https://tirto.id/pemerintah-cina-giat-menciduk-komunis-muda-dadQ
<https://tirto.id/q/politik-bpt>
Pemerintah Cina Giat Menciduk
Komunis Muda
Ilustrasi protes Cina. AP Photo/Kin Cheung
<https://tirto.id/pemerintah-cina-giat-menciduk-komunis-muda-dadQ>
Ilustrasi protes Cina. AP Photo/Kin Cheung
Oleh: Akhmad Muawal Hasan - 18 November 2018
Dibaca Normal 4 menit
/Aliansi langka buruh-mahasiswa sedang subur di Cina. Rezim Xi Jinping
merepresi mereka—aktivis muda yang kenyang menggasak pemikiran Karl
Marx, Vladimir Lenin, hingga Mao Zedong./
tirto.id <https://tirto.id/> - Usai lulus dari jurusan filsafat Peking
University, Zhang Yunfan (25) memantapkan diri untuk menjadi aktivis
sayap kiri. Lebih tepatnya seorang Maois: varian Marxisme-Leninisme yang
didasarkan pada konteks agraris masyarakat Cina dan ajaran sang
“founding father” Republik Rakyat Cina, Mao Zedong (1893-1976).
Pada 2014, misalnya, Zhang mengajak serombongan mahasiswa Peking
University berkunjung ke Shaoshan, sebuah kota di Provinsi Hunan yang
dikenal sebagai tempat kelahiran Mao. Situasi ini sukses mendorong
perekonomian lokal sebab tiap tahun didatangi oleh para penggemar Mao
yang berniat ziarah.
Tapi Zhang tak memuja Mao sebagai kultus. Ia berusaha merealisasikan
idealisme Mao dalam aktivisme pro-rakyat. Ia, misalnya, peduli dengan
nasib para pekerja migran asal Cina. Di masa lalu Yunfan juga
berpartisipasi dalam program relawan mengajar untuk anak-anak di daerah
terlantar.
Ia kritis terhadap berbagai masalah sosial yang sehari-hari dihadapi
oleh golongan marjinal. Ia tak ragu menunjuk sistem politik dan ekonomi
yang telah menyimpang dari visi Mao Zedong sebagai biang kerok
ketimpangan ekonomi hingga merajalalelanya korupsi.
Posisi Yunfan seharusnya aman. Meski yang ia sasar adalah dampak dari
kebijakan Deng Xiaoping yang berorientasi ekonomi pasar dengan
“sosialisme berwatak Cina”, tapi pemikiran Mao masih menjadi bagian
dalam doktrin resmi Partai Komunis Cina.
Tapi, laporan /South China Morning Post/
<https://www.scmp.com/news/china/policies-politics/article/2125541/chinese-scholars-sign-open-letter-calling-release>
menyebutkan Yunfan ditangkap oleh kepolisian saat sedang menghadiri
diskusi buku di sebuah kampus pada 15 November 2017. Ia didakwa
“mengumpulkan kerumunan orang untuk mengganggu ketertiban umum” usai
menyuarakan pandangan tentang “peristiwa sejarah yang spesifik”.
Yunfan ditahan selama enam bulan di sebuah lokasi tersembunyi. Tidak ada
kejelasan atau penjelasan terkait alasan penangkapannya. Rekan-rekannya
sesama intelektual Maois gerah, lalu membuat petisi agar Yunfan segera
dibebaskan.
Baca juga: Cara Komunis Cina Perkuat Pengaruh di Dalam dan Luar Negeri
<https://tirto.id/cara-komunis-cina-perkuat-pengaruh-di-dalam-dan-luar-negeri-czoq>
Penangkapan Yunan hanyalah permulaan. Ben Westcott dan Yong Xiong
melaporkan untuk /CNN World/
<https://edition.cnn.com/2018/11/13/asia/china-student-marxist-missing-intl/index.html?utm_source=fbCNN&utm_content=2018-11-14T08%3A00%3A26&utm_medium=social&utm_term=link>
bahwa sejak bulan Agustus lalu pemerintah Cina sedang giat menangkapi
aktivis sayap kiri, terutama di kampus-kampus elite, yang selama ini
mengampanyekan perlindungan hak-hak buruh.
Westcott dan Xiong mencatat setidaknya masih ada sembilan akvitis muda
yang masih ditahan di beberapa kota besar di Cina daratan. Ada pula yang
mendapat serangan dari sekelompok orang tak dikenal, yang dimaknai
sebagai bagian dari teror terhadap aktivis.
Zhang Shengye adalah satu korbannya. Menurut surat terbuka yang beredar
luas, pada Jumat (9/11/2018) aktivis yang mendaku sebagai seorang Marxis
itu diserang oleh sejumlah laki-laki asing berpakaian serba hitam. Ia
diseret ke sebuah mobil di dekat Beijing University.
“Seorang pelaku menggunakan lengannya untuk mengunci leherku dan
mendorong ke arah depan.. Kacamataku hilang di tengah kekacauan, lalu
aku ditindih ke tanah,” kata Shengye.
“Aku mencoba bertanya ‘Siapa kalian? Kenapa kalian melakukan hal ini?’
Seorang pelaku menunjuk jarinya ke mukaku dan berteriak ‘Diam atau aku
hajar kau’,” imbuhnya.
Represi itu ditengarai bermula dari pembelaan mahasiswa terhadap buruh
perusahaan Jasic Technology di Shenzhen, Cina bagian tenggara. Asisten
profesor di The Hong Kong Polytechnic University, Jenny Chan,
menuliskannya di /Hong Kong Free Press/
<https://www.hongkongfp.com/2018/09/01/shenzhen-jasic-technology-birth-worker-student-coalition-china/>
sebagai kelahiran koalisi buruh dan mahasiswa di Cina.
Pada Juni lalu para buruh ingin membentuk serikat, tapi pemerintah Cina
tidak mengijinkannya. Buruh kemudian menggelar aksi protes selama satu
bulan. Pada bulan Juli lusinan buruh ditangkap oleh aparat kepolisian.
Lainnya mengaku dipukuli oleh personil keamanan saat menggelar protes.
Sekelompok mahasiswa sayap kiri yang mendaku sebagai Maois turun gunung.
Mereka menggelar aksi di beberapa kota hingga menjadi perhatian
nasional. Namun, semakin besar perhatian publik, semakin keras juga
represi pemerintah.
Shen Mengyu adalah aktivis lulusan Sun Yat-sen University, salah satu
kampus elite di Cina bagian tenggara. Reputasinya cukup baik sebagai
salah satu koordinator aksi protes. Pada 11 Agustus 2018, ia diciduk
oleh sekelompok pria tak dikenal. Untungnya ia dilepas tak lama kemudian.
Baca juga: Bagaimana Xi Jinping Menjelma Jadi Mao Zedong KW II
<https://tirto.id/bagaimana-xi-jinping-menjelma-jadi-mao-zedong-kw-ii-czku>
Nasib yang lebih buruk menimpa Yue Xin, aktivis lulusan Peking
University. Ia bertugas mempublikasikan surat terbuka yang menyerukan
agar mahasiswa lintas-kampus di Cina bersolidaritas untuk buruh dengan
cara menandatangani petisi.
Pada tanggal 24 Agustus 2018 Xin menghilang. Demikian juga beberapa
rekan seperjuangannya. Tidak ada laporan penangkapan resmi yang
diumumkan oleh kepolisian. Xin dan kawan-kawan masih tidak diketahui
keberadaannya hingga kini.
Tiada yang lebih ironis dari pemerintahan yang dikuasai partai komunis
namun berupaya membungkam gerakan yang diinisiasi generasi muda komunis.
Apalagi jika bersandar pada fakta bahwa pemerintah Cina-lah yang
mendorong secara kuat agar ajaran Marxisme dipelajari di kampus-kampus.
Mereka juga melarang ideologi-ideologi Barat lain seperti liberalisme
dan demokrasi yang dianggap "membahayakan" negara.
“Sekarang mereka sudah mengamalkannya sepenuh hati, tapi justru
pemerintah merepresi mereka. Ini adalah buah dari apa yang dilakukan
pemerintah Cina sendiri,” kata Elie Friedman, profesor bidang dunia
perburuhan internasional di Cornell University, Amerika Serikat, kepada
Westcott dan Xiong.
Friedman selama ini telah sejak lama menjalin relasi dengan para aktivis
pembela buruh Cina. Idealisme yang dipegang oleh para aktivis melahirkan
pandangan negatif terhadap Partai Komunis Cina. Represi itu, jelasnya,
justru membuat pandangan negatif tersebut kian menebal.
“Apalah artinya sosialisme jika tak membela kaum pekerja?” imbuhnya.
Situasi di luar kampus juga tak kalah paradoksial. Presiden Xi Jinping
sangat antusias untuk mendorong rakyatnya agar mempelajari Marxisme
sejak diangkat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina pada 2012.
Baca juga: Deng Xiaoping, Pemimpin yang Membunuh Komunisme Cina
<https://tirto.id/deng-xiaoping-pemimpin-yang-membunuh-komunisme-cina-cESD>
Dua tahun lalu /Financial Times/
<https://www.ft.com/content/63a5a9b2-85cd-11e6-8897-2359a58ac7a5>
mempublikasikan laporan panjang Jamil Anderlini perihal popularitas Mao
yang sedang naik-naiknya. Hal ini mampu dicapai melalui propaganda
sekaligus pemblokiran akses terhadap sejarah kelam sang tokoh, salah
satunya bencana kelaparann usai Mao meluncurkan program "Loncatan Jauh
ke Depan".
“Sang diktator kini lebih populer ketimbang masa-masa lain sejak
kematiannya. Tahun lalu hampir 17 juta orang yang berziarah ke kota
kelahirannya, Shaoshan, di pedesaan Cina tengah. Pada pertengahan
1980-an, hanya 60.000 orang yang berziarah,” tulis Anderlini.
Para analis politik mengkritik popularitas itu hanya jalan untuk
mengawetkan kekuasaan Jinping. Pada Oktober 2017 Partai Komunis Cina
merevisi konstitusi negara, dan secara formal mengangkat status Jinping
menjadi sejajar dengan Mao Zedong dan Deng Xiaoping.
Mao pada akhirnya hanya dikultuskan secara simbol, bukan ide, apalagi
praktiknya. Pemerintah Cina justru ketakutan saat anak-anak muda yang
mendaku sebagai pejuang sosialisme ala Mao dan getol menyuarakan
kesenjangan ekonomi yang kian dalam, budaya korupsi, atau materialisme
yang membelit masyarakat Cina hari ini.
Huizhou, Provinsi Guangdong, adalah bagian dari megalopolis Delta Sungai
Mutiara di Cina bagian Tenggara. Kota ini tumbuh berkat industri
elektronik. Imigran datang dari berbagai penjuru, dan pada akhirnya
muncul masalah-masalah perburuhan.
infografik represi rezim cina
Buruh-buruh yang memperjuangkan haknya tidak sendirian. Mereka ditemani
oleh mahasiswa-mahasiswa kiri yang kenyang melahap buku pemikiran Marx,
Lenin, dan Mao. Mereka saling memanggil “kamerad” dan mengenakan kaos
bertuliskan “persatuan adalah kekuatan.”
Mereka turun ke jalan, sejajar dengan para buruh, sambil memegang
spanduk yang berbunyi “membentuk serikat buruh bukanlah kejahatan”.
Mereka membuat reka ulang adegan buruh yang tertindas, lalu berkata
bahwa situasi tersebut adalah yang sedang terjadi di pabrik-pabrik.
Baca juga: Asa Demokrasi Cina yang Lumat di Lapangan Tiananmen
<https://tirto.id/asa-demokrasi-cina-yang-lumat-di-lapangan-tiananmen-cHFP>
Gelombang demonstrasi di Huizhou pada pertengahan tahun ini lagi-lagi
tercatat sebagai aliansi langka antara buruh dan mahasiswa.
Javier C. Hernandez, yang melaporkan untuk /New York Times/
<https://www.nytimes.com/2018/09/28/world/asia/china-maoists-xi-protests.html>,
mengutip salah satu demonstran bernama Chen Kexin. Kexin adalah seorang
mahasiswa senior di Renmin University, Beijing. Dengan percaya diri ia
bilang “pemerintah tidak bisa menarget kami, para Marxis, pemuja
sosialisme, pembela buruh”.
Kexin keliru. Pada pagi hari, tertanggal 24 Agustus 2018, aparat
kepolisian menggrebek kamar apartemen para aktivis di Huizhou dan
menahan 50-an di antaranya. Saat polisi merangsek masuk, para aktivis
bergandengan tangan dan menyanyikan mars buruh sedunia “Internationale”.
Akhir September kemarin, saat berita dipublikasikan, beberapa orang di
antaranya sudah dibebaskan. Tapi masih ada 14 aktivis dan buruh lain
yang jadi tahanan rumah. Tuduhan polisi: aktivis dan buruh bertindak
atas provokasi LSM asing.
Eksistensi aktivis sayap kiri otomatis membantah stereotip bahwa
generasi muda Cina itu apolitis, egois, dan terobsesi pada uang semata.
Hernandez meminta pendapat Eric Fish, penulis yang fokus mendedah
karakteristik generasi milenial Cina. Fish bilang bahwa generasi yang
lahir setelah tragedi pembantaian di Lapangan Tiananmen (1989) tidak
memiliki ketakutan naluriah terhadap otoritas yang dipegang kaum tua.
“Mereka lebih bersedia untuk turun ke jalan dan menyuarakan aspirasinya
keras-keras. Mereka tidak terlalu memikirkan apa risikonya,” kata Fish.
Baca juga artikel terkait PENANGKAPAN AKTIVIS
<https://tirto.id/q/penangkapan-aktivis-fWw?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan
<https://tirto.id/author/akhmadmuawal?utm_source=internal&utm_medium=topauthor>
(tirto.id - Politik)
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf
Beberapa aktivis sayap kiri yang ditangkap secara sewenang-wenang masih
menghilang hingga sekarang.