https://nasional.tempo.co/read/1131083/soeharto-militer-dan-pembunuhan-massal-pasca-g30s-1965
Soeharto, Militer, dan Pembunuhan Massal Pasca G30S 1965
Reporter:
Vindry Florentin
Editor:
Ninis Chairunnisa
Sabtu, 29 September 2018 09:11 WIB
Warga nonton bareng (nobar) pemutaran film pengkhianatan G30S/PKI di
Lapangan Hiraq Lhokseumawe, Aceh (23/9) malam. ANTARA FOTO
<https://statik.tempo.co/data/2017/09/24/id_650325/650325_720.jpg>
Warga nonton bareng (nobar) pemutaran film pengkhianatan G30S/PKI di
Lapangan Hiraq Lhokseumawe, Aceh (23/9) malam. ANTARA FOTO
*TEMPO.CO, Jakarta* - Bak mendapat durian runtuh, Jess Melvin sungguh
tak menduga apa yang ia dapat saat melakukan penelitian tentang
pembunuhan massal pasca G30S 1965
<https://nasional.tempo.co/read/707196/g30s-1965-inggris-sudah-lama-ingin-singkirkan-soekarno>
pada 2010 silam. Segepok dokumen berisi catatan tentang aktivitas
militer di Aceh itu seakan membuka kotak pandora tentang tragedi kelam
pada 1965-1966 itu.
Baca juga: EKSKLUSIF G30S 1965: Pengakuan Penyergap Ketua CC PKI Aidit
<https://nasional.tempo.co/read/705279/eksklusif-g30s-1965-pengakuan-penyergap-ketua-cc-pki-aidit>
Peneliti Australia itu mencatat dan mengkonfirmasi temuan-temuannya itu.
Hasilnya kemudian dijadikan buku berjudul /"The Army and the Indonesian
Genocide: Mechanics of Mass Murder". /Dalam bukunya//Melvin berpendapat
pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia bukanlah hasil aksi spontan
rakyat yang marah terhadap PKI.
Dari dokumen sebanyak hampir 3.000 halaman tersebut, Melvin sampai pada
kesimpulan bahwa pembunuhan massal 1965-1966 itu tersentralisasi secara
nasional di bawah kendali pemimpin Angkatan Darat saat itu Mayor
Jenderal Soeharto.
Melvin menyatakan sudah banyak peneliti dan masyarakat Indonesia yang
menduga peran militer dalam peristiwa ini. Namun tak ada bukti yang
memperkuat keyakinan tersebut. Selain itu, selama 50 tahun terakhir,
militer menyangkal terlibat.
Salah satu dokumen yang ada di buku Jess Melvin tentang dugaan
keterlibatan militer dalam pembunuhan massal pasca G30S 1965
Mereka mengklaim peristiwa 1965-1966 terjadi karena gerakan spontan
masyarakat. "Dokumen ini memungkinkan pembuktian militer di balik
pembunuhan 1965-1966 menggunakan data yang ditulis militer sendiri,"
katanya kepada Tempo, Selasa, 25 September 2018.
Pembunuhan massal pada 1965-1966 selama ini dicitrakan sebagai ulah
Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI dituding hendak melakukan kudeta dan
membunuh tujuh jenderal TNI Angkatan Darat pada 30 September 1965.
Peristiwa itu dikenal sebagai Gerakan 30 September atau G30S 1965. Media
resmi negara menyiarkan, rakyat murka atas kejadian tersebut dan mulai
membunuh orang-orang yang berafiliasi dengan PKI. Militer kemudian
tampil sebagai penengah dari kekacauan yang timbul secara spontan
masyarakat itu.
Baca juga: Omar Dani: CIA Terlibat G30S 1965 dan Soeharto yang Dipakai
<https://nasional.tempo.co/read/705258/omar-dani-cia-terlibat-g30s-1965-dan-soeharto-yang-dipakai>
*Keterlibatan Militer*
Dalam bukunya yang terbit pada 2018 itu, Melvin memaparkan keterlibatan
militer dengan merinci surat perintah militer dari file genosida
Indonesia miliknya.
Surat pertama muncul dari Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan
Darat (Men/Pangad) kepada Komandan Militer Wilayah Aceh Ishak Djuarsa
pada pagi hari, 1 Oktober 1965. Dia mengabarkan telah terjadi kudeta di
Jakarta di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung. Melvin menyatakan,
kabar tersebut juga diduga disampaikan kepada komandan wilayah lainnya
meski hingga saat ini buktinya belum ditemukan.
Pada pagi itu juga, martial law atau darurat militer dideklarasikan di
seluruh Sumatera. Operasi Berdikari diaktifkan di Aceh untuk
memfasilitasi operasi penumpasan.
Pesan tersebut sempat direspons Komandan Mandala I (Panglatu) Sumatera
Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta. Dia menginstruksikan tentara
tetap tenang dan bekerja seperti biasa dan “menunggu perintah/instruksi
selanjutnya dari Panglatu”.
Instruksi selanjutnya datang pada tengah malam. Melalui radio, Mokoginta
mengumumkan bahwa PKI telah melakukan upaya kudeta. Presiden Soekarno
selamat dan situasi di ibukota telah dikendalikan oleh Soeharto. Dia
memerintahkan agar semua perintah pengganti Jenderal Ahmad Yani itu
dipatuhi.
Sugimin (tiga dari kanan) saat menarik jenazah enam jenderal dan satu
perwira dari sumur Lubang Buaya, 4 Oktober 1965. (Istimewa)
Mokoginta pun memerintahkan, "/Segenap anggota Angkatan Bersenjata untuk
setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk
pencianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja./" Melvin mengatakan,
perintah ini membuktikan militer menggunakan kampanye militer ofensif
untuk menumpas rakyat yang dianggap terlibat gerakan 30 September sejak
hari pertama. Militer tetap memerintahkannya meski mengetahui situasi
ibu kota dinyatakan sudah terkendali.
Militer juga terbukti memobilisasi warga sipil untuk menumpas
orang-orang tersebut mulai 4 Oktober. Melvin merujuk kepada pernyataan
Soeharto yang menyatakan, "/kami yakin dengan bantuan dari masyarakat
.... kami dapat menghancurkan kontra revolusi gerakan 30 September
sepenuhnya/."
Pada 5 Oktober, protes masyarakat terhadap PKI berubah berbentuk
kekerasan. Berdasarkan "peta kematian" yang dibuat militer, terdapat
1.941 pembunuhan terjadi di Aceh. TNI kemudian mendirikan Ruang Perang
yang berupa sentral koordinasi perang non-konvensional terhadap PKI.
Menurut Melvin, pembunuhan massal yang sistematik bermula saat itu di
Aceh. Setiap malam, truk bermuatan tahanan melaju memindahkan mereka ke
situs pembunuhan terkontrol militer. Di sana mereka dibunuh secara
sistematis.
Melvin mencatat kegiatan militer ini dilakukan melalui sistem komunikasi
yang kompleks dan membentang hingga ke tingkat desa. Pola tersebut
membentuk pola pemberantasan berskala nasional. Dengan cakupan yang
luas, Melvin melihat upaya perebutan kekuasan negara atau kudeta di
balik penumpasan PKI.
Dalam periode terjadinya G30S 1965, Melvin mengatakan, TNI dan PKI
tengah bersaing memperebutkan kekuasaan. Pada Agustus 1965, Presiden
Soekarno mengumumkan pembentukan tentara rakyat yang disebut Angkatan
Kelima. Mereka dipersiapkan untuk operasi Ganyang Malaysia, gerakan
antisipasi potensi konflik dengan negara tetangga itu. Soekarno
sebelumnya juga telah membentuk KOTI yang mengkoordinasikan militer
dalam operasi Ganyang Militer serta Komandan Mandala Siaga (Kolaga)
sebagai koordinator di tingkat wilayah.
Mobilisasi masyarakat itu dikhawatirkan TNI. Mereka khawatir Soekarno
menggunakannya untuk melawan TNI. Di sisi lain, militer juga bersekutu
dengan pemerintah Amerika Serikat yang anti komunisme. Di bawah
kepemimpinan Jenderal Ahmad Yani, TNI menyusun strategi untuk kudeta
setidaknya sejak Januari 1965.
Namun, kata Melvin, TNI tak ingin terlihat sebagai pengkhianat dan
merencanakan kudeta terselubung. Dugaan ini dibuktikan melalui rekaman
dari Duta Besar Amerika di Indonesia, Howard Jones, kepada atasannya di
Washington. Dia menyatakan pemimpin militer Indonesia sedang menunggu
peristiwa yang dapat digunakan sebagai dijadikan alasan untuk
melancarkan kudeta terselubung itu.
G30S 1965 disinyalir Melvin sebagai kedoknya. Pasalnya Soeharto langsung
menyalahkan PKI atas gerakan 30 September meski tak ada bukti saat itu,
bahkan hingga saat ini, bahwa organisasi tersebut terlibat. Kudeta
terselubung ini juga menjelaskan alasan Soeharto menyasar anggota PKI di
seluruh negeri yang tidak ada hubungannya dengan G30S 1965 ketimbang
menangkap dan mengadili pelaku sebenarnya.
Baca juga: G30S 1965: Terungkap, Kedekatan Soeharto dan Letkol Untung
<https://nasional.tempo.co/read/707142/g30s-1965-terungkap-kedekatan-soeharto-dan-letkol-untung>
Melvin menyatakan tak diketahui apakah Soeharto mengetahui rencana
kudeta tersebut sejak awal. Namun dia terbukti memanfaatkan G30S 1965
untuk mewujudkan rencana jangka panjang militer menguasai negara dengan
cara kudeta terselubung. "Karena rencana ini, Soeharto mampu bergerak
cepat dan meyakinkan melawan PKI," kata Peneliti yang kini menjadi
Postdoctoral Fellow di Sydney University itu.
*Pengungkapan Kebenaran*
Dengan narasi baru yang ia suguhkan, Melvin berharap dapat memberi
landasan tambahan untuk menyelesaikan kasus pada 1965-1966 ini. Menurut
dia, peristiwa itu akan terus membelah bangsa ini jika tak diselesaikan.
Pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi diyakini akan mendorong
Indonesia beranjak dari masa lalu.
Melvin berharap Presiden Joko Widodo tetap berkomitmen mendukung upaya
penegakan hak asasi manusia. Salah satunya dengan mendukung kinerja
Komisi Nasional HAM. Lembaga tersebut telah menyerahkan hasil
investigasi terhadap peristiwa 1965-1966 kepada Jaksa Agung Basrief
Arief. Laporan tersebut menyuguhkan bukti kuat yang mengindikasikan
pelanggaran HAM berat.
Namun Jaksa Agung Prasetyo menyatakan laporan tersebut tak cukup untuk
dibawa ke ranah hukum. Melihat detil bukti dalam laporan Komnas HAM,
Melvin menyatakan penolakan tersebut bermuatan politik. Harapan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi atas peristiwa 1965-1966 dapat segera
dibentuk pun belum terwujud hingga saat ini.
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah justru mulai berupaya menempuh
jalur non yudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan
membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Wacana ini ditolak berbagai
organisasi HAM di Indonesia yang menilai DKN akan mengabaikan mekanisme
yudisial.
Melvin berharap Jokowi tetap berkomitmen terhadap penyelesaian kasus HAM
di Indonesia. Dia juga berharap Jokowi mendukung pembentukan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi atas peristiwa 1965-1966.
Pemerintah sendiri hingga saat ini masih teguh menggunakan mekanisme
non-yudisial untuk menyelesaikan persoalan HAM tersebut. Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Wiranto menyatakan
kebijakannya tetap sama seperti telah disampaikan pada upacara
peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang
Buaya pada Ahad, 1 Oktober 2017. "Dulu sudah diumumkan di Lubang Buaya.
Pakai saja rekaman itu," katanya saat diminta keterangan tentang upaya
penyelesaian kasus 1965-1966 pada Kamis, 27 September 2018 di kantornya.
Di Lubang Buaya, Wiranto mengatakan penyelesaian kasus 1965-1966 secara
yuridis tidak mungkin dilakukan. Mekanisme tersebut akan memicu klaim
salah-benar dari sejumlah pihak. Sementara Presiden Joko Widodo meminta
agar sejarah tidak terulang dan dijadikan pembelajaran untuk masa depan.
"Presiden mengatakan tadi, tidak mengulang sejarah kelam itu sebagai
pembelajaran masa kini untuk menatap masa depan. Maka penyelesaian
secara yuridis tidak mungkin," katanya.
Pernyataannya konsisten seperti disampaikan saat peringatan yang sama
pada 2016. Wiranto mengatakan negara dalam keadaan bahaya selama
peristiswa pada 1965-1966 terjadi, jika dilihat dari pendekatan yuridis.
Artinya, segala tindakan yang dilakukan dianggap sebagai upaya
penyelematan demi keamanan nasional. "Dari peristiwa tersebut juga dapat
berlaku adagium '/Abnormaal recht voor abnormaale tijden'/, tindakan
darurat untuk kondisi darurat yang dapat dibenarkan secara hukum dan
tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang," katanya.
Jalur non yudisial juga dipilih karena Kejaksaan Agung kesulitan memenuh
alat bukti yang cukup. Laporan Komnas HAM dianggap tak memenuhi standar
pembuktian.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo
Untung tetap berharap pemerintah menempuh jalur yudisial untuk
menyelesaikan kasus ini. "Saya minta supaya pelaku kejahatan HAM diadili
supaya ada pembelajaran dan tidak terjadi pengulangan di waktu yang akan
datang. Karena mereka jelas bersalah," katanya saat ditemui di Jakarta,
Kamis, 20 September 2018.
Tentara menggiring orang-orang yang diduga PKI [Perpusatkaan Nasional RI
via Tribunal1965]
Dia menyadari banyak tokoh yang terlibat dalam peristiwa 1965-1966 sudah
meninggal. Namun kenyataan tersebut seharusnya tak menghentikan upaya
penyelesaian melalui jalur hukum. Pemerintah dalam hal ini dapat
mewakili dengan mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat saat itu
dan memohon maaf kepada korban. "Sampai sekarang negara belum memberikan
pernyataan politik dan itu mestinya harus, karena semakin tidak segera,
katakanlah meminta maaf kepada korban, tuntutan kami akan terus
berkembang, tidak hanya di dalam negeri tapi juga luar negeri," katanya.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang
mengatakan bahwa pihaknya ingin meluruskan mengenai tudingan Soeharto
adalah dalang pembantaian pasca peristiwa G30S 1965
<https://nasional.tempo.co/read/705938/g30s-1965-dan-pasukan-sipil-serba-hitam-membasmi-pki>.
Partai Berkarya adalah partai yang memiliki paradigma Soeharto dan diisi
oleh anak-anak Soeharto.
Partai ini pun berencana menggelar nonton bareng film G30SPKI yang
sempat diputar selama pemerintahan Orde Baru. ‘Paham-paham atau
informasi-informasi yang memutar balikkan fakta dan sejarah itu yang
kami mau luruskan,” kata dia.
Bagi partai ini, kata Badaruddin, Soeharto adalah tokoh penting di balik
pemberantasan paham komunisme di Indonesia. “Tapi bagi kami di Berkarya,
kami memahami bahwa pak Harto adalah tokoh di balik pemberantasan
paham-paham itu, bukan sebaliknya seperti yang direkayasa oleh
orang-orang yang punya maksud tertentu,” ujarnya.
Adapun pihak TNI hingga berita ini diturunkan belum memberikan komentar
terkait dokumen yang ada dalam buku Jess Melvin tersebut. Surat
wawancara untuk Panglima TNI telah dikirim Tempo, namun belum berbalas.
Upaya mengontak Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda juga belum berhasil.