https://news.detik.com/kolom/d-4336477/separatisme-pembangunan-dan-perwujudan-welfare-state
Senin 10 Desember 2018, 12:46 WIB
Kolom
Separatisme, Pembangunan, dan
Perwujudan "Welfare State"
Korneles Materay - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/maskorneles>
Korneles Materay <https://connect.detik.com/dashboard/public/maskorneles>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4336477/separatisme-pembangunan-dan-perwujudan-welfare-state#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4336477/separatisme-pembangunan-dan-perwujudan-welfare-state#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4336477/separatisme-pembangunan-dan-perwujudan-welfare-state#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4336477/separatisme-pembangunan-dan-perwujudan-welfare-state#>
Separatisme, Pembangunan, dan Perwujudan Welfare State Presiden Jokowi
bersama Gubernur Lukas Enembe dalam sebuah kunjungan ke Papua
*Jakarta* -
**Hingga hari ini separatisme yakni sebuah paham atau gerakan untuk
memisahkan diri dari NKRI masih berbunyi kencang di Papua. Saat ini,
Papua terdiri dari dua provinsi yakni Papua dan Papua Barat (dulu Irian
dan Irian Barat). Gerakan mendirikan negara sendiri bermula dari proses
integrasi Irian Barat sebagai wilayah NKRI. Sebagian besar tindakan dan
aksi ini tidak mendulang perhatian dari mayoritas masyarakat Papua.
Tidak dapat dimungkiri, kaum separatis menganggap bahwa perjuangan yang
dilakukannya dalam konteks gagalnya negara (NKRI) dalam memenuhi
kewajibannya untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terkait erat
dengan Papua dan hak-hak fundamental (/fundamental rights/) masyarakat
Papua selepas kedua provinsi ini tergabung dalam bingkai NKRI.
Berbelit-belitnya persoalan yang ada telah menimbulkan banyak sekali
konflik baik secara vertikal maupun horisontal.
LIPI (2009) memetakan empat masalah Papua, yakni peminggiran dan
diskriminasi terhadap Orang Asli Papua (OAP), belum optimalnya
pembangunan sektor-sektor prioritas, kekerasan politik dan pelanggaran
HAM masa lalu, dan sejarah politik Papua. Belum terselesaikannya
masalah-masalah tersebut semakin mengokohkan para pejuang agar tuntutan
Papua diberikan hak menentukan nasib sendiri (/self determination/)
sebagai sebuah negara merdeka dapat segera dilaksanakan. Namun,
persoalan ini tidak bisa main potong kompas.
Papua milik NKRI adalah sesuatu yang final. Sukarno dalam pidatonya pada
1963 menyatakan bahwa Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk
dalam wilayah Indonesia. Di sini menandaskan bahwa perjuangan
kemerdekaan Indonesia termasuk melepaskan penjajahan di tanah Irian
Barat. Adalah Belanda sebagai penggangu integrasi Papua Barat ke dalam
Indonesia. Hal ini terbukti dari perundingan Konferensi Meja Bundar
(KMB) 1949 di mana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas seluruh
bekas wilayah jajahan Belanda, kecuali Irian Barat.
Semua orang tahu, Belanda punya kepentingan politik dan ekonomi atas
tanah tersebut. Itulah sebabnya strategi/devide et impera/ diterapkan di
sana. Sekaligus dibentuklah Dewan Nasional Papua untuk menjadikannya
sebuah negara boneka. Namun, beberapa fakta sejarah, politik, dan hukum
menjadi landasan mengapa Papua adalah NKRI dan tindakan separatisme
ilegal belum terbantahkan sampai sekarang.
Pertama, upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk merebut Irian
Barat untuk bergabung dengan Indonesia adalah dengan operasi Trikora 19
Desember 1961. Operasi ini merupakan perjuangan negara yang bukan hanya
sebagai bukti nyata Belanda adalah pengganggu, namun juga posisi tawar
secara politik (/political bargaining/) dan posisi kepentingan negara
atas Irian Barat.
Kedua, pada 1 Mei 1963 secara resmi UNTEA (/United Nations Temporary
Executive Authority/) menyerahkan kembali Irian Barat kepada Indonesia.
UNTEA kala itu sebuah badan pelaksana sementara PBB dengan persetujuan
Belanda dan Indonesia yang bertugas untuk menjalankan pemerintahan Irian
Barat dalam masa satu tahun. Badan ini beroperasional dalam rangka
penyelesaian konflik antara Indonesia dan Belanda terkait status Irian
Barat. Akhir konflik ditandai dengan adanya New York Agreement yaitu
sebuah perjanjian yang diprakarasai Amerika Serikat pada 1962 untuk
terwujudnya pemindahan kekuasaan atas Papua Barat dari Belanda ke Indonesia.
Ketiga, proses demokratisasi yang melibatkan rakyat Irian Barat disebut
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 atas pengawasan PBB telah
membuktikan bahwa rakyat Irian Barat kala itu memang ingin bergabung
bersama Indonesia. Keempat, Resolusi PBB No. 2504 ditetapkan dalam
Sidang Umum PBB pada 19 November 1969 menyatakan mengakui hasil Pepera.
Dengan demikian, kehendak melepaskan diri secara parsial dapat dianggap
sebagai tindakan merongrong kedaulatan NKRI.
Tetapi, bahwa militansi kelompok separatis itu masih kuat, pastilah ada
kepentingan di balik ini semua. Belakangan sifatnya semakin brutal dan
sadis. Sehubungan dengan itu, tak ada yang menyangka, 2 Desember 2018
lalu terjadi lagi sebuah tragedi kematian bagi para pekerja Trans Papua
di Yigi, Kabupaten Nduga, Papua. Pelaku lagi-lagi kelompok separatis
yang teridentifikasi dalam sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Mereka adalah kelompok yang menghendaki /self determination/ itu. Para
pekerja dibunuh dengan cara ditembak dan digorok. Tentu ini peristiwa
yang mengejikan.
Sebagai bangsa yang mencintai keutuhan NKRI dalam satu rasa memiliki
terhadap Tanah Air dan kemanusiaan sudah sepatutnya kita mengutuk keras
perbuatan bengis tersebut. Oleh karena itu, aparat penegak hukum (baca:
Polri) harus segera membongkar sampai akar-akarnya peristiwa ini. Harus
pula aparat pertahanan dan keamanan (baca: TNI) meningkatkan pengawasan
dan kewaspadaan terhadap tindakan berlanjut yang dapat memecah belah NKRI.
*Nasib Pembangunan
*
Harus diakui bahwa Papua adalah NKRI tidak dapat diganggu gugat, tetapi
bahwa Papua belum menerima keadilan dari negara ini rasanya kita masih
bisa sepakat. Ternyata nasib Papua belum cukup bagus untuk mengatakan
telah memperoleh apa yang seharusnya diterimanya. Negara telah lama
mengabaikannya. Hingga hari ini, barisan data-data masih menunjukkan
Papua merupakan daerah di Indonesia yang paling tertinggal dari segi
pembangunan fisik dan manusia, terbelakang secara pendidikan, ekonomi,
dan teknologi, atau miskin karena kebanyakan masyarakat hidup dalam
keprihatinan akan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar yang memadai.
Sementara, bila kita menukik lebih dalam, Papua termasuk daerah yang
kaya raya. Ternyata kekayaan itu hanya kabar dari mereka yang punya
akses untuk meraupnya. Uranium, emas, mineral, tembaga, minyak, flora
dan fauna betul mengendap dan tumbuh di tanah panas ini, tapi itu bukan
milik orang-orang yang mendiaminya. Bukan milik mereka yang menjaga
hutan atau menjelajahi pantai sembari merawatnya. Bukan dinikmati
orang-orang Papua yang menari dan memuji Tuhannya dan alamnya karenanya
Tuhannya dan alam semesta menyediakan semakin lebih banyak lagi,
melainkan diambil tangan para pencuri yang datang ke sana.
Selama ini, diskursus elite tentang Papua dalam kerangka pembagian kue
kekayaan alamnya semata. Hal ini karena Papua kemudian termasuk daerah
yang kaya raya dan masih menjadi lumbung kemakmuran elit politik dan
pemimpin lembaga negara kita baik pusat maupun daerah.
Kini ada angin segar perbaikan nasib pembangunan di Papua. Tidak
bermaksud mengatakan tidak ada sama sekali perhatian dari pemimpin kita
sebelumnya, namun terhitung sejak tahun 2014 hingga detik ini di era
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, wacana pembangunan nasional di
kawasan Indonesia Timur terutama Papua patut diacungi jempol. Bahkan
upaya pemerintah untuk membangun Papua sekarang boleh dikatakan
merupakan langkah paling tepat dan maju dalam peradaban bangsa
Indonesia. Papua dianakemaskan pemerintah.
Hal-hal yang dulu dianggap mustahil seperti kebijakan satu harga BBM,
akses logistik mudah, dan jalan trans Papua sekarang sudah terlihat
biasa. Selain itu, pembangunan infrastruktur di bidang kesehatan,
pendidikan, pasar, pemberdayaan masyarakat turut digalakkan di seantero
Papua. Yang menarik pula, sentuhan kemanusiaan seperti kunjungan
presiden, para menteri, pemimpin-pemimpin lembaga-lembaga negara secara
rutin ke Papua mengukir banyak kenangan manis tentang perhatian negara
terhadap Papua dan sudah seharusnya demikian.
Saya sendiri sebagai orang yang pernah tinggal di Papua dan pernah
mencoba memahami Tanah Cendrawasih tersebut termasuk bersyukur dan
tersentuh melihat adanya optimisme akan maju pesat dan sejajar dengan
daerah lain atau mungkin lebih baik lagi. Seharusnya visi keadilan
sosial seperti ini yang sejak dulu digarap di Papua untuk mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan kepada masyarakat setempat. Dan, karena itu
mungkin tidak ada tuntutan melepaskan diri.
*Perspektif /Welfare State
/*
Ambisi atau upaya menegakkan keadilan sosial di Papua merupakan sebuah
bentuk perwujudan /welfare state. Welfare state/ artinya negara
kesejahteraan yakni sebuah konsep tentang suatu bentuk pemerintahan
demokratis yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan rakyat, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan
negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang
menemui ajalnya karena tidak memperoleh jaminan sosial.
Presiden Jokowi sejak awal telah mengusung pendekatan kesejahteraan
(/welfare approach/) sebagai pintu masuk mewujudkan /welfare state. /Ia
memilih berbeda dengan para pendahulunya yang sering menggunakan
pendekatan keamanan (/security approach/). Dalam konsepsi /welfare
approach/, pemerintah diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan
kesejahteraan umum (/bestuurzorg/), artinya suatu kewajiban untuk
menyelenggarakan fungsi yang meliputi pengaturan, pelayanan,
pembangunan, pemberdayaan, dan perlindungan.
Dalam pendekatan ini, pemerintah hanya punya pilihan untuk terus
berperan aktif mewujudkan tujuan negara. Tidak ada alasan untuk tidak
membangun atau membiarkan terlantar suatu pekerjaan dan pelayanan hanya
karena sebuah alasan tertentu, misalnya dana yang kurang atau keamanan.
Meskipun dana dan keamanan merupakan faktor penting dalam menentukan
kebijakan pembangunan, namun itu bukan alasan untuk berhenti. Artinya,
selalu ada jalan tergantung bagaimana komitmen realisasinya.
Sebetulnya, pendekatan ini bertalian erat dengan tujuan berdirinya
negara Republik Indonesia yakni mewujudkan seluruh masyarakat yang adil
dan sejahtera. Hal ini sendiri telah disadari dan dipahami betul oleh
para pendiri negara Indonesia bahwa negara yang berdasarkan Pancasila
ini harus meletakkan konsep negaranya di atas negara kesejahteraan.
Disadari penuh bahwa negara kesejahteraan yang dimaksudkan ialah
kesejahteraan rakyat yang tidak bisa ditawar-tawar karena itu adalah
amanat konstitusi. Dalam pada itu, rakyat pula harus dilibatkan dalam
setiap upaya menyejahterahkannya. Maka, pembangunan Papua pun harus
melibatkan masyarakat lokal sehingga mereka juga dapat menikmati
program-program yang ada. Bahwa kemudian mereka punya kebanggaan akan
hasil kerjanya pula. Inilah waktunya untuk mewujudkan kesejahteraan,
maka hentikanlah segala bentuk separatisme, mari membangun Papua.
*Korneles Materay, S.H */alumnus Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, pengamat hukum, bekerja sebagai Corporate Legal Officer
/
*(mmu/mmu)*
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca detik, isi dari tulisan di luar
tanggung jawab redaksi. Ingin membuat tulisan kamu sendiri? Klik di sini
<https://news.detik.com/kolom/kirim> sekarang!
papua <https://www.detik.com/tag/papua/> infrastruktur papua
<https://www.detik.com/tag/infrastruktur-papua/> separatisme
<https://www.detik.com/tag/separatisme/>