https://tirto.id/nasib-tak-tentu-tapol-papua-dan-maluku-di-bawah-jokowi-cuLD



<https://aurum.tirto.id/www/delivery/ck.php?n=a4c88c75&cb=a79b574b>*Nasib
Tak Tentu Tapol Papua dan Maluku di Bawah Jokowi*

17 Agustus 2017

Dibaca Normal 3 menit


Saat ini hanya ada antara satu sampai enam tahanan politik (tapol) Papua di
balik jeruji besi, turun dari angka 37 orang
<http://www.papuansbehindbars.org/?page_id=17> pada akhir Agustus 2016.
Angka ini kami dapatkan dari sejumlah sumber Human Rights Watch, yang biasa
mengunjungi atau mengurus keperluan hukum tapol.

Namun, jumlah tapol Papua yang sesungguhnya belum bisa dipastikan.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) tak menjawab
permintaan data resmi tapol yang dimohonkan oleh Human Rights Watch
<https://www.hrw.org/news/2017/08/01/letter-human-rights-watch-minister-yasonna-laoly>,
organisasi pemantau hak asasi manusia berbasis di New York, tempat saya
bekerja sebagai peneliti untuk Indonesia.

Keengganan Kemenkumham untuk memastikan jumlah tapol yang berkurang itu
menyiratkan gambaran menarik: tak hanya bahwa puluhan orang Papua yang didakwa
dan dihukum penjara ini memang menghadapi ketidakadilan
<https://www.hrw.org/report/2007/02/20/protest-and-punishment/political-prisoners-papua>
lantaran semata menyuarakan aspirasi politik secara damai, tetapi juga
menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo memenuhi janji
<http://www.bbc.com/news/world-asia-32677259> membebaskan tahanan politik
Papua “… dalam rangka bingkai rekonsiliasi untuk terwujudnya Papua damai
<https://tirto.id/ham-dan-papua-yang-raib-dalam-pidato-kenegaraan-jokowi-cuEJ>.”


Pada Mei 2015, Jokowi <https://tirto.id/m/joko-widodo-g3> mengambil langkah
yang belum pernah ada sejarahnya: seorang kepala negara Indonesia datang ke
penjara Abepura di Jayapura dan secara pribadi menyerahkan
<https://www.theguardian.com/world/2015/may/10/joko-widodo-releases-five-west-papuan-political-prisoners-and-pledges-reforms>
dokumen pengampunan atau grasi bagi lima narapidana Papua. Dalam upacara
sederhana di penjara, Jokowi mengatakan pembebasan para tahanan politik
tersebut “hanya awal” dari upaya pemerintah untuk mengosongkan penjara di
Papua dari para tapol.

Enam bulan kemudian, Kemenhukam membebaskan Filep Karma
<https://tirto.id/saat-dijajah-belanda-cuma-1-orang-papua-dibunuh-sekarang-b6cJ>,
tahanan politik Papua yang menjadi simbol
<https://www.hrw.org/news/2015/11/23/dispatches-indonesia-frees-papuan-political-prisoner>
internasional atas pelanggaran negara Indonesia terhadap kebebasan
bereskpresi dan berserikat orang Papua.

Menurut Karma, pembebasan tapol Papua oleh Kemenhukam lewat mekanisme grasi
dan remisi—bukan amnesti atau abolisi yang menuntut pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.

“Saya maunya abolisi, karena saya tidak bersalah, saya menyampaikan
aspirasi secara damai,” katanya. Ia bahkan dipaksa keluar dari penjara
Abepura.

Pemerintah Indonesia menghadapi masalah
<https://www.hrw.org/report/2015/11/10/something-hide/indonesias-restrictions-media-freedom-and-rights-monitoring-papua>
keamanan yang masuk akal di Papua: dari serangan para gerilyawan Organisasi
Papua Merdeka hingga demonstrasi yang disertai kekerasan. Namun, tanggapan
aparat keamanan sering ngawur terhadap ketidakpuasan orang Papua,
termasuk pembatasan
akses ke Papua dan Papua Barat
<https://theconversation.com/indonesias-opening-of-papua-still-needs-to-bridge-the-gap-between-reality-and-rhetoric-50399>
selama puluhan tahun terhadap media internasional, akademisi, dan pengamat
Perserikatan Bangsa-bangsa, serta kegagalan aparat keamanan untuk
membedakan antara tindak kekerasan dan penyampaian aspirasi politik secara
damai.



Sayangnya, langkah-langkah yang diambil Jokowi untuk membebaskan tahanan
politik Papua bakal berumur pendek, kecuali pemerintah menghapuskan
pelbagai aturan soal “makar” yang terbukti bisa dipakai bagi orang macam
Filep Karma.

Orang seperti Karma menyuarakan aspirasi politik “Papua Merdeka” secara
damai tetapi dipenjara puluhan tahun lewat pasal 106 dan 110 dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
<http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/node/38>.
Aparat keamanan Indonesia melakukan banyak penangkapan dan pengadilan
terhadap para aktivis yang mengibarkan simbol-simbol “separatisme” seperti
bendera Bintang Fajar (Papua) dan bendera Republik Maluku Selatan.

Para aktivis tersebut melakukan demonstrasi politik secara damai, tanpa
kekerasan sama sekali. Ia terjadi terus-menerus meski pada era Presiden
Jokowi, aksi para aktivis tersebut—termasuk dari Komite Nasional Papua
Barat, Aliansi Mahasiswa Papua, dan Front Rakyat Indonesia untuk West
Papua—dibubarkan dan kerap kali disertai pemukulan dan ditahan hingga malam
hari. (Human Rights Watch tidak mengambil sikap apa pun soal hak menentukan
nasib sendiri atau *self-determination*, tetapi menolak hukuman penjara
bagi orang yang secara damai menyatakan dukungan bagi penentuan nasib
sendiri.)

Banyak orang Papua mengeluh pertanggungjawaban minim selama berpuluh tahun
sejak 1960-an terhadap pelbagai pelanggaran oleh aparat keamanan Indonesia.
Reaksi keras dari aparat keamanan terhadap aksi damai “Papua Merdeka” ini
mengakibatkan segudang pelanggaran hak asasi manusia.

Lebih dari sepuluh tahun terakhir, Human Rights Watch mendokumentasikan
<https://www.hrw.org/report/2007/07/04/out-sight/endemic-abuse-and-impunity-papuas-central-highlands>
puluhan kasus aparat keamanan—dari kepolisian, militer, intelijen, hingga
sipir penjara—menggunakan kekuatan berlebihan saat menghadapi orang-orang
Papua yang memperjuangkan hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai.

Pada April 2016, pemerintahan Jokowi mengumumkan pembentukan sebuah “tim
terpadu
<https://www.hrw.org/news/2016/05/24/match-words-action-papua-abuses>”
untuk penanganan dugaan lebih dari selusin pelanggaran hak asasi manusia
paling serius di Papua. Namun, pemerintahan Jokowi tak memberi kekuasaan
dan pendanaan memadai agar tim tersebut bisa bekerja secara layak.

Dan pemerintahan Jokowi gagal total untuk menghadirkan pertanggungjawaban
atas pelanggaran yang lebih baru di Papua.

Contohnya, tanggapan resmi atas pembunuhan
<https://www.hrw.org/news/2014/12/10/indonesia-security-forces-kill-five-papua>
yang dilakukan aparat keamanan terhadap beberapa pemuda di Enarotali,
Kabupaten Paniai, pada 8 Desember 2014. Meski telah dilakukan tiga
penyelidikan
<https://www.hrw.org/news/2014/12/24/indonesia-joint-inquiry-needed-papua-killings>
resmi yang terpisah atas penembakan itu, ditambah janji Presiden Jokowi
<https://www.hrw.org/news/2016/05/24/match-words-action-papua-abuses> pada
Desember 2014—untuk secara menyeluruh menyelidiki dan menghukum aparat
keamanan yang terlibat dalam kematian tersebut—sejauh ini tak ada
pertanggungjawaban sama sekali. Dan saat kasus Enarotali belum ada jawaban,
pada 1 Agustus 2017, polisi kembali menembak mati pemuda Yulius Pigai
<https://tirto.id/filep-karma-kami-sudah-tidak-percaya-pemerintah-indonesia-cudb>
dari Kabupaten Deiyai, Papua Barat.

Saya khawatir, kita mungkin tak akan pernah mengetahui duduk perkara dan
siapa yang bertanggungjawab terhadap kematian Pigai—sama dengan puluhan
kasus pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Tutup Mata atas Penderitaan Tapol Maluku

Pemerintahan Jokowi juga menutup mata terhadap penderitaan para tahanan
politik dari Kepulauan Maluku.

Sebanyak 13 tapol Maluku tetap berada di penjara Nusakambangan dan Porong
di Pulau Jawa. Mereka adalah sekumpulan tapol terakhir Maluku dari total 28
tahanan yang dinyatakan bersalah
<https://www.hrw.org/news/2016/03/16/indonesias-forgotten-political-prisoners>
dalam kasus makar karena melakukan demonstrasi dan menari cakalele pada
Juni 2007 saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Jarak penjara dan rumah mereka di Ambon sekitar 3.000 kilometer. Biaya
perjalanan antara Ambon dan penjara-penjara tersebut sungguh memberatkan
keluarga-keluarga mereka. Kebanyakan 13 tapol tersebut adalah petani dan
nelayan, dan belum pernah bertemu sama sekali dengan anggota keluarga
mereka—orangtua, saudara, istri dan anak—sejak pemerintah Indonesia
memindahkan mereka dari Ambon ke Jawa pada 2009. Isolasi tersebut
menimbulkan tekanan finansial, psikologis, dan emosional bagi para tahanan
dan keluarga mereka.

Pada April 2016, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly secara lisan menyatakan
komitmen
<https://photos.google.com/share/AF1QipMWD-kHPTdfH5fDw6YaxKSIlgiDpLArOFFW7K_eSfKj4v2Lr8aY28t7tdOkleZS0Q?key=Q0c1RkxvemZ0aW1kbHA3bkwycEJ1NWVXeC1CS2xn>
saat bertemu delegasi Human Rights Watch untuk mengatur agar para tahanan
Maluku dipindahkan ke penjara Ambon. Namun, lebih dari setahun kemudian,
mereka tetap di balik jeruji besi, jauh dari keluarga mereka, tanpa harapan
bisa melihat pertumbuhan anak-anak mereka, hingga masa tahanan mereka
berakhir pada 2027.

Saya kira segenap upaya pemerintahan Jokowi untuk membebaskan tahanan
politik adalah langkah baik yang telah lama tertunda. Tetapi Indonesia tak
bisa menyebut diri sebagai negara demokratis, negara berkemajuan, selama
masih memenjarakan warga negara hanya karena menggunakan hak berekspresi
dan berserikat.


**) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak
menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id <https://tirto.id/>.*

Kirim email ke