https://news.detik.com/kolom/d-4304388/kelakar-tompi-pesan-hijrah-jokowi-dan-matinya-cebong-kampret
Jumat 16 November 2018, 10:56 WIB
Kolom
Kelakar Tompi, Pesan Hijrah Jokowi, dan
Matinya Cebong Kampret
Kembang Kinasih - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/asujiwo69>
Kembang Kinasih <https://connect.detik.com/dashboard/public/asujiwo69>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4304388/kelakar-tompi-pesan-hijrah-jokowi-dan-matinya-cebong-kampret#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4304388/kelakar-tompi-pesan-hijrah-jokowi-dan-matinya-cebong-kampret#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4304388/kelakar-tompi-pesan-hijrah-jokowi-dan-matinya-cebong-kampret#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4304388/kelakar-tompi-pesan-hijrah-jokowi-dan-matinya-cebong-kampret#>
Kelakar Tompi, Pesan Hijrah Jokowi, dan Matinya Cebong Kampret
Ilustrasi: Luthfy Syahban/detikcom
*Jakarta* -
Ada satu peristiwa menarik dalam pembukaan acara ulang tahun ke-4 Partai
Solidaritas Indonesia (PSI) yang digelar di ICE BSD, Tangerang pada
Minggu (11/11) lalu. Ketua Panitia acara tersebut tak mau mengambil
kesempatan berpidato sebagaimana lazimnya pembukaan suatu acara,
melainkan justru ingin melagukan isu-isu sosial-politik yang sedang
hangat dalam beberapa hari ini.
Adalah Teuku Adiftrian alias Tompi yang dikenal sebagai dokter /cum/
penyanyi yang melakukannya. "Kalau pidato saya rasa sudah biasa, jadi
sambutan ini akan saya sampaikan dalam nada-nada lagu," kata Tompi,
sebagaimana dilansir *Detikcom*, Senin (12/11).
Dari rangkaian tersebut, satu hal yang paling menarik perhatian audiens
dan warganet adalah soal substansi pesan dalam lagunya itu. Dalam
nyanyiannya, Tompi mengajak kaum "cebong" dan kaum "kampret" bersatu.
"Ingat, kawan tak ada cebong atau kampret. Ingat, kawan yang ada hanya
cempret Indonesia. Cebong dan kampret bersatu menjadi cempret," kata
Tompi dalam nyanyiannya.
Praktis kejadian itu membuat seluruh hadirin tertawa, termasuk Presiden
Jokowi yang menghadiri acara tersebut. Sejumlah menteri dan rombongan
Presiden pun juga terlihat 'ngakak' dengan cara penyampaian pesan Tompi itu.
"Cempret" adalah kosakata baru yang diciptakan oleh Tompi untuk
mengawali pesannya malam itu. Cempret tak lain adalah eliminasi dari
kata "cebong" dan "kampret", yang akhir-akhir ini memenuhi ruang
perdebatan kita di media sosial.
Bahwa dengan lagu itu, Tompi dan mungkin kita (masyarakat Indonesia)
hendaknya saling mengingatkan agar mulai mengakhiri sebutan yang
bertendensi saling mengejek dan tak substantif itu. Di sisi ini, ajakan
hijrah dari Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, menemukan momentum dan
signifikansinya.
*Bibit Disintegrasi
*
Bila kita mengamati perdebatan isu-isu politik di linimasa media sosial,
maka kita akan cepat menangkap bahwa kata "cebong" dan "kampret" ini
merupakan representasi dari para pendukung elite politik yang eksis
hari-hari ini.
Cebong biasa dimaknai sebagai pendukung Jokowi. Sedangkan, kampret
adalah sebutan untuk pendukung Prabowo. Dua-duanya adalah capres di
Pilpres 2019. Istilah-istilah itu biasa digunakan di dunia maya, dan
sering difungsikan sebagai ejekan antarkubu pendukung.
Bila ditarik ke belakang, fenomena persaingan sengit antara kedua
kelompok itu terjadi sejak Jokowi bertarung dengan Prabowo pada Pilpres
2014. Sinisme itu kemudian berlanjut hingga kini, karena sentimen
"berbeda" dan "bermusuhan" itu terus dipelihara.
Di antara momen itu terdapat beberapa momen politik yang semakin
mempertegas jurang keduanya, seperti Pilkada DKI Jakarta, serangkaian
aksi berjilid, pertarungan politik di tingkat lokal, hingga terakhir
menguat kembali pada masa kampanye Pilpres 2019.
Beberapa momentum politik tersebut, plus diikuti dengan serangkaian isu
yang selalu digiring untuk saling antagonis, membuat nuansa sinisme dan
pengelompokan itu semakin kuat. Identitas antara "aku" dan "mereka"
semakin dipertegas di antara keduanya.
Harus diakui, fenomena merebaknya cebong dan kampret ini memang bagian
dari penetrasi teknologi informasi, khususnya internet dan media sosial,
dalam langgam politik di Indonesia. Sebelum era internet yang merajai
hari ini, tak ada fenomena cebong vs kampret.
Namun, sayangnya kontestasi antara cebong dan kampret ini sama sekali
tak menyegarkan bagi publik. Lantaran tak ada adu gagasan yang
substantif dan mengandung kebaruan sama sekali. Sebaliknya, perdebatan
di antara mereka itu justru lebih mengarah pada pesan-pesan permusuhan
dan kebencian yang tak berbasiskan nalar.
Kadang persoalan yang remeh temeh, di mana itu tak akan mengubah kondisi
hidup rakyat kebanyakan, justru menjadi ajang perdebatan yang seolah tak
ada habisnya. Saling serang, meninggikan /labeling/, dan
"goreng-menggoreng" isu adalah habitus yang dilakoninya setiap hari.
Tentu saja, semakin ke sini publik semakin jengah dengan polarisasi
cebong dan kampret ini. Justru bahaya yang mengintainya itu yang perlu
segera direspons bersama.
Sebab, di balik kontestasi politik yang melibatkan massa dalam jumlah
besar tanpa diikuti dengan adu nalar dan gagasan ini, terdapat bibit
disintegrasi yang membayanginya. Perpecahan masyarakat berbasiskan
perbedaan identitas menjadi bahaya yang harus dibayar bila persaingan
tak sehat antara cebong vs kampret ini diteruskan.
*Menghapus Polarisasi
*
Fenomena cebong vs kampret ini menunjukkan sisi "ironi" dari politik di
Indonesia. Yakni, menandakan hilangnya gagasan dan visi dalam politik
itu sendiri.
Padahal, pertarungan gagasan itu adalah esensi dari sistem demokrasi
yang dianut oleh Indonesia. Apalagi pasca-Reformasi, Indonesia sering
diklaim sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
Karena minim gagasan tersebut, politik kita hari ini tak lebih menjadi
ajang pertarungan kekuasaan berdasarkan label tertentu saja. Kamu
cebong, dan aku kampret, atau sebaliknya. Bahan bakar di antara itu tak
lain adalah kebencian berdasarkan identitas belaka.
Fenomena cebong vs kampret ini tak terlihat dalam negara-negara yang
sudah matang sistem demokrasinya. Para pendukung kandidat dalam pemilu
di negara itu akan lebih kritis mengamati ide-ide serta gagasan calon
pemimpin dan partai politiknya. Dalam hal ini, gagasan, ide, dan visi
menjadi bahan perbincangan utama.
Dengan begitu, Indonesia belum sampai pada level ide gagasan sebagai
komoditas utama dalam pertarungan politik. Komoditas utamanya masih
identitas, bahkan diperparah dengan adanya pengeleompokan dan labelisasi
yang diproduksi tidak jelas seperti itu. Ini yang harusnya diubah.
Meski begitu, bukan berarti kondisi tak bisa diperbaiki bersama. Upaya
menghapus polarisasi cebong dan kampret itu bisa dilakukan bila kita
(/demos/) sebagai subjek utama demokrasi mulai sadar untuk menggeser
orientasi berpolitik kita, dari berdasarkan identitas dan labelisasi ke
arah politik dengan gagasan dan visi publik.
Dengan cara itu, perdebatan publik tak akan lagi soal hal yang remeh
temeh dan tak penting bagi kemajuan kehidupan rakyat. Namun, politik
lebih diarahkan kepada pembahasan mengenai cara terbaik mengatasi
masalah-masalah warga.
Politik harus dikembalikan ruh dan martabatnya kembali untuk berdaya
guna dalam mengatasi kesulitan, masalah, dan tantangan sebagai suatu
komunitas bersama. Dan, demokrasi harus direhabilitasi lagi sebagai
jalan untuk menentukan opsi terbaik yang akan dipilih oleh warga tersebut.
*Kontekstualisasi Hijrah *
Membicarakan ini membuat kita jadi teringat gagasan "hijrah" yang pernah
diungkapkan oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu. Dalam beberapa
forum, Presiden selalu mengajak masyarakat untuk berubah dari perilaku
yang kurang baik, menjadi perilaku yang terpuji.
Pesan itu diisi dengan ajakan untuk berhijrah "dari pesimisme ke
optimisme", "ujaran kebencian ke ujaran kebenaran", "dari berprasangka
buruk ke prasangka baik ke sesama anak bangsa", "hijrah dari kegaduhan
ke hal bersifat kerukunan, menjalin persaudaraan" dan, "hijrah dari
hal-hal pemecah belah bangsa ini ke persatuan".
Pesan-pesan hijrah tersebut juga menjadi penting bagi kita untuk kembali
mendorong politik identitas dan labelisasi menjadi politik yang penuh
gagasan dan visi. Implikasi praktis dari logika tersebut adalah
mendorong polarisasi cebong vs kampret hari ini menjadi pembicaraan yang
lebih substantif.
Sekaligus mengarahkan dari perang kebencian menjadi perang gagasan.
Singkatnya, dari polarisasi menjadi bersatu kembali untuk membicarakan
hal-hal yang lebih penting.
Dengan cara ini, harapan yang telah diinisiasi oleh Tompi di atas akan
menemukan konteksnya. Bahwa kita sebagai bangsa Indonesia tak perlu lagi
terpolarisasi menjadi cebong dan kampret karena urusan politik yang
tanpa nalar.
Kita harus bersatu menjadi warga (/demos/) yang mulai memikirkan gagasan
dan visi untuk membangun Indonesia secara bersama. Persaingan itu kita
alihkan dari berbasis identitas dan /lebeling/ menjadi kontestasi ide,
gagasan, dan visi dalam konteks demokrasi.
Dengan begitu, cebong dan kampret akan sama-sama mati, mengikuti pesan
hijrah dari Presiden Jokowi untuk berhijrah dari sesuatu yang kurang
baik menjadi Indonesia yang maju, mandiri, berdaulat, dan berkepribadian
sesuai dengan semangat gotong royong.
*Kembang Kinasih* /pegiat literasi di Lingkar Studi Matahari, Yogyakarta/
*(mmu/mmu)*
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca detik, isi dari tulisan di luar
tanggung jawab redaksi. Ingin membuat tulisan kamu sendiri? Klik di sini
<https://news.detik.com/kolom/kirim> sekarang!
cebong kampret <https://www.detik.com/tag/cebong-kampret/> hijrah
<https://www.detik.com/tag/hijrah/> jokowi
<https://www.detik.com/tag/jokowi/> tompi <https://www.detik.com/tag/tompi/>