Ilmu gurun pasir hanya berguna untuk hari kemudian tanpa bukti. On Thu, Aug 30, 2018 at 8:15 AM Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com> wrote:
> > > Cerita penggusuran warga tak ada habis-habisnya sejak Suharto fasis > berkuasa di Indonesia. Pada jaman Jokowi, bukannya mereda, tapi malah > bertambah jumlah konflik tanah dan penggusuran...Ini hanya salah satu > dampak dari apa yang dianggap pendukung buta Jokowi sebagai jalan zigzag > dan "menantang angin atau arus" pemerintahan anti-rakyat.... Pingin tahu > apa kata-kata yang bisa diucapkan para pendukung buta itu kepada mereka > yang jadi korban perampasan dan penggusuran....Waraskah atau masuk akalkah > usulan mereka yang mengharapkan warga dan rakyat pada umumnya yang terus > menderita kesewenang-wenangan aparat dan mesin kekuasaan supaya "membantu" > Jokowi....???? > > > > > <https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10212237052110928&set=pcb..10212237052790945&type=3>[image: > Afbeelding kan het volgende bevatten: 1 persoon, staan] > [image: Afbeelding kan het volgende bevatten: een of meer mensen en > tekst] > > DEMI HASRAT UNIVERSITAS KELAS DUNIA, RAKYAT MENDERITA > Wajah seorang perempuan paruh baya yang duduk di kursi roda itu > menatap nanar rumahnya diratakan di depan mata kepalanya sendiri. Ia > sudah tinggal di situ sekira lima puluh tahun. Ibu Siti Aisyah namanya.. Ia > sempat menduduki backhoe karena menolak rumahnya digusur paksa. Melihat > keberanian ibu Aisyah, pengemudi backhoe sempat tak mau melanjutkan, namun > kepolisian memintanya agar jangan takut karena polisi, tentara, dan Satpol > PP akan "mengawal". > Dari pukul 10 pagi, warga Jalan Juanda, Kelurahan Cempaka Putih, > Ciputat sudah membuat barikade di sekitar area eksekusi. Namun apa daya, > mereka sangat kalah jumlah dengan aparat gabungan yang berjumlah tak kurang > dari 500 personil itu. Sempat terjadi ketegangan pada kedua belah pihak. > Sehingga beberapa orang "diamankan" pihak kepolisian karena dianggap > memprovokasi. Tiga di antaranya adalah anak dan menantu ibu Aisyah. Saking > marahnya ia atas perlakuan sewenang-wenang itu, ia mengultimatum akan tidur > di tengah jalan jika eksekusi terus dilanjutkan. Saya dan beberapa kawan > lain tak kuasa menahan amarah dan kesedihan yang sama melihat tindakan > aparat dan kampus saya sendiri yang begitu teganya. > "Ayam aja kalo mau disembelih kita baik-baikin dulu kok, kita elus > dulu, ini sama kita, manusia, kok nggak ada manusiawinya", ungkap ibu > Aisyah lirih. Ketika saya tanyakan apakah pihak UIN atau Kemenag memberikan > ganti rugi, ia menjawab tidak sama sekali. Kurang kejam apa? > Sekitar pukul 9 malam tadi telepon genggam saya berdering. Di seberang > telepon, Pak Mahyuni menanyakan lokasi kami. Ia sudah sampai di tempat yang > sebelumnya kami membuat janji bertemu di sana. Saya katakan kami sedikit > tersasar dan meminta maaf atas keterlambatannya. Sesampainya di lokasi, Pak > Mahyuni dan seorang warga lain menyambut kedatangan kami. Pak Mahyuni > adalah kuasa hukum sekaligus warga Jalan Juanda, Ciputat. Ia adalah salah > seorang yang kemarin "diamankan" pihak kepolisian. Bersama tiga orang > kawan, kedatangan kami malam ini bermaksud untuk menggali lebih jauh duduk > perkaranya sekaligus menyatakan simpati dan solidaritas kami untuk para > warga yang rumahnya sekarang sudah rata dengan tanah. > Perbincangan berjalan mengalir, meski sebelumnya saya merasa Pak > Mahyuni sedikit curiga dengan kami. Wajar saja, memang tak ada satu pun > mahasiswa UIN Jakarta yang kemarin berada di lokasi eksekusi, padahal jarak > antara kampus dan lokasi cuma sepelemparan batu. Tapi kami katakan bahwa > kami tidak punya niat apapun selain ingin membantu sebisa kami, bahkan kami > sendiri kecewa dengan kawan-kawan mahasiswa lain, termasuk DEMA (Dewan > Mahasiswa) yang tidak bersuara apapun terkait ini. Diiringi kebulan asap > rokok, ia menceritakan persoalan dari awal mula. > Pada tahun 1970-an, tujuh orang dari Departemen Agama (Depag, sekarang > Kemenag) datang ke Jakarta (sekarang Ciputat) untuk tugas belajar--waktu > itu UIN masih bernama IAIN. Namun, mereka tidak mendapat rumah tinggal dari > Depag. Dibangunlah dari nol, lahan yang rawa-rawa itu sedikit demi sedikit > menjadi rumah. Akhirnya, pada 1981, YPMII (Yasayasan Pembangunan Madrasah > Islam Ihsan) memberikan surat hibah kepada 7 orang tadi dengan luas tanah > 1.116 meter, dengan syarat mereka memberikan "sumbangan" sebesar 10 ribu > per meter yang bisa dicicil. YPMII ini, dalih Kemenag, termasuk bagian dari > instansi mereka, padahal menurut Pak Mahyuni tidak demikian, YPMII bukan > bagian dari Kemenag. > Penelusuran saya tentang silang pendapat ini bermuara pada satu > skripsi mahasiswa UIN Jakarta yang membahas konflik tanah di sekitar > UIN.[1] Dari sana saya mendapat informasi bahwa ketika tahun 1977 terjadi > dualisme di dalam tubuh Depag. YPMII yang didirikan tahun 1957 memang > independen, tidak bernaung di bawah Depag. Namun kemudian berdiri YPMII > tandingan tahun 1978 yang menyerahkan semua aset-asetnya kepada Depag > karena YPMII dibubarkan Depag. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Pak > Mahyuni, "Sekitar tahun 1977 atau 1978 Ketua YPMII dikenakan pidana, > dipenjara 8 bulan. Seluruh kekayaan, aset-aset YPMII, harus dikembalikan > kepada pembeli (warga)." > Artinya, saat itu YPMII seolah-olah sudah bernaung di bawah Depag. > Sehingga pihak UIN--yang bernaung di bawah Kemenag--menjadikan ini sebagai > landasan bagi banyak sengketa lahannya. Yakni, bahwa tanah-tanah yang > ditempati orang-orang yang dihibahkan YPMII harus mengembalikannya ke > Kemenag. Konflik ini terjadi tidak sekali-dua kali, yang cukup panas > terjadi kemarin lusa dan pada 2012 silam. Kemudian Pak Mahyuni menuturkan > bahwa Wakil Ketua YPMII, Syarief Sugirwo, pada 1994 dipenjara karena kasus > korupsi. Ia divonis dua tahun penjara, sampai akhirnya meninggal di dalam > sana. Putusan sidang atas kasus korupsi itu adalah pengembalian aset-aset > YPMII kepada negara. Namun, putusan tahun 1994 itu tidak ada di dalam situs > resmi kejaksaan. Ia juga mengonfirmasi itu kepada salah satu jaksa. > "Sebenernya ini, kan masalah pidana Sugirwo, kenapa masyarakat yang > kena imbasnya?" katanya. Memang jika ditelusuri akar masalahnya, ini adalah > konflik YPMII dengan Kemenag yang sudah terjadi dari tahun 1977. Namun, > sekali lagi, warga hanyalah korban dari konflik ini. > Apa yang terjadi pada warga Jalan Juanda ini dialami pula oleh warga > lain yang kini juga sudah tergusur. Polanya sama: UIN mengklaim tanah yang > ditempati itu milik negara, bukan milik warga. Terdengar cukup familiar > seperti kasus-kasus penggusuran lain, bukan? Seperti yang dialami oleh Ibu > Tanjung, misalnya. Rumahnya yang terletak di Jalan Kertamukti, Pisangan, > Ciputat dieksekusi pada November tahun lalu. Dilansir dari LPM Institut, ia > juga mendapat tanah itu dari hibah YPMII pada 1981 karena sumbangsihnya > yang telah bekerja di UIN Jakarta selama 28 tahun. [2] Surat hibah > diberikan oleh Syarief Sugirwo selaku Wakil Ketua. Ia tidak menempati tanah > itu secara ilegal, setiap tahun pun membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). > Tapi naas, semua itu tak berarti apa-apa karena tempat tinggalnya tetap > saja dibongkar dan digusur. Maka, alasan yang dipakai pihak Kemenag dan UIN > bahwa warga menempati tanah secara ilegal adalah klaim menyesatkan. > Pak Mahyuni juga menerangkan bahwa terjadi kejanggalan dari tahun 2007 > sampai 2011. Ketika itu pihak UIN bermaksud mendirikan koperasi di Jalan > Juanda. Namun, anehnya, UIN menyewa tanah itu dari warga. Ujarnya, "Kalau > memang tanah itu punya negara, Kemenag, kenapa UIN harus menyewa? Saya > masih ada bukti akta notarisnya. Tapi alasan UIN itu ulah oknum. Masak > selama empat tahun itu nggak ada yang sadar? Nggak masuk akal." > Kejanggalan demi kejanggalan terus terjadi. Saat eksekusi Selasa > kemarin, ia mengatakan bahwa eksekusi dilakukan tanpa menghormati hukum. > Pasalnya, warga sedang mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri > Jakarta Selatan. Namun pihak Kemenag dan UIN tak mau tahu. Juga, Surat > Peringatan (SP) dipenuhi keanehan. SP I oleh Kejaksaan Tangerang pada bulan > Maret dilayangkan kepada warga, namun isinya aneh, yakni luas tanah di > dalam SP I itu tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pak Mahyuni dan > warga kemudian mengajukan gugatan pada bulan yang sama. Kemudian datang SP > II pada bulan Juli. Juga sama anehnya. Tidak ada nomor surat. SP III pada > bulan Agustus pun tidak ada nomor suratnya. Ketika keluar SP III inilah > warga menolak eksekusi sampai ada kekuatan hukum tetap. Sebelum eksekusi > Selasa kemarin, memang sudah ada desas-desus bahwa eksekusi akan dilakukan > pada 24 Agustus. Desas-desus ini meresahkan warga, termasuk ibu Aisyah.. > Puluhan warga kemudian melakukan aksi damai di depan UIN. > Saya teringat, kemarin lusa ketika saya dan kawan-kawan berada di > lokasi eksekusi, seorang warga berkata bahwa pihak Kemenag sama sekali > tidak pernah datang ke pengadilan. Dikuatkan oleh informasi Pak Mahyuni, > bahwa memang dari beberapa kali sidang mereka tidak datang. Sidang ketiga > datang satu orang, katanya, tapi membawa surat tugas, bukan surat kuasa. > Ketika saya tanyakan, langkah apa yang akan diambil ke depan, ia dengan > sedikit emosi berkata bahwa kalau pihak UIN dan Kemenag masih memakai > kacamata kuda, tidak mau berunding baik-baik dengan kami, maka warga akan > bertempur sampai akhir. > Sebenarnya warga tidak berkeberatan. Ungkap Pak Mahyuni, "Kalau mau > dipakai untuk pendidikan, silakan, kami tidak ada masalah. Tapi tolong > selesaikan ini dengan cara yang baik dan benar, tidak begini. Kami punya > tiga tuntutan: ganti rugi; minta waktu pengosongan; dan pernyataan dari > Kemenag dan UIN bahwa tanah yang dipakai nanti hanya untuk pendidikan, > bukan untuk bisnis." > Sayangnya tuntutan kedua itu sudah mustahil dilakukan karena rumah > warga sudah rata dengan tanah. Jangankan meminta waktu pengosongan, kemarin > pun backhoe hampir menggaruk rumah yang masih ada warga di dalamnya. > Mungkin kalau warga tidak berteriak agar backhoe berhenti, sudah jatuh > korban. Pak Mahyuni dan warga menduga kuat polisi tidak netral ketika > eksekusi kemarin. "Kita ada buktinya, kok, sedang dikumpulkan", ujarnya. Ia > juga amat menyayangkan kenapa Kemenag dan UIN begitu teganya kepada > orang-orang yang telah mengabdi di kedua instansi itu. > Untuk memahami kasus penggusuran ini kita harus membacanya melalui > pendekatan berbeda. Pendekatan hukum tetap penting, namun ada yang juga > mendesak. Jika kita masuk ke dalam gedung rektorat, kita akan disambut oleh > maket berupa desain (masterplan) UIN Jakarta untuk menjadi World Class > University (WCU) yang ditargetkan dari tahun 2012 sampai 2026. Desain itu > menggasak hampir seluruh area penduduk di sekitar UIN. Artinya, ke depan > akan lebih banyak lagi penggusuran serupa demi hasrat ambisius ini. Karena > klaim UIN adalah tanah yang ditempati warga itu berada di dalam area > kampus. Imron (2016) menyatakan bahwa warga merasa klaim sepihak itu > janggal karena kenyataannya lokasi tanah mereka dengan area kampus tidak > satu, dipisah oleh jalan propinsi. > Pada bulan Juli lalu, Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada mengatakan, > "Menjadi WCU merupakan mandatori menteri yang diberikan kepada lima PTIN, > termasuk UIN Jakarta. Namun, baru UIN Jakarta yang saat ini sudah on track > dan terus berusaha mengejar cita-cita tersebut." Lanjutnya, ia mengatakan > bahwa untuk mencapai WCU ini langkah-langkahnya adalah memperbanyak sitasi > dan mahasiswa asing. [3] > Edi Subkhan (2010) menulis bahwa definisi World Class University > sendiri tidak jelas. Tolak ukur yang digunakan, tulisnya, mengutip Levin, > Jeong dan Ou, ada dua belas macam. Namun, menurutnya, intinya WCU adalah > mekanisme pemeringkatan dalam skala internasional, yang mana di Indonesia > ada 3 jenis pemeringkatan internasional yang banyak dipakai: THE (Times > Higher Education), QS (Quacquarelly Symonds), dan Webometrics. Masih > menurut Subkhan, dengan keinginan pendidikan tinggi Indonesia untuk menjadi > WCU, maka praktis institusi pendidikan telah tunduk di bawah dikte > perusahaan penerbitan dan lembaga penelitian. Apalagi honor besar yang > didapat kampus jika jurnal diterbitkan oleh lembaga-lembaga asing tersebut > merupakan perwujudan nalar korporasi. Henry Giroux (dalam Subkhan, 2010) > menyatakan: > "Dalam universitas bernalar korporasi, kerja akademik kini dinilai > berdasarkan berapa banyak uang yang didapatkan ketimbang kualitas > pendidikan yang ditawarkan kepada studen. Begitu universitas dianeksasi > oleh kepentingan pertahanan, korporasi, dan keamanan nasional, maka > pendidikan kritis akan digantikan oleh riset untuk teknologi persenjataan > atau profit. Seperti halnya intelektual swasta kini menggantikan > intelektual publik, dan intelektual humas kini menggantikan intelektual > yang terlibat dalam kultur yang lebih luas." > Apa yang dikatakan Giroux sejalan dengan Alex Callinicos yang melihat > bagaimana manajemen kampus berganti ke arah business entrepreneurial dan > sangat terpusat. Hubungan antara kampus dan korporasi bisnis dibangun, > bahkan logika korporasi terinternalisasi ke dalam kampus itu sendiri; > kepentingan edukasi tersubordinasi di bawah kepentingan akumulasi profit. > Maka, ungkapan "kampus rasa pabrik" bukan isapan jempol belaka. > UIN Jakarta, seperti disampaikan Dede Rosyada di atas, kian bergerak > ke arah yang ditulis Giroux. Swastanisasi di dalam > kampus telah terjadi dengan masuknya GB Parking. Uang Kuliah Tunggal > (UKT) yang bermasalah itu pun juga kini sudah diterapkan. Lalu mengapa UIN > begitu berhasrat meraih status WCU? Dengan nalar korporasi, jawabnya mudah: > ketiadaan subsidi pemerintah karena diberlakukannya otonomi keuangan kampus > memaksa UIN untuk mencari pemasukannya sendiri. Bukan tak mungkin, setelah > GB Parking, nantinya akan ada Starbucks di dalam UIN. > Dan WCU adalah brand yang sangat bisa menarik perhatian para calon > mahasiswa dan orangtuanya. Tentu sasarannya bukan mereka yang tak punya > duit, meski UUD mengamanatkan semua warga negara berhak mendapat pendidikan > layak. Untuk menarik perhatian itulah kampus harus diperluas, gedung harus > diperbanyak dan dipercantik, meski masyarakat sekitar menjadi korbannya. > Bukan hanya membangun gedung, kampus nantinya juga harus membuka tangan > lebar-lebar bagi swasta yang ingin menanamkan modalnya juga; bisnis. Maka > tak heran jika Pak Mahyuni berkata demikian tadi. Pemasukan ini nantinya > digunakan kampus untuk kerja-kerja sivitas akademika yang menopang > paradigma neoliberalisme; menghamba pada pasar, tentunya. Lihat saja > kasus-kasus serupa di mana intelektual > kampus justru berpihak pada korporasi dibanding rakyat. > WCU ini tentu segendang-sepenarian dengan liberalisasi pendidikan di > Perguruan Tinggi. Pada 2009, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 9 Tahun > 2009 tentang Badan Pendidikan Hukum (BHP). Tak hilang akal, pemerintah > mengesahkan UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UUPT) yang > diklaim untuk 'memulihkan kondisi perguruan tinggi, terutama pendidikan > tinggi yang telah memiliki otonomi.' Padahal, pembatalan UU BHP oleh MK > adalah karena UUD 1945 tidak menghendaki otonomi pengelolaan pendidikan. > Apa yang melatarbelakangi UU dan UU sebelumnya adalah penandatanganan > General Agreement on Trade Services (GATS) oleh pemerintah Indonesia pada > Mei 2005. Dalam perjanjian itu, ada 12 sektor yang diliberalisasi, salah > satunya pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat. Jadi memang apa yang > terjadi hari ini telah terstruktur sedemikian rupa. > Bagi kami sederhana saja, tak usahlah Tridharma Perguruan Tinggi yang > poin tentang pengabdian masyarakatnya itu diputar terus seperti kaset kusut > jika kenyataan berbicara lain. Kalau relasi dengan masyarakat sekitar saja > tak harmonis, kalau tembok dan menara gading kampus sudah semakin tebal dan > tinggi, maka jangan harap kampus akan berpihak pada rakyat tertindas. Di > ujung pembicaraan kami dengan Pak Mahyuni tadi, ia sampaikan bahwa jangan > salahkan warga bila azab menimpa UIN karena mereka tak mau peduli dan gelap > mata. > Kami sadar bahwa jika ini didiamkan terus-menerus azab yang dikatakan > Pak Mahyuni itu betul-betul datang, tapi bukan kepada kampus, melainkan > kepada masyarakat luas berupa penampakan backhoe dan buldozer yang berjejer > di depan pintu rumahnya. > Tak ada cara lain, ini harus dilawan! > --------------------------------------------------------- > [1] Ali Imron, 2016, Konflik Tanah: Studi Atas Konflik Tanah Dalam > Perumahan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta > [2] http://www.lpminstitut.com/2018/06/lagi-tergusur.html > [3] http://www.uinjkt.ac.id/id/kenapa-harus-wcu/ > Bacaan terkait: > Edi Subkhan, 2010, Mempertanyakan Orientasi World Class University > > >