Untuk mengetahui kejahatan Pemerintah ORBA dengan dan tanpa Suharto, silahkan 
membaca bahan studi di bawah ini. Juga Mereka yang gandrung dan percaya bahwa 
investasi asing memakmurkan rakyat Indonesia.Tak akan ada patriot Indonesia 
yang tidak akan marah terhadap penjarahan kekayaan alam rakyat oleh kaum 
pemodal asing.
Kisah Sedih Tambang Nikel di Morowali: Sasaran Empuk untuk Dikeruk
Oleh Christopel Paino, Palu di 16 February 2015
3 November 1999. Ini merupakan hari bersejarah bagi masyarakat Morowali, 
Sulawesi Tengah. Pada tanggal itu, secara resmi mereka berpisah dari Kabupaten 
Poso dan membentuk wilayah administrasi sendiri dengan nama Kabupaten Morowali. 
Ibukotanya terletak di Bungku. Dalam peta Sulawesi yang berbentuk huruf K, 
kabupaten ini tepat berada pada ketiak Sulawesi. Berhadapan dengan Teluk Tolo 
dan Laut Banda, Maluku.Sebelah selatan Morowali cukup dekat dengan Kota 
Kendari, Sulawesi Tenggara. Luas wilayah Morowali adalah 14. 489,62 km². Karena 
begitu luas, pada tahun 2013, kabupaten ini kembali dimekarkan menjadi 
Kabupaten Morowali Utara. Ibukotanya di Kolonedale.Tanah di Kecamatan Bahodopi, 
Bungku Selatan, Bungku Pesisir, dan wilayah lainnya di Morowali kaya akan 
nikel. Permukaan tanah dengan mudah dijumpai nikel. Kiri-kanan jalan. Baik yang 
berada dekat pantai atau pun kawasan hutan. Pelabuhan-pelabuhan kecil dengan 
kapal yang masih tersandar terlihat jelas. Tumpukan ore (bahan mentah nikel) 
membentuk bukit seperti sedang baris-berbaris. Dengan mata telanjang semua 
pemandangan tersaji di pinggir jalan. Tak heran, ratusan perusahaan dalam dan 
luar negeri berdatangan mencari nikel di Morowali.Menurut Andika, aktivis 
lingkungan dan salah satu peneliti muda dari Sulawesi Tengah, sejarah 
pertambangan nikel di Morowali dimulai sejak lama. Ia menyebut di tahun 
1600-an, perdagangan biji besi bercampur nikel sudah dilakukan. Ini mengalahkan 
reputasi besi dari China maupun pembuatan keris oleh pengrajin di pulau 
Jawa.Dalam penelitiannya, Andika menjelaskan bahwa pemanfaatan galian 
bahan-bahan mineral diperkirakan telah dipraktikan oleh kerajaan Mori, sebuah 
kerajaan besar di Morowali. Telah ada aktivitas perdagangan tembaga pada 
kerajaan pedagang Belanda dan Inggris di Pelabuhan Kolonedale tahun 1600-an. 
Ketika itu, perang pecah dengan kerajaan Luwu. Kerajaan Mori berhasil 
ditaklukan. Banyak orang Mori dimanfaatkan keterampilannya untuk membuat 
tembaga dan diperdagangkan dengan kerajaan Majapahit di tanah Jawa.“Saat itu, 
usaha-usaha pemanfaatan sumber daya mineral dilakukan secara tradisional. Belum 
mengenal suatu konsep ekstraktif yang haus lahan. Bahan tambang diusahakan 
dalam galian skala kecil memanfaatkan sifat mineral yang laterit atau berada 
dipermukaan untuk usaha penempahan besi dan perdagangan logam senjata. 
Terutama, bagi kebutuhan peralatan perang misalnya, mata tombak, pedang, dan 
yang terbuat dari tembaga. Usaha itu dilakukan melalui keterampilan melebur 
besi,” ungkap Andika kepada Mongabay, Sabtu (14/02/2015).Pelabuhan penampungan 
orb PT Gema Ripah Pratama yang berada di kawasan Cagar Alam Morowali dan 
beririsan dengan Teluk Tomori. Hutan mangrove sepanjang 1.200 meter habis 
dibabat dan ditimbun pasir kerikil. Foto: Jatam SultengBerebut nikel di Tanah 
MorowaliUsai ketegangan politik di Jakarta tahun 1965, Morowali yang tenang 
tiba-tiba didatangi oleh dua perusahaan tambang raksasa internasional; Rio 
Tinto dan PT. Inco. Dua perusahaan ini mendapatkan Kontrak Karya Pertambangan 
pada generasi ketiga setelah PT. Freeport di tanah Papua.Tahun ini merupakan 
awal rezim orde baru berkuasa di Indonesia yang ditandai dengan dibukanya modal 
asing yang diperkuat melalui Undang-undang No 1 tahun 1967 tentang Penanaman 
Modal Asing. Lalu disusul dengan Undang-undang No 11 tahun 1967 tentang 
Pokok-pokok Pertambangan. Morowali yang jaraknya sangat jauh dari Jakarta 
menjadi sasaran empuk dari regulasi ini.“Ini merupakan periode yang penting 
karena kehadiran Rio Tinto dan PT. Inco sejak 1968 hingga kini di Kabupaten 
Morowali. Perusahaan raksasa itu berekspansi secara serius di Sulawesi Tengah,” 
ujar Andika.Menurutnya, hingga saat ini Rio Tinto belum melakukan operasi 
produksi. Belum terjadi perkembangan yang menunjukan proses ke komersialisasi 
nikel, baik di lapangan maupun dalam proses perizinan. Perusahaan masih lebih 
banyak melakukan proses kampanye persiapan awal penyelidikan umum dan pra 
konstruksi. Berbeda dengan PT. Inco yang terus memberikan sinyal aktivitas 
pertambangan di Blok Bahodopi Morowali.Kontrak Karya (KK) Pertambangan pertama 
ini didapatkan oleh PT. Inco melalui persetujuan Presiden Republik Indonesia 
No. B 91/Pres/7/1968 tanggal 27 Juli 1968 terhitung saat produksi komersial 
pada 1 April 1978 hingga 31 Maret 2008. Periodenya berlaku 30 tahun. 
Selanjutnya KK PT. Inco dimodifikasi dan diperpanjang berdasarkan persetujuan 
Presiden RI no.B-745/Pres/12/1995/ tertanggal 29 Desember 1995 yang berlaku 
selama 30 tahun hingga 28 Desember 2025.“Lalu berdasarkan draft RT-RW Kabupaten 
Morowali 2003-2013, lokasi penambangan PT. Inco di Blok Bahodopi merupakan 
wilayah yang memiliki potensi galian tambang nikel yang terdapat di Kabupaten 
Morowali.”Andika mengungkapkan, dalam perjalanannya, PT. International Nickel 
Indonesia Tbk atau sering disebut Inco Limited, kini berganti nama menjadi CVRD 
Inco Ltd yang berlaku sejak 3 Januari 2007. Perubahan itu pun menandai lahirnya 
nama baru yaitu, PT. Vale Indonesia. Seluruh dokumen resmi, mulai dari website 
hingga perlengkapan PT. Inco diubah dengan nama Vale. Perubahan nama ini 
seiring dengan peningkatan kepemilikan saham Companhia Vale do Rio Doce (CVRD) 
di perusahaan Inco Ltd menjadi 87,78 persen.Andika menjelaskan lagi, dalam 
kurun waktu 7 tahun terakhir, ekspansi pertambangan di Kabupaten Morowali terus 
meningkat secara signifikan. Sebanyak 177 perusahaan asing dari 204 IUP (Izin 
Usaha Pertambangan) yang diterbitkan Bupati Morowali menguasai sekitar 600.089 
hektar lahan. Selain itu, diperkirakan 45 IUP yang diterbitkan Pemerintah 
Morowali tumpang-tindih dengan IUP yang dikeluarkan oleh pemerintah 
pusat.“Tumpang tindih dengan PT. Vale di Blok Bahodopi dan Blok Kolonodale 
menjadi contoh paling aktual. Dari 45 IUP yang tumpang tindih tersebut, 12 di 
antaranya berada di blok tambang Vale di Kolonodale, antara lain PT. Bangun 
Bumi Indah, PT. Cipta Hutama Maranti, dan PT. Graha Sumber Mining Indonesia. 
Dan sebanyak 33 IUP berada di blok tambang Vale di Bahodopi.”Pembabatan hutan 
mangrove yang telah dilakukan sejak Oktober 2011. Foto: Jatam SultengPerubahan 
bentang alamDalam kertas kerja penelitianyang dimuat oleh Sajogyo Institute, 
Andika menjelaskan bahwa maraknya perusahaan tambang nikel membuat 
perubahan-perubahan landskap atau bentang alam Kabupaten Morowali terbilang 
pesat. Terjadi pada titik-titik vital yang diproyeksikan sebagai hotspot nikel, 
seperti pesisir Bahodopi menuju Bungku Selatan. Ekologi dan fungsi alam yang 
terbentang dari Kecamatan Bahometefe hingga Bahodopi mengalami banyak 
perubahan.Tutupan hutan yang dulu hijau dan rapat, sekarang mengalami pembukaan 
yang masif. Sejauh mata memandang terlihat memerah sebagai penanda galian 
nikel. Debu pekat nan tajam akan bertiup seperti bekas ledakan ‘bom atom’, saat 
rombongan truk pengangkut ore melintasi jalanan di atas pegunungan yang terjal 
menuju pelabuhan.Pemandangan semacam itu bukan sesuatu yang perlu dirahasikan 
lagi. Sepanjang pesisir pantai, terutama dari Desa Kolono hingga Dusun Fatuvia 
Bahodopi yang merupakan pusat perkampungan masyarakat. Sisa-sisa tanah mineral 
banyak terlihat menempel di jalan aspal yang dibangun tiga tahun 
terakhir..Perusahaan tambang melintasi jalanan aspal itu untuk membawa ore yang 
terhubung langsung dengan jalan hauling yang mereka bangun sendiri. Jalan-jalan 
hauling itu meliuk-liuk di dataran semak belukar melintasi sawah produktif. 
Lalu memotong setiap pematang dan anak-anak sungai menuju pendakian jejeran 
Jambu Mente. Semua landskap itu ditimbun bersamaan dengan proses ganti rugi 
tanah.Kawasan perairan dari Teluk Tomori yang merupakan bekas ibu kota 
sementara Kabupaten Morowali tak lepas dari ‘pesta pora nikel’. Laut penghasil 
ikan itu ditimbun dengan tanah merah dari pegunungan sekitar, sebagai material 
untuk membangun port (pelabuhan) parkiran tongkang ore nikel.“Pelabuhan tidak 
hanya satu, kurang lebih 28 pelabuhan sejenis atau lebih cocok disebut 
reklamasi pantai yang berjejer di antara gugusan pulau-pulau kecil yang 
berakhir di garis hutan mangrove Cagar Alam Morowali. Permukaan laut yang dulu 
biru nan eksotik dalam ekosistem tropis dan dikelilingi gugusan-gugusan gunung 
dan bukit yang hijau, seketika berubah warna, seperti minuman jeruk,” 
katanya.Dalam skema Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau 
MP3EI, Koridor Ekonomi Sulawesi diharapkan menjadi lumbung tambang. Target ini 
tidaklah muluk-muluk, mengingat selama ini komoditas tambang nikel Indonesia, 
50 persen dipasok dari Sulawesi. Morowali tentu menjadi sasaran empuk untuk 
dikeruk.Grafis: Jatam SultengTulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green 
Radio

Kirim email ke