Singkat saja dah. 
Jadi, Anda yakin MA bertugas ("menilai") atas inisiatif 
sendiri, bukan karena masuknya gugatan OSO. 

Ya rapopo, karena cuma segitu yang Anda tahu (inisiatif). 
Mau bilang apa.

Sekedar tambahan info, tidak ada bukti KPU memberlakukan 
aturan itu 'khusus' untuk membidik kasus-kasus masa lalu.
    --- djiekh@... wrote:    

Tugas Ma adalah menilai apakah suatu peraturan tidak bertentangan dengan hukum 
yang sudah ada.Di situ MA sudah menilai, peraturan yang sebelumnya sudah 
disahkan oleh Makkamah konstitusi sudah betul.Jadi peraturannya sudah dinilai 
betul.Yang tidak betul adalah KPU menggunakannya sebagai berlaku surut..
On Thu, 8 Nov 2018 at 11:27, ajeg wrote:

 Soal apakah pasal itu khusus diberlakukan surut 
oleh KPU, sangat bisa diperdebatkan. 

Dan itu tidak menjawab pertanyaan. 
Pertanyaannya di sini adalah (saya ulang) :kenapa / apa alasan MA sampai 
"menilai peraturan 
yang dikeluarkan KPU" ini?

--- dji...@gmail.com wrote:
 Bukan, tidak boleh berlaku surut.
On Thu, 8 Nov 2018 at 10:58, ajeg wrote:
??
OK.Kalau begitu, kenapa / apa alasan MA sampai "menilai 
peraturan yang dikeluarkan KPU" ini?
 (seluruh isi peraturankah yang "dinilai?) 


  --- djiekh@... wrote:
MA menilai peraturan yang dikeluarkan KPU, yang dilaksanakan berlaku surut.Ini 
yang tidak boleh. Yang tidak berlaku surut boleh.

On Thu, 8 Nov 2018 at 10:45, ajeg wrote:
   Pada kasus ini MA tidak sedang menilai peraturan. MA 
cuma mengadili pemberlakuan suatu pasal (tentang larangan 
rangkap jabatan bagi pengurus partai) yang diberlakukan 
terhadap OSO. Yaitu, KPU melarang OSO (Ketum Hanura)menjadi calon DPD.

Pasal larangan rangkap jabatannya sendiri tetap berlaku 
bagi pengurus partai yang mengajukan diri setelah terbitnya 
peraturan tsb. 

Melihat kerugian negara yang disedot orang partai (di dewan, 
di pemerintah dll), jelas orang-orang partai harus belajar etika. 
Kalau etika dan moral dijunjung tinggi kan tidak perlu sampai 
dibuatkan aturan hukum untuk mengatur ketertibannya.

--- djiekh@... wrote:
  MA tidak salah. Memang tugasnya menilai peraturan baru berdasarkanperaturan2 
yang ada, dan tidak boleh menyimpang.Kalau menyimpang, dia nanti bisa 
dikalahkan. Kalau menyalahi hukum,, kalah, wah hakim-hakim agungnya mesti 
mengundurkan diri.Masa hakim agung, dengan pengalaman puluhan tahun, melanggar 
hukum ?
On Thu, 8 Nov 2018 at 09:43, ajeg wrote:
   Anda merasa MA disalahkan??
--- djiekh@... wrote:
  M.A. Hanya boleh menilai berdasarkan hukum yang sudah ada.Jadi memang tidak 
boleh berdasarkan etika dan sebagainya.
Hanya dalam masalah terrorisme, peraturan berlaku surat dapat berlaku.

On Thu, 8 Nov 2018 at 09:05, ajeg wrote:
Seperti saya bilang masalah rangkap jabatan 
sebenarnya soal etika belaka, yang terpaksa ditingkatkan 
menjadi persoalan hukum. Secara hukum, putusan MK 
yang melarang rangkap jabatan dan dilanjutkan KPU 
dalam bentuk peraturan KPU, sudah benar. Begitu juga 
putusan MA atas gugatan OSO, benar secara hukum. 
Tapi toh putusan MA ini berakibat pada pengabaian etika 
dan moral.. 

Secara politis sih, orang melihat ini manuver OSO-Yusril 
untuk menyindir Jokowi yang melarang Wiranto rangkap jabatan 
di kabinet tapi membolehkan ketua Golkar tetap jadi menteri..
 --- djiekh@... wrote:
Yang dilarang MA adalah menterapkan peraturan berlaku surut.Dari Google :
Pada dasarnya, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut 
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun 
sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 
(“UUD 1945”).  Asas ini dikenal dengan namaasas non-retroaktif, yaitu asas yang 
melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang.
 
Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di 
Indonesia” mengatakan bahwaasas ini sebenarnya sudah ditentukan untuk segala 
bidang hukum dan diulangi untuk hukum pidana yang termuat dalam Pasal 1 ayat 
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)yang berbunyi:

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana 
dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”
 
Menurut Wirjono, larangan keberlakuan surut ini bertujuan untuk menegakkan 
kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang 
merupakan tindak pidana atau tidak.

Jadi peraturan Calon DPD dilarang rangkap jabatan dengan pengurus Parpol, hanya 
berlaku bagi mereka yang mendaftarkan diri setelah keluarnya peraturan, tidak 
bagi yang sudah mendaftarkan diri sebelum keluarnya peraturan ?? Atau berarti 
untuk mereka ini berlaku peraturan lama ??

On Thu, 8 Nov 2018 at 06:23, ajeg wrote:

Secara umum, rangkap jabatan seperti itu (pengurus parpol 


merangkap anggota dewan dll) sebenarnya kan murni soal etika. 


Tetapi karena kerakusan telah melahap etika maka hasrat menjadi 


parasit negara tidak lagi dirasa memalukan, maka Mahkamah 


Konstitusi pun meningkatkan urusan etika ini menjadi urusan hukum

yaitu dengan melarang pengurus partai merangkap jadi parasit. 


KPU sebagai pelaksana di lapangan cukup sigap membuat aturan 


yang melarang pengurus partai masuk lingkar kekuasaan. Kalau 


mau jadi anggota dewan ya lepaskan dulu jabatannya di partai.




Cilakanya, Mahkamah Agung justru memenangkan gugatan yang 


melawan larangan rangkap jabatan.



-

Rabu 07November 2018, 17:28 WIB 


MA Menangkan OSO: Calon DPD Boleh dari Parpol di Pemilu 2019

Andi Saputra - detikNews


Jakarta - Mahkamah Agung (MA) memenangkanjudicial review yang diajukan Oesman 
Sapta Odang (OSO). MA memutuskan Pemilu2019 bisa diikuti calon anggota DPD yang 
juga pengurus Parpol.

Kasus bermula saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan calon DPD 
dilarangrangkap jabatan dengan pengurus Parpol. Putusan MK itu ditindaklanjuti 
KPUdengan mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017.


Atas hal itu, OSO tidak terima danmengajukan judisial review ke MA atas 
Peraturan KPU itu. Apa kata MA?"

Menyatakan Ketentuan Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 
TentangPerubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang 
PencalonanPerseorangan Peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah, tetap 
mempunyaikekuatan hukum mengikat dan berlaku umum sepanjang tidak diberlakukan 
surutterhadap Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang 
telahmengikuti Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 
2019berdasarkan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017," demikian lansir putusan 
MAdalam websitenya, Rabu (7/11/2018).


Putusan itu diketokoleh ketua majelis hakim Supandi dengan anggota Yulius dan 
Is Sudaryono.Ketiganya menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memperoleh 
kekuatan hukumtetap terhitung sejak diucapkan.

"Namun ternyata pihak Termohon tetap memberlakukan Ketentuan Pasal 60APeraturan 
KPU Nomor 26 Tahun 2018 secara surut (retroactive) terhadap PesertaPemilu 
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019, dengan dalih pelaksanaanPutusan 
Mahkamah Konstitusi," ujarnya.

(asp/rvk)


     
    

Kirim email ke