Belakangan ini memang beredar banyak tulisan yang menghibur. Ada yang bergaya 
fiksi, ada yang malu-malu kucing menutupi maksud sebenarnya. Lucu-lucu. Dan 
cuma menghibur.
Pertanyaannya adalah, kenapa tulisan-tulisan yang menghibur begitu baru muncul 
dekat-dekat musim pemilu? Susah-payah melucu hanya untuk membangkitkan 
optimisme meledek pesaing. Apa tidak ada optimisme beneran yang layak 
dibeberkan terus-menerus di antara 2 pemilu?
Jadi ya sayang memang kreativitas essai ini (karya Heru?) malah jeblos sebatas 
pelipur lara juga. Tukang obat juga. Sekalipun aktualitasnya nyerempet bulan 
berserjarah tetapi muatannya terlalu ketara hanya pembusukan lawan, bukan 
pemupukan optimisme yang berguna untuk semua. Kawan maupun lawan.
Pembusukan lawan itu biarlah menjadi urusan Jokowi cs. Toh hampir di setiap 
blusukan dia senang menyisipkan curhat, "saya bukan PKI!" dalam pidatonya. 
Kapan pun, tidak hanya di bulan tertentu. Seolah berkeras menghibur..... siapa??
--- lusi_d@... wrote:


Para Sahabat yb.

Untuk santapan rohani di akhir minggu, saya teruskan kiriman essai yang
indah ini dari salah seorang sahabat. Tapi sayang di laman saya siapa
pengirim dan penciptanya terhapus semua. Kalau ada sahabat yang sudah
membacanya dan tahu tolong kirimkan pada saya. Terimakasih sebelumnya.

Salam. Lusi.-

PKI, PKI, PKI: Tukang Obat Tahunan Datang Lagi

September sudah sampai di penghujung. Tukang obat tahunan datang lagi.
Di mana-mana mereka akan muncul dengan lagu dagang yang sama: “PKI,
PKI, PKI!”. Besar atau kecil, tua atau muda, perempuan atau laki-laki,
semua orang mendengar lagu itu ke itu saja, berulang kali, entah kapan
berganti. 

Namanya juga orang lagi jualan, tentu tak bisa dilarang. “Yang penting
usaha dulu, Tuan,” barangkali akan begitu katanya. Tapi, masalahnya,
ada yang sering lupa bahwa tukang obat itu sedang jualan dan kisahnya
hanya bualan. Alih-alih memahami apa yang mereka katakan sebagai lagu
dagang belaka, ada yang justru mempercayai bahwa kisah bualan yang
mereka bawa ke mana-mana itu selayaknya “wahyu Tuhan”. Tukang obat
tahunan tak ubahnya seperti “nabi akhir zaman”. 

Tukang obat itu, sebenarnya, utusan dari masa lalu. Syahdan, di sebuah
kerajaan bernama Orde Baru, bertahtalah seorang raja yang suka senyum
pada rakyatnya. Tak hanya orang kerajaan, rakyat pun banyak yang
menghormatinya dengan cara "menjilat pantat serta kemaluannya". 

Raja itu bernama Soeharto Raja Sekalian Alam. Raja tersebut berkuasa,
baik di alam nyata ataupun di alam mimpi. Semasa raja tersebut
memerintah, rakyat tidak boleh bermimpi kecuali sesuai mimpi yang sudah
diatur kerajaan. Loh, kan kita tak bisa menentukan mau mimpi apa? Ya,
benar. Tapi pasukan kerajaan urusan pemimpian tidak peduli. Pokoknya,
kalau kita bermimpi di luar ketentuan kerajaan, maka siap-siaplah
ditangkap dan dibuang ke kandang buaya. 

Sebegitu sialkah nasip para pemimpi? Ya, benar. Hidup di zaman kerajaan
Orde Baru memang untung-untungan. Kalau lagi mujur, selamat dari mulut
buaya. Kalau lagi sial, silakan berkemas sebelum lenyap dalam waktu
singkat. 

Untuk pemuas rasa ingin tahu, inilah sekadar satu contoh dari seribu
satu contoh yang ada. Pada suatu hari, terdapatlah seorang anak manusia
yang bermimpi bahwa kerajaan akan segera runtuh. Ia menceritakan
perihal mimpi tersebut kepada handai-taulan semuanya. Sampai akhirnya
ihwal mimpi itu terdengar ke istana. Raja merasa terganggu, apalagi
mimpi serupa itu bukan pertamakalinya terdengar olehnya. 

Sebagaimana yang gampang dikira, anak manusia itu lenyap oleh pasukan
bunga mawar yang langsung diperintah kerajaan. Begitulah kiranya
Soeharto Raja Sekalian Alam menguasai rakyatnya, lahir dan batin, jiwa
dan raga, hidup ataupun mati. 

Nah, tukang obat yang sedari tadi kita sebut-sebut, sesungguhnya adalah
pasukan khusus yang diperintah agar tidak ada yang berani menganggu
kekuasaan raja. Tugas mereka berbeda dari tugas pasukan pembunuh, tapi
sama pentingnya. Mereka hanya menciptakan rasa takut yang
sejadi-jadinya. 

“PKI, PKI, PKI,” begitulah mereka bersorak ke segala penjuru negeri dan
kerajaan memberikan mereka sekeping dua keping emas sebagai balas jasa.
Dan, jangan salah-salah, ketika rakyat sudah menderita ketakutan yang
tiada tara, saat itulah sesungguhnya tugas utama mereka dimulai, yaitu
menawarkan obat-obatan, penyembuh rasa takut, yang tiada duanya. Konon,
segala ramuan yang mereka bawa, meskipun berbeda aroma, campuran,
hingga botolnya, khasiatnya cuma satu belaka: mengubah otak siapa saja
yang meminumnya menjadi kotoran kuda. Kalau sudah terminum ramuan
mujarab tersebut, semua yang dikatakan raja adalah kebenaran yang tak
terbantahkan. Jangankan bermimpi, untuk membedakan tangan kanan dan
tangan kiri saja tak akan ada yang sanggup. 

Bila masih saja ada rakyat kerajaan itu yang bisa bermimpi, maka
pasukan khusus lainnya yang menangkap dan melemparkannya ke serikat
buaya lapar. Biasanya, bila ada rakyat yang masih keras hatinya dan
masih bersitahan untuk terus berpikir, tak manjur terkena obat mujarab
itu. Dan orang-orang itulah, yang satu demi satu, diburu pasukan
kerajaan tersebut, sampai ke mana pun. Ini bukan lagi menjadi urusan
tukang obat. 

Akhirnya, tak diduga, sebagaimana mimpi banyak orang yang sudah mati
dimakan buaya, kerajaan Orde Baru runtuh juga. Banyak tukang obat yang
kelimpungan, tak tentu arah, tak lagi punya pekerjaan. Ibarat
layang-layang, para tukang obat itu hanya bisa mengikuti ke mana angin
kencang saja. 

Ketika raja sudah berganti, karena tak punya keahlian lain, akhirnya
para tukang obat itu hanya jadi tukang sorak saja. Apa yang sedang
ramai dibahas di tengah rakyat, maka itu pula yang dibicarakannya.
Begitu nasib tukang obat akhirnya untuk bertahan hidup.

Tapi, ternyata, semua itu hanya sementara. Tukang obat itu berkembang
biak dengan cepat seperti penyakit kurap. Pelan-pelan mereka mendapat
wilayah untuk berkuasa. Para tukang obat itu menyusup ke berbagai
tempat agar bisa mengambil alih kekuasaan dari segala penjuru. Kini
para tukang obat berkehendak menguasai negeri. 

Namanya tukang obat, warisan yang mereka punya memang hanya lagu dagang
saja. Ketika kekuasaan hampir segera mereka raih, ternyata mereka baru
sadar bahwa generasi terus berkembang dan kepandaian generasi itu
semakin tak terkalahkan. Tukang obat jadi cemas. Mereka tahu bahwa
mereka tak punya apa-apa. Isi kepala mereka lebih banyak lumpur hitam.
Secuil otak yang tersisa pun hanya mampu berpikir untuk jualan obat. 

“PKI, PKI, PKI!” Akhirnya kalimat itu kembali diteriakkan. Mereka
muncul dari berbagai penjuru negeri dan meneriakkan kalimat itu di
mana-mana. Tentu, ada juga rakyat yang terpengaruh olehnya. Bahkan
siapa saja yang pernah "menjilat pantat dan kemaluan" Raja Soeharto,
turut membantu para tukang obat itu meneriakkan “PKI, PKI, PKI!”. 

Para tukang obat dan para pendukungnya terus meneriakkan kalimat itu.
Mereka berharap negeri ini ditimpa ketakutan dan kemudian terjadi
kekacauan. Dari pagi sampai malam, mereka teriakkan kalimat itu
terus-menerus. 

Sudah setiap hari, selama bertahun-tahun, para tukang obat meneriakkan
kepandaian lama mereka, tapi negeri tak kunjung kacau. Mereka sudah
mencari cara lain agar bisa menguasai kembali negeri ini, tetapi tetap
saja berujung kegagalan. Mereka sudah kabarkan ke semua pelosok negeri
bahwa ada berjuta-juta orang PKI akan melakukan kudeta, tapi tetap saja
lebih banyak rakyat menganggap itu sebagai mimpi di siang bolong. 

“Istirahatlah Tuan, sepertinya Anda terlalu lelah,” begitu orang
berkata. Para tukang obat benar-benar kehabisan cara. 

Tapi, tampaknya, mereka tak pernah menyerah. Sesekali, antara sayup dan
sampai, kalimat “PKI, PKI, PKI” terdengar juga. Untung saja generasi
hari ini akhirnya menyadari bahwa para tukang obat Orde Baru itu hanya
lapar saja. 

Maka, setiap kali tukang obat itu menggonggong, mereka cukup
melemparkan tulang, lantas tukang obat pun diam beberapa saat. “PKI,
PKI, PKI,” tukang obat itu menggonggong lagi, sebuah tulang pun
dilemparkan kepada mereka. “PKI, PKI, PKI,” begitu seterusnya, sampai
hari pun kiamat. 

Kamis 27 September 2018 - 11:37





#yiv6224543316 -- #yiv6224543316ygrp-mkp {border:1px solid 
#d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316ygrp-mkp #yiv6224543316hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-mkp #yiv6224543316ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-mkp .yiv6224543316ad 
{padding:0 0;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-mkp .yiv6224543316ad p 
{margin:0;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-mkp .yiv6224543316ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-sponsor 
#yiv6224543316ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316ygrp-sponsor #yiv6224543316ygrp-lc #yiv6224543316hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316ygrp-sponsor #yiv6224543316ygrp-lc .yiv6224543316ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv6224543316 #yiv6224543316actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv6224543316
 #yiv6224543316activity span {font-weight:700;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv6224543316  #yiv6224543316activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv6224543316 #yiv6224543316activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv6224543316 #yiv6224543316activity span 
.yiv6224543316underline {text-decoration:underline;}#yiv6224543316 
.yiv6224543316attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv6224543316 .yiv6224543316attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv6224543316 .yiv6224543316attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv6224543316 .yiv6224543316attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv6224543316 .yiv6224543316attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv6224543316 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv6224543316 .yiv6224543316bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv6224543316 
.yiv6224543316bold a {text-decoration:none;}#yiv6224543316 dd.yiv6224543316last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv6224543316 dd.yiv6224543316last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv6224543316 
dd.yiv6224543316last p span.yiv6224543316yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv6224543316 div.yiv6224543316attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv6224543316 div.yiv6224543316attach-table 
{width:400px;}#yiv6224543316 div.yiv6224543316file-title a, #yiv6224543316 
div.yiv6224543316file-title a:active, #yiv6224543316 
div.yiv6224543316file-title a:hover, #yiv6224543316 div.yiv6224543316file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv6224543316 div.yiv6224543316photo-title a, 
#yiv6224543316 div.yiv6224543316photo-title a:active, #yiv6224543316 
div.yiv6224543316photo-title a:hover, #yiv6224543316 
div.yiv6224543316photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv6224543316 
div#yiv6224543316ygrp-mlmsg #yiv6224543316ygrp-msg p a 
span.yiv6224543316yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv6224543316 
.yiv6224543316green {color:#628c2a;}#yiv6224543316 .yiv6224543316MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv6224543316 o {font-size:0;}#yiv6224543316  
#yiv6224543316photos div {float:left;width:72px;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316photos div div {border:1px solid 
#666666;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv6224543316
 #yiv6224543316reco-category {font-size:77%;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316reco-desc {font-size:77%;}#yiv6224543316 .yiv6224543316replbq 
{margin:4px;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316ygrp-mlmsg select, #yiv6224543316 input, #yiv6224543316  textarea 
{font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316ygrp-mlmsg pre, #yiv6224543316 code {font:115% 
monospace;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-mlmsg #yiv6224543316logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-msg p a 
{font-family:Verdana;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-msg 
p#yiv6224543316attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316ygrp-reco #yiv6224543316reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-sponsor 
#yiv6224543316ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316ygrp-sponsor #yiv6224543316ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316ygrp-sponsor #yiv6224543316ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-text 
{font-family:Georgia;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv6224543316 #yiv6224543316ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv6224543316 
#yiv6224543316ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv6224543316   
  • [GELORA45] (unknown) 'Lusi D.' lus...@rantar.de [GELORA45]
    • awas, hiburan Re: [GELORA45] (u... ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke