merdekakan Papua dari "Ibu pertiwinya di bawah kekuasaan ORBA dengan dan tanpa 
Suharto!!"

---In GELORA45@yahoogroups.com, <jetaimemucho1@...> wrote :

 
 Ibu pertiwinya di bawah kekuasaan ORBA dengan dan tanpa Suharto!! Jangan lupa 
itu!!
 

 
 On Sunday, December 9, 2018, 10:10:17 PM GMT+1, Sunny ambon ilmesengero@... 
[GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com> wrote: 
 

 

   
 

 Keuntungan masyarakat  Papua dalam pelukan ibu  Pertiwi !

  hehehehe



 On Sun, Dec 9, 2018 at 9:55 PM Tatiana Lukman jetaimemucho1@... 
mailto:jetaimemucho1@... [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com 
mailto:GELORA45@yahoogroups.com> wrote:

   
 Hutan http://www.mongabay.co.id/category/hutan/
 Warga Adat Papua Desak Pemerintah Cabut Izin Kebun Sawit Bermasalah
 oleh Lusia Arumingtyas [Jakarta] 
http://www.mongabay.co.id/byline/lusia-arumingtyas-jakarta/ di 4 December 2018 
https://www.facebook.com/sharer/sharer.php?u=http%3A%2F%2Fwww.mongabay.co.id%2F2018%2F12%2F04%2Fwarga-adat-papua-desak-pemerintah-cabut-izin-kebun-sawit-bermasalah%2F
 
https://twitter.com/intent/tweet?text=Warga%20Adat%20Papua%20Desak%20Pemerintah%20Cabut%20Izin%20Kebun%20Sawit%20Bermasalah&url=http%3A%2F%2Fwww.mongabay.co.id%2F2018%2F12%2F04%2Fwarga-adat-papua-desak-pemerintah-cabut-izin-kebun-sawit-bermasalah%2F&via=Mongabay
 
https://www.linkedin.com/shareArticle?mini=true&url=http%3A%2F%2Fwww.mongabay.co.id%2F2018%2F12%2F04%2Fwarga-adat-papua-desak-pemerintah-cabut-izin-kebun-sawit-bermasalah%2F&title=Warga%20Adat%20Papua%20Desak%20Pemerintah%20Cabut%20Izin%20Kebun%20Sawit%20Bermasalah
 
http://www.mongabay.co.id/2018/12/04/warga-adat-papua-desak-pemerintah-cabut-izin-kebun-sawit-bermasalah/?fbclid=IwAR1pXJ0ZpRyZzAnwPSrfPrQwH1FU4e2ewNRDrg4q7KwyyumOT1fQYaU0WYw#


 

 ”Keindahan alam mu yang mempesona. Sungaimu yang deras mengalirkan emas. Syo.. 
Ya Tuhan.. Trima.. kasih...”
 Petikan refren dari lagu Tanah Papua mengumandang saat aksi damai masyarakat 
Papua di depan Indofood Tower, Jakarta, medio November lalu. Sekitar 20 
perwakilan lima komunitas masyarakat Papua menyuarakan hak lahan mereka.
 Mereka mendesak PT Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP), anak usaha Salim Group, 
juga punya Indofood, segera keluar dari tanah mereka.
 ”Kitorang makan sagu, bukan sawit.” Begitu tulisan pada poster yang dibawa 
Lidya Monalisa Upaya, dari Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Gereja 
Kristen Injil Tanah Papua.
 Hari itu, Mona, membawa poster dan spanduk dalam aksi di Jakarta. Mereka 
menuntut Indofood bertanggung jawab terhadap eksploitasi perkebunan yang 
merampas hak dan merusak hutan Papua.
 “Tanah Papua itu tidak kosong,” kata mereka berulang-ulang saat dialog dan 
kampanye pada kementerian dan lembaga di Jakarta. BAPP memiliki konsesi 19,369 
hektar di Lembar Kebar, Tambaraw.
 Samuel Ariks, tokoh masyarakat Lembah Kebar mengatakan, BAPP beroperasi di 
tanah Suku Mpur, tak sesuai apa yang dibicarakan dengan masyarakat dan sepihak. 
”Awalnya perusahaan katakan hanya melakukan uji coba kebun jagung selama tiga 
tahun pada lahan terbuka dan alang-alang, kenyataan malah menggusur dan 
membongkar hutan maupun dusun sagu masyarakat,” katanya..
 Perusahaan, katanya, juga tak terbuka kepada masyarakat terkait izin operasi, 
terutama soal ganti rugi termasuk analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
 Dari luasan konsesi BAPP, katanya, ada enam marga suku asli Papua tinggal 
disana, mereka kaget saat lahan sudah ada hak guna usaha (HGU).
 ”Kami berharap pemerintah memberikan keadilan, karena keadilan kita bisa 
hidup, hutan kami dilindungi, air dilindungi, tanah dilindungi, habitat satwa 
dilindungi. Kami hidup karena hutan, bukan karena perusahaan.”
 Sebelum ke Jakarta, mereka sudah protes dengan menyampaikan surat penolakan 
kepada bupati dan DPRD kabupaten hingga provinsi. Hingga kini, tidak ada 
tanda-tanda pembicaraan dan peninjauan lanjutan.
 ”Saya kesini meminta agar izin dicabut, karena hutan kami sudah digusur, kami 
kasih cuma savana dan ilalang-ilalang, kemudian dia bongkar lahan kasih habis.”
 Manimbu, suku Mpur, Kebar, Tambrauw mengatakan, hutan dan sagu mereka habis.
 Tak hanya BAPP, Indofood pun punya empat perusahaan perkebunan di Tanah Papua, 
tiga di Papua Barat, yakni PT Subur Karunia Raya (38.620 hektar) di Teluk 
Bintuni, PT Rimbun Sawit Papua (30.596 hektar) di Fakfak, PT Menara Wasior 
(32.173 hektar) di Teluk Wondama, dan PT Tunas Agung Sejahtera (40.000 hektar) 
di Mimika, Papua.
  
Lahan dan hutan adat yang sudah berubah jadi hamparan kebun dan lahan tani 
perusahaan di Lembar Kebar, Tambaraw, Papua Barat. Foto: Hugo Asrouw  
 
 Tak berelasi dengan Indofood?
 Stefanus Indrayana, General Manager Corporate Communication PT Indofood Sukses 
Makmur Tbk mengatakan, tidak mengenal BAPP.
 ”Setelah kami cek. Kami tidak mengenal perusahaan itu, PT Subur Karunia Raya, 
PT Rimbun Sawit Papua, PT Menara Wasior, PT Tunas Agung Sejahtera, bukan milik 
Indofood Sukses Makmur Tbk,” katanya.
 Sebelumnya, dia pun sempat mengatakan, sepengetahuan dia, Indofood tidak atau 
belum memiliki bisnis di Papua.
 
 Izin bermasalah
 BAPP mendapatkan izin pelapasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Izin 
pelepasan kawasan keluar 2009, sejak 2015, lahan itu ditanami jagung.
 Dengan perbedaan komoditi ini, kata Tigor Gempita Hutapea dari LBH Jakarta, 
memperlihatkan secara administrasi izin BAPP bermasalah. Kini, mereka menanam 
sawit dan jagung di atas izin perkebunan sawit.
 ”Ada potensi pidana oleh bupati yang mengeluarkan izin maupun perusahaan yang 
beroperasi,” katanya.
 BAPP beroperasi tanpa amdal dan izin lingkungan, katanya, jelas melanggar UU 
Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tak hanya 
itu, izin lokasi dan izin perkebunan usaha untuk jagung keluar hanya dua hari.
 Tigor mendesak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menindak 
perusaahaan dan segera menghentikan aktivitas lapangan.
  
Lahan dan hutan adat yang sudah bersih dan masuk konsesi perusahaan di 
Tambaraw. Foto: Hugo Asrouw  
 Bukan hanya kebun sawit di Papua Barat, yang bermasalah. Di Papua, juga alami 
serupa, seperti di Boven Digoel. Petrus Kinggo, Suku Mandobo, mengatakan, Kali 
Kao, Boven Digoel juga terdampak karena ada pembukaan lahan oleh anak usaha PT 
Korindo Grup, PT Tunas Sawa Erma, di lahan masyarakat, tepat di Blok E Kali Kao 
sekitar 20.000 hektar.
 ”Awalnya mereka tidak ada keterbukaan dengan masyarakat. Tidak ada informasi, 
tidak ada keterbukaan informasi. Surat kesepakatan hanya melewati satu dua 
orang saja mengatakan sudah setuju, padahal itu rekayasa,” katanya.
 Di lahan warga itu, katanya, ada pohon damar, masarwa, meranti, sampai pala. 
Perusahaan menawarkan harga hanya Rp1.000,00 per meterkubik. Pada 1998, kalau 
masyarakat tak setuju, bakal berhadapan dengan aparat keamanan. Kini, 
masyarakat hanya jadi buruh sawit.
 “Kami minta pemerintah mencabut semua izin HGU dan kembalikan hak tanah adat,” 
katanya.
 Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka mengatakan, banyak izin-izin 
bermasalah, seperti masuk kawasan hutan ataupun gambut.. Saat usulan pelepasan 
kawasan oleh perusahaan, pemerintah tak pengecekan kembali kondisi lapangan. 
“Apakah gambut, hutan primer, ada masyarakat atau tidak dan lain-lain.”
 Pemerintah, katanya, berkontribusi terhadap kerusakan di Papua, baik 
deforestasi yang sudah atau akan terjadi.
 Adapun, deforestasi diperparah sistem pelepasan izin kawasan hutan tanpa ada 
pengawasan dan evaluasi serta penegakan hukum kuat di hutan Papua.
 Dia pun berharap, dengan rencana implementasi Instruksi Presiden Nomor 8/2018 
soal moratorium izin sawit mampu jadi langkah kuat ada perubahan.
 Dia bilang, perlu langkah maju dan berani buat kaji ulang atau evaluasi dan 
pencabutan izin.
 Yayasan Pusaka, katanya, melihat banyak kasus izin di Papua memiliki izin 
tetapi tak aktif atau jadi bank tanah (land bank) dalam bisnis perkebunan.
 Yohanes Akwan, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Serikat Buruh Independen 
(DPD GSBI) mendesak pemerintah tak hanya evaluasi izin juga menaikkan status 
lahan.
 ”Buktikan jika pemerintah mendorong Papua Barat sebagai provinsi konservasi, 
status lahan alokasi penggunaan lain yang tutupan masih bagus naik status jadi 
hutan lindung.”
  
Izin pelepasan kawasan di hutan produksi konversi untuk kebun sawit, tetapi di 
daerah izin berubah jadi kebun budidaya pertanian. Warga adat di Papua Barat 
pun protes. Foto: Hugo Asrouw  
 Dia bilang, masih banyak titik gambut terancam investasi dan izin pelepasan 
dari pemerintah pusat. Salah satu, di Bintuni, sebagai kawasan ekonomi khusus 
(KEK). ”Bintuni mesti jadi perhatian karena masuk kawasan gambut dalam,” kata 
Angky, panggilan akrabnya.
 Wargapun membuat surat pernyataan sikap dan ditandatangani oleh 64 orang adat 
Papua dan koalisi masyarakat sipil yang mendukung.
 Monalisa Upuya juga membacakan surat pernyataan sikap mewakili pemilik lahan 
dan hutan adat Suku Mandobo di Kali Kao, Boven Digoel; Suku Malind di Muting, 
Merauke dan Suku Mpur di Kebar, Tambrauw. Juga, Suku Moi di Klasouw dan 
Klayili, Sorong; Suku Maybrat di Ikana, Sorong Selatan dan organisasi 
masyarakat sipil maupun keagamaan.
 Surat ini dibacakan pada setiap pertemuan dengan kementerian atau lembaga, 
seperti KLHK, Kementerian Pertanian, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan 
Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Juga saat aksi di depan gedung 
Indofood Tower.
 ”Kami kehilangan hasil hutan kayu, rotan, hewan, tanaman obat-obatan, air 
bersih tercemar dan kekayaan alam lain, sumber hidup dan mata pencaharian 
masyarakat,” kata Mona, saat aksi.
 Operasi perusahaan langsung dan berkelanjutan mengancam kerusakan hutan dan 
dusun sumber pangan warga. ”Tanah dan hutan adat kami orang asli Papua, 
dirampas dan diambil tanpa persetujuan, mufakat dan keputusan bebas masyarakat.”
 Mereka mendesak, pemerintah segera mengakui dan menghormati kedaulatan dan hak 
masyarakat asli Papua atas tanah dan hutan adat. Juga menghentikan ketelibatan 
aparat keamanan Brimbob Polri dan TNI oleh pemerintah maupun perusahaan untuk 
‘pengamanan.’ Yang terjadi, katanya, praktik intimidasi, diskriminasi dan 
kekerasan fisik dalam penanganan sengketa, protes dan keluhan warga.
 Pemerintah dan perusahaan, harus bertanggung jawab merehabilitasi hutan dan 
dusun sagu yang rusak dan hilang. Juga lakukan peninjauan dan pencabutan 
berbagai izin, perjanjian, HGU dan pemanfaatan tanah serta hasil hutan yang 
tumpang tindih di wilayah adat.
  
Aksi warga adat Papua di Jakarta, minta wilayah dan hutan adat mereka terjaga 
dari perusahaan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia  
 
 Peran agama
 Masyarakat dari Papua ini juga lakukan pertemuan di Persatuan Gereja-gereja 
Indonesia. Harapan mereka, tokoh agama bisa membicarakan dampak buruk 
perkebunan skala besar di Indonesia, yang seringkali menyengsarakan warga 
termasuk masyarakat adat.
 ”Apa yang mereka ungkapkan adalah tangisan gereja,” kata Pastor Nicodemus 
Rumbayan, di Muting, Merauke.
 Hutan bagi masyarakat adat merupakan hal sakral. Kala ada masyarakat adat, 
hutan lestari, begitu sebaliknya. Tanah adat, untuk berinteraksi demi 
mempertahankan identitas dan nilai-nilai mereka.
 ”Mengambil tanah tanpa prosedur musyawarah merupakan pengkhianatan terhadap 
kemanusiaan masyarakat adat. Bagi kelompok masyarakat adat tanah bukan harga 
ekonomis,” kata Nicodemus. Tanah dianggap pemberian Tuhan, di mana leluhur yang 
dimakamkan di situ.
 Dia pun mengutip, publikasi Paus Fransiskus dalam ensiklik (pesan tertulis 
Paus-red) Laudato si’ tentang kepedulian rumah kita besama. Ensiklik ini 
mengkritik tentang konsumerisme dan pembangunan tak terkendali, menyesalkan 
kerusakan lingkungan dan pemanasan global.
 “Artikel 145: Hilangnya satu budaya dapat sama serius atau lebih serius 
daripada hilangnya spesies tanaman atau binatang. Pemaksaan gaya hidup dominan 
terkait cara produksi tertentu dapat membawa kerugian sama besar seperti 
perubahan ekosistem.”
 Dalam artikel 146, amat penting memberikan perhatian khusus kepada masyarakat 
adat dan tradisi mereka. Mereka tak hanya suatu minoritas di tengah yang lain 
tetapi harus menjadi mitra dialog utama terutama dalam pengembangan 
proyek-proyek besar yang mempengaruhi wilayah hidup mereka.”
 Dia bilang, peranan agama sangat jelas dalam mengatasi konflik di masyarakat, 
terkait kerusakan lingkungan dan alam.
 ”Kita harus serius membangun dialog lintas agama dan lintas budaya untuk 
bertemu pada sisi paing jelas adalah pentingnya memperjuangkan kehidupan 
masayrakat adat.”
 Bunyan Saptomo, dari Dewan Mesjid Indonesia menyebutkan, permasalahan 
masyarakat terkait ketidakadilan dan menyangkut kemanusiaan. ”Ini keprihatinan 
umat beragama.”
 Konflik di masyarakat ini, katanya, karena ada kongkalingkong antara kapitalis 
dan pemerintah. Terlebih, warga sudah berupaya mengadu kepada DPRD dan 
pemerintah daerah tetapi tak ada tanggapan.
 ”Mendesak pemerintah daerah meningkatkan keterampilan, dan moralitas. Ini 
terjadi demoralitas pula pada wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan 
kepentingan masyarakat.”
  
 Keterangan foto utama: Aksi warga Papua di depan Indofood Tower Jakarta, 
pertengahan November lalu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia
  
Aksi warga adat Papua dan organisasi masyarakat sipil di Jakarta, medio 
November lalu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia


 
 
 
 
 


 
 

 
 

 
 


Kirim email ke