [DKI] putaran pertama. Itu salah satu
tantangannya, ditengah pluralitas saat ini,” kata Adi.
Menurut Adi, strategi kubu-kubuan dapat berhasil bila mayoritas
masyarakat merasa tak puas atas kinerja pemerintahan Jokowi-JK.
Sebaliknya, kata Adi, "strategi ini akan blunder jika banyak umat Islam
yang ternyata puas dengan pemerintahan Jokowi."
Baca juga:
* Isu Agama di Balik Ide Koalisi Umat yang Digagas Rizieq Shihab
<https://tirto.id/isu-agama-di-balik-ide-koalisi-umat-yang-digagas-rizieq-shihab-cLS1>
* Di Balik Pertemuan Prabowo-Amien dengan Rizieq Shihab di Makkah
<https://tirto.id/di-balik-pertemuan-prabowo-amien-dengan-rizieq-shihab-di-makkah-cLCG>
Kekhawatiran soal potensi konflik atas munculnya istilah dua poros
tersebut juga disampaikan oleh Sekjen DPP PPP, Arsul Sani. Ia menilai
dikotomi “Koalisi Makkah” versus “Koalisi Beijing” akan memberikan ruang
terciptanya segregasi dan melanggengkan polarisasi masyarakat.
Padahal, menurut Sani, dalam konteks menjaga keutuhan empat konsensus
bernegara, taktik politik pecah-belah seperti itu tidaklah sehat. “Ini
menunjukkan elite politik saat ini mengalami penurunan kualitas
konsensus bernegara dibanding era awal tahun 2000-an,” kata anggota
Komisi III DPR RI tersebut.
Menurut Sani, pada awal reformasi, polarisasi dalam kontestasi politik
masih dalam kategori wajar. “Karena itu, misalnya, istilah yang
dipergunakan adalah koalisi kerakyatan dan koalisi kebangsaan. Mereka
tidak memilih istilah atau nama yang bersifat insinuatif dan berpotensi
menimbulkan perpecahan."
Sementara politikus Partai Gerindra, Andre Rosiade berpendapat
sebaliknya. Ia mengatakan, kekhawatiran soal usulan poros Beijing dan
Makkah tak perlu dibesar-besarkan. Sebab, katanya, hal itu usulan dari
Rizieq Shihab agar koalisi yang sudah terbangun tetap solid.
Lagi pula, kata Andre, alat yang akan dipakai dalam kampanye Pilpres
2019 bukan sentimen SARA, melainkan visi-misi yang sejalan dengan kritik
partainya terhadap pemerintahan Jokowi.
"Program-program, visi-misi, yang akan kami kampanyekan itu terukur dan
merupakan semangat yang dibawa partai-partai dalam Koalisi,” kata Andre
berdalih.
Di samping itu, kata dia, koalisi yang dijalin saat ini masih sangat
cair dan memungkinkan partai-partai baru bergabung, bahkan partai yang
saat ini mendukung pemerintah.
"Jadi jelas, ini hanya agar partai-partai solid. Saran Habib Rizieq
supaya jangan ada poros ketiga, dan saya kira itu sah-sah saja,” katanya.
Baca juga:
* Di Balik Taktik PA 212 Menetapkan Rizieq Sebagai Bakal Capres 2019
<https://tirto.id/di-balik-taktik-pa-212-menetapkan-rizieq-sebagai-bakal-capres-2019-cLtR>
* Mardani Ali Sera: #2019GantiPresiden Berpeluang Dukung Jokowi
<https://tirto.id/mardani-ali-sera-2019gantipresiden-berpeluang-dukung-jokowi-cJYK>
Poros Ketiga Bisa Kurangi Turbulensi
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem),
Titi Anggraini menyayangkan pemakaian istilah poros Beijing dan Makkah
untuk Pilpres 2019. Menurutnya, hal tersebut tidak tepat dan jauh dari
realitas politik di Indonesia.
Titi menilai politik poros-porosan atau kubu-kubuan tidak akan
memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat jika yang
dikapitalisasi adalah sentimen SARA.
“Kalau ingin memisahkan masyarakat secara ideologis, seharusnya
partai-partai ini mengedepankan kampanye-kampanye berupa visi-misi dan
program yang lebih konkret, serta menawarkan perubahan sistem
pemerintahan dan ekonomi yang lebih baik," ucapnya kepada /Tirto./
Selain itu, menurut Titi, upaya pembentukan dua poros dan menutup celah
bagi lahirnya poros ketiga akan membuat partisipasi masyarakat terhadap
pilpres akan berkurang lantaran tidak ada alternatif pemimpin lain.
Padahal, hadirnya calon presiden dari poros politik ketiga, selain bisa
mengurangi turbulensi dan friksi di masyarakat selama masa kampanye,
akan membuat publik punya harapan baru, serta mengimbangi para kandidat
lama yang mungkin dinilai tidak lagi membawa agenda pro rakyat.
"Karena itulah, pada dasarnya, kami berharap muncul calon-calon baru
yang menawarkan alternatif perubahan. Sehingga partisipasi dalam pilpres
meningkat. Potensi masyarakat untuk golput itu dapat berkurang,” kata Titi.
Baca juga artikel terkait PILPRES 2019
<https://tirto.id/q/pilpres-2019-c2Z?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Hendra Friana
<https://tirto.id/author/hendrafriana?utm_source=internal&utm_medium=topauthor>
(tirto.id - Politik)
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
---
此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。
http://www.avg.com