https://tirto.id/kisah-tapol-maluku-jokowi-039kasih-pulang-suami-torang039-cw24
Kisah Tapol Maluku: Jokowi, 'Kasih Pulang Suami Torang'


Oleh: Imam Shofwan - 21 September 2017


*Negara harus segera memulangkan dan membebaskan para tahanan politik
Maluku, yang dipenjara di Ambon maupun di Jawa.*

tirto.id - Martha Sinay tak akan lupa hari penangkapan suaminya, Johan
Teterisa.

Jumat, 29 Juni 2007, Martha sedang di rumah menunggu anak-anaknya sekolah
di Neira, sebuah kampung di sebelah Aboru, Pulau Haruku. Kampung Aboru
heboh karena penangkapan itu disiarkan langsung di televisi. Tampak di
layar, Teterisa, yang bertelanjang dada, dipiting oleh aparat gabungan
pengawal presiden, polisi, dan tentara. Sesekali mereka melayangkan tinju
ke badannya sebelum dibawa ke sebuah mobil.

“Bapa ikut acara di Ambon,” kata Martha dilanda bingung. “Anak-anak
menangis.”

Ambon-Aboru dipisah laut, dan perlu sejam naik perahu motor untuk
menyeberanginya. Seminggu Martha pontang-panting mencari tahu keberadaan
suaminya di Ambon. Anak-anak ditinggal di Aboru.

“Mama ketemu Bapa di Polda. Bapa direndam air sebetis. Lantas pindah di
Tantui (markas Densus 88/Anti-Teror). Disiksa. Dipukul. Dicambuk. Direndam
dalam air. Mandi darah,” kata Martha, kini 49 tahun, menuturkan kepada saya
sembari menyeka air mata, awal Agustus lalu.

Hidup tanpa suami bikin Martha dicurigai macam-macam oleh keluarga
suaminya. Dituduh selingkuh, tak peduli anak, hingga kawin lagi. Tak hanya
menuduh lisan, mereka pun melakukan kekerasan fisik. Martha dipukul hingga
dibacok dengan parang. “Untung bagian tumpulnya yang kena *beta*,” ujarnya.

Usai penangkapan suaminya, Martha diawasi gerak-geriknya oleh aparat
keamanan. Ia dituduh sebagai simpatisan "Republik Maluku Selatan
<https://tirto.id/q/republik-maluku-selatan-c91>." Paling tidak ada lima
kali patroli "pencarian RMS." Tiap operasi, ia harus naik ke hutan sembari
membawa anaknya yang paling kecil. Dua anak lainnya dititipkan ke tetangga.

Ia turun ketika operasi selesai. Ia dan anak-anaknya kelaparan tetapi ia
tak bisa langsung memasak, harus tengok kanan-kiri dulu.

Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Tetangganya sekampung, Yuliana H. Riry,
istri Jordan Saija—tahanan politik Maluku lain yang ditangkap pada 2007 dan
divonis 17 tahun penjara serta kini mendekam di Nusakambangan—dipukuli
polisi dalam satu patroli di Aboru.

“Tiga hari setelah suami ditangkap, *beta *lagi di rumah dengan tiga anak
*mo* tidur,” kata Yuliana. Pintu rumah diketuk polisi. Istri Jordan
mendengar polisi-polisi itu bicara lewat *Handie Talkie*. Mereka berkata
bahwa “target sudah ditemukan.”

“Beta buka pintu langsung ditampar sampai terduduk di kursi dan ditendang
sampai terlempar di pojok ruangan,” tutur Etha, panggilan akrab Yuliana.

Tak ada tanya-jawab saat kejadian. Mendengar keributan di rumah Etha, para
tetangga berkumpul. Setelah menyaksikan yang terjadi pada Etha, warga marah
dan mengusir polisi yang berpatroli.

Rumah Martha juga sempat didobrak aparat yang berpatroli tetapi saat itu ia
tak di rumah.
*Dipecat dari PNS*

Bagian terberat dari suami yang dipenjara belasan tahun adalah menghidupi
anak-anak dan menyekolahkan mereka. Saat ditangkap, Johan Teterisa
meninggalkan tiga anak, yang saat itu masih sekolah dasar, SMP, dan SMA.

Martha bekerja apa saja supaya anaknya tetap bisa makan dan sekolah. Ia
bekerja sebagai tukang angkat batu, angkat pasir, berkebun, di antara hal
lain, demi bertahan hidup bersama anak-anaknya.

“Dibiayai dengan tulang sendiri, jual sayur, jual kasbi (singkong),”
ujarnya.

Johan adalah seorang guru sekolah negeri. Setelah ditangkap, Martha masih
menerima gaji suaminya. “Biasanya gajinya dibagi dua, separuh buat saya dan
separuh buat dikirim ke Bapa di Nusakambangan,” ujar Martha.

Namun, ini tak berlangsung lama. Sekitar tahun 2010, gaji suaminya diputus
saat anak keduanya hendak ujian SMA.

Martha berusaha mencari tahu kenapa gaji suaminya dihentikan. Ia bertanya
kepada kawan-kawan guru suaminya dan atasannya.

“Katanya tidak mengabdi. *Beta *tanya ke guru-guru lain di Masohi,”
ujarnya. “*Dorang *bilang, 'Bu, karena Bapa Johan tak mengajar, jadi
gajinya ditarik.'” Masohi adalah sebuah kota di Maluku Tengah, jadi Martha
harus pergi ke sana dengan perahu motor dari Pulau Haruku.

Gaji suami ditarik adalah malapetaka bagi Martha dan anak-anaknya. Untuk
makan, mereka berharap belas kasihan dari keluarganya. “Gaji ditarik paling
susah, makan saja susah, untung ada orangtua, saudara yang bisa bantu,”
tutur Martha.

Senasib dengan Johan Teterisa, tapol yang dipecat dari PNS antara lain
Petrus Rahayaan (41), David Tapilatu (63), Frans Sinmiasa (63), dan Yacobis
Tesiwarissa.

Petrus Rahayaan, ditangkap pada 2007 dan dipenjara 12 tahun, dipecat dari
pegawai tata usaha di SMU 1 Ambon setelah bekerja tujuh tahun.

David Tapilatu, ditangkap pada 2004 dan dipenjara 1 tahun, dipecat pada
2009 jelang setahun lagi pensiun. Begitu pula Yacobis, yang ditangkap pada
2006 dan dipenjara 2 tahun, dipecat saat usianya 53 tahun. Keduanya pegawai
di kantor Pendidikan dan Kebudayaan.

Frans Sinmiasa, yang pernah ditangkap pada 2010 dan dihukum 3 tahun
penjara, juga dipecat dari PNS di kantor gubernur menjelang pensiun. Saat
ini ia sudah usia lanjut dan sakit-sakitan di penjara Ambon. Ia
keluar-masuk penjara tiga kali karena kasus “bendera RMS”.

Saya membesuk Frans di Ambon tapi tak diperkenankan masuk oleh petugas.
“Bapak Angky *seng* bisa keluar kamar. Sakit dirawat di klinik. Di kamar
sudah satu minggu. Masih kaku-kaku,” ujar Daniel Malawau, 72 tahun, sesama
tahanan politik yang masih ditahan di penjara Ambon.

David Tapilatu juga sakit komplikasi di rumahnya, sedang Yacobis meninggal
dunia empat tahun lalu.
*Keluarga Johan Teterisa*

Ketiga anak Martha Sinay dan Johan Teterisa sudah lulus SMA. Mereka ingin
melanjutkan kuliah tetapi tak ada uang. Sambil menangis, mereka memohon
Mamanya supaya bisa dikuliahkan.

“Mama, orang sekolah jauh-jauh,” ujar Martha, meniru permintaan anak
pertama dan keduanya.

Sementara anak ketiganya ingin jadi tentara. “Ais (Yohanis Teterisa) mau
tes tentara. Mama bilang, 'Bapa su dicap. *Seng *bisa. Mama *tra* mampu.
Hidup hari-hari saja susah.'”

Dengan setengah putus harapan, Ais menjawab, “Orang dapat hidup, kita lihat
saja.”

Ketiga anak Teterisa akhirnya mencari kerja di Ambon. Karena Bapanya sudah
dicap "aktivis RMS," mereka susah mendapatkan pekerjaan bagus. Mereka
akhirnya pindah ke Jakarta.

Kini mereka menjalani hidup keras di ibu kota, pusat bisnis dan kekuasaan
Indonesia. Mereka bekerja macam-macam, dari buruh pabrik helm hingga
penarik utang.

“Di Jakarta, hidup juga susah, gaji sejuta kontrakan 800 ribu. Mereka kerja
untuk hidup mereka,” tutur Martha.

Kehidupan yang keras menjadikan mereka tak begitu mempedulikan kesehatan
dan mengonsumsi alkohol. “Kadang sehari makan sekali, kadang tak makan sama
sekali. Cuma minum,” tutur Joncard Teterisa, putra kedua Johan dan Martha.

Tubuh ketiga anak Johan Teterisa kurus kering dan mereka sering
sakit-sakitan. “Sebelum Natal kemarin, Aldo (Rivaldo, anak pertama) dan
Joni (Joncard ) sakit. Aldo sakit tipes dan Joni ginjal, asam urat, dan
jantung kiri membengkak,” tutur Martha.

Martha tak sampai hati membiarkan anak-anaknya sakit sendiri di Jakarta.
Meski tak ada uang, ia meminjam tetangga untuk menengok anak-anaknya,
Desember tahun lalu.

“Kalau melihat anak-anak menderita, kadang sakit juga. Berat. Kecewa. Tapi
mau bagaimana lagi? Terima saja. Mau bagaimana?” ujar Martha. “Setelah
dirawat Mama di Jakarta, Aldo sembuh. Mama lalu pulang ke Ambon. Lalu Joni
menyusul sakit."

Sakit Joni lebih parah dan utang belum dibayar. Akhirnya, Joni diminta
pulang ke Ambon untuk diobati dengan obat kampung.

“Awal tahun, *beta* pulang, *su* enam bulan,” tutur Joni. “Diobati dengan
ramuan, daun-daun dan akar-akar.”

Kondisi Joni sudah membaik dan ia balik ke Jakarta lagi. Martha berpesan,
“Jangan terlalu minum-minuman dan cari-cari masalah. Rajin berdoa. Karena
lagi susah. Kalau kerja, setia. Lebih baik sedikit keringat sendiri
daripada bergantung pada orang.”


Beban hidup Martha lebih berat lagi ditambah utang. Artinya, ia harus
bekerja lebih keras. Lebih lama berkebun dan lebih banyak lagi memikul batu
dan pasir.

Tenaganya makin berkurang, ditambah beban pikiran yang membuat
konsentrasinya kadang hilang. Minggu lalu, saat ia memikul sayur dan kasbi
dari hutan, Martha terjatuh.

“Jatuh di kebun, patah tangan kanan. Mama lagi bawa makanan, kasbi, sayur
kelapa,” ujarnya. “*Seng *periksa dokter, *tra *ada uang. Uang buat bawa
ibadah saja *seng* ada. Utang si Joni saja belum habis.” Martha memijati
tangannya sendiri dengan minyak.
*Hukum Besi Pasal Karet*

Johan Teterisa sekarang masih menjalani hukuman di Penjara Batu,
Nusakambangan, Pulau Jawa—berjarak 3.000 kilometer dari Pulau Ambon.. Ia
divonis seumur hidup karena memimpin tarian *Cakalele*—tarian perang
tradisional—dan membentangkan bendera 'Benang Raja', simbol Republik Maluku
Selatan, ketika peringatan Hari Keluarga Nasional di Ambon, Juni 2007.

Teterisa bersama 28 penari lain—kebanyakan dari Aboru—mengekspresikan
pandangan politiknya secara damai di depan hidung Susilo Bambang Yudhoyono
<https://tirto.id/m/susilo-bambang-yudhoyono-fj> di acara tersebut, di
tengah banyak tamu undangan kenegaraan. Yudhoyono murka.

Mereka ditangkap dan disiksa. Pada 2009, sebagian tahanan politik ini
dijauhkan dari keluarga mereka di Ambon dan dipindahkan ke beberapa penjara
di Pulau Jawa termasuk Nusakambangan.

Teterisa mengajukan banding dan hukumannya menjadi 15 tahun penjara. Selain
Teterisa, ada lima tapol lain dari kasus yang sama, yang masih ditahan di
Lapas Kembang Kuning, Nusakambangan.

Mereka adalah dua bersaudara Ruben dan Yohanis Saija (keduanya dihukum 20
tahun dan 17 tahun penjara), serta Romanus Batseran, Jordan Saija, dan John
Marcus—ketiganya dipidana 17 tahun penjara.

Dua tapol lain ditahan di Lapas Porong: Jonathan Riry dan Fredy Akihary,
yang dipidana 15 tahun penjara.

Satu tapol di Lapas Bangkalan, Jawa Timur, adalah Pieter Johanes (15 tahun
penjara), dan dua tapol lain di penjara Ambon: Daniel Malawau (15 tahun
penjara) dan Frans Sinmiasa.

*Baca juga: Nasib Tak Tentu Tapol Papua dan Maluku di Bawah Jokowi
<https://tirto.id/nasib-tak-tentu-tapol-papua-dan-maluku-di-bawah-jokowi-cuLD>*

Sejarahnya, pada 25 April 1950, Chr. R.S. Soumokil memproklamasikan
kemerdekaan Republik Maluku Selatan. Proklamasi ini direspons oleh
pemerintah Jakarta dengan mengirim pasukan dan menggelar operasi militer
dan menekan pemberontakan hingga berhasil ditundukkan pada 1966.

Para pemimpin yang selamat mengungsi ke Belanda dan mendirikan pemerintahan
di pengasingan itu di bawah pimpinan John Wattilete.

*Baca juga:*

*Soumokil: antara Federalis dan Separatis
<https://tirto.id/soumokil-antara-federalis-dan-separatis-cnki>*
*RMS yang Mencoba Bertahan di Negeri Belanda
<https://tirto.id/rms-yang-mencoba-bertahan-di-negeri-belanda-cnkm>*

Dalam skala kecil, sentimen nasionalis Maluku masih hidup hingga kini. Isu
kemerdekaan dan kedaulatan menyelinap di tengah kekerasan komunal antara
penduduk Kristen dan muslim dari Jawa dan Sulawesi pada 1999 hingga 2005.
Ribuan tewas dan puluhan ribu lain mengungsi.

Pada 2010, Alex Manuputty mendirikan Front Kedaulatan Maluku (FKM),
mengklaim bahwa konflik hanya bisa dihentikan jika Maluku meraih
kemerdekaan dan mendirikan republik independen Maluku Selatan. FKM
dibekukan oleh Saleh Latuconsina pada 2001—saat itu gubernur Maluku
(1997-2002).

Pengibaran bendera RMS, terutama saat peringatan 25 April, menjadi metode
utama ekspresi publik ketidaksenangan sebagian masyarakat Maluku terhadap
pemerintahan Indonesia. Banyak tahanan politik Maluku dihukum karena
ekspresi semacam ini. Puncaknya saat ada peringatan kenegaraan pada 29 Juni
2007.

Susilo Bambang Yudhoyono merasa dipermalukan, dan menyerukan “tak ada
toleransi terhadap separatisme."

Pejabat Ambon bereaksi dengan menangkap para penari dan membawanya ke
markas Densus 88 di Tantui, Ambon. Dalam laporan Human Rights Watch
berjudul "Kriminalisasi Aspirasi Politik
<https://www.hrw.org/id/report/2010/06/22/256085>" (Juni 2010), kepolisian
Ambon menangkap sekitar seratusan orang yang diduga terlibat dalam tarian
tersebut. Mereka disiksa habis-habisan dan dipidana antara 5-20 tahun
dengan pasal makar 106 dan 110 KUHP
<https://www.tribunais.tl/files/Codigo_Penal_Indonesio_(Bahasa_Indonesia).pdf>
..

Belakangan, pemerintah Indonesia enggan mengakui orang-orang yang
ditangkap, disiksa, dan dipenjara karena mengekspresikan pandangan
politiknya secara damai—baik dari Maluku maupun Papua
<https://tirto.id/q/papua-bB>—sebagai “tahanan politik” dan menganggap
mereka sebagai narapidana biasa.

Padahal pasal yang dipakai oleh otoritas Indonesia, yang bikin mereka
tersiksa, adalah pasal makar, pasal karet warisan kolonial Belanda. Baik
pasal 106 maupun 110 ini paling banyak dipakai untuk merepresi ekspresi
politik damai.

Yudhoyono juga menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 77/2007, yang mengatur
lambang daerah “tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau ...
separatis.”

Peraturan ini juga kian mempertegas pasal karet tersebut. Belakangan, Juli
2017 lalu, Presiden Joko Widodo <https://tirto.id/m/joko-widodo-g3>
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Ormas, yang kian menaikkan
sentimen anti-pandangan politik lain, yang membuat kritik atas pola-pola
pendekatan pemerintah yang represif dapat dianggap “membahayakan stabilitas
politik dan keamanan negara.”

*Baca juga: **Perppu Ormas Kian Mendiskriminasi Minoritas Agama dan Papua
<https://tirto.id/perppu-ormas-kian-mendiskriminasi-minoritas-agama-dan-papua-csAV>*

Pada awal tahun ini, pasal-pasal karet itu diajukan ke Mahkamah Konstitusi
untuk dikaji ulang, sebab telah melanggar hak paling mendasar dari
Konstitusi Indonesia: kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat.

Johan Teterisa menyebut nasib dirinya dan kawan-kawannya sebagai “tahanan
politik yang dilupakan.”

[image: infografik tapol maluku]



*Nasib Anak-Anak Tapol*

Saya mengingat perjalanan saya setahun lalu, Juni 2016, saat bersama
organisasi nonpemerintah lain mengatur perjalanan keluarga tapol ke
pelbagai Lapas di Pulau Jawa. Semua kunjungan ini resmi dengan izin dari I
Wayan Kusmiantha Dusak <https://tirto.id/m/i-wayan-kusmiantha-dusak-Ce>,
direktur jenderal pemasyarakatan di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia <https://tirto.id/q/kemenkumham-iB>. Kami mengusahakan setiap tapol
dikunjungi dua anggota keluarga. Kami menelepon keluarga mereka di Ambon
dan Aboru.

Mereka rindu setengah mati. Mereka bertemu terakhir kali di Ambon dengan
kondisi anaknya, suaminya, atau ayahnya babak belur disiksa polisi. Mereka
bahkan tak dapat pemberitahuan kalau pohon keluarga mereka dipindah ke
Jawa. Setelah beberapa bulan, mereka baru tahu dari mulut ke mulut.

Mereka ingin bertemu tapi jarak jauh bikin keadaan sulit. Sebagai petani,
perjalanan yang pernah mereka lakukan paling banter ke Ambon. Ongkos
menjadi kendala utama.

Etha Saija, istri Jordan Saija, misalnya, harus menyeberang dengan perahu
motor ke Ambon untuk sampai ke bandara terdekat. Ini perjalanan terjauhnya
dan ia memendam bermacam kecemasan.

Ia tak pernah naik pesawat. Bagaimana ongkos naik perahu ke Ambon?
Bagaimana masuk bandara? Siapa yang menemani di bandara? Apakah ada uang
saku selama di Jawa? Harus bawa oleh-oleh apa? Dan pertanyaan cemas lain.

Beruntung Arens Saija—satu saudara dengan Ruben dan Yohanis—pernah di Jawa.
Ia pernah ditahan di Kedungpane, Semarang, untuk kasus yang sama dengan
pidana 8 tahun penjara. Ia dibebaskan karena sakit keras di penjara.

“Saya disiksa dan hampir mati di tahanan,” kata Arens Saija..

Pengalamannya ke Jawa cukup menenangkan rombongan dari Aboru. Mereka
berangkat pagi-pagi dari rumah lalu disambung perjalanan udara ke Jakarta,
kemudian naik bus menuju Cilacap, perhentian terakhir sebelum menyeberang
ke Nusakambangan.

“Terakhir ketemu muka suami saya … lebam-lebam penuh luka,” tutur Etha
Saija terisak dan memegang kepala putranya, Fredy Saija, usia 12 tahun.

Setahun kemudian, saya mendatangi keluarga-keluarga ini.

Keluarga kesebelas tapol ini tak jauh berbeda dari kondisi Martha Sinay dan
anak-anaknya—istri Johan Teterisa. Mereka hidup dalam kondisi kemiskinan
akut. Tak sedikit dari mereka yang anak-anaknya putus sekolah.

Johana Teterisa, 31 tahun, istri Ruben Saija, punya kesedihannya sendiri.
Suaminya divonis 20 tahun, paling lama di antara tahanan politik kasus
tarian *Cakalele*. “*Beta *langsung pingsan mendengar vonis tersebut,”
tutur Johana.

Pasangan ini baru menikah dua tahun dan baru lahir putri kecil yang manis.
“Pada 2005 menikah, punya anak kecil. Tahun 2007 suami kena tangkap,”
ujarnya.

Yohana Akihary, 65 tahun, Mama Ruben Saija, juga amat terpukul. “Waktu anak
ibu ditangkap, hidup Mama susah. Menangis saja. Mama jadi *pu *pikiran
banyak. Susah. Susah,” tutur Yohana.

Yohana punya tujuh anak dan ini kali kedua anaknya kena tangkap karena
menyuarakan keresahan politis. Anaknya tidak mencuri, anaknya tidak
korupsi, anaknya tidak melakukan kejahatan yang merugikan negara.

Yang paling berat: Yohana menanggung penderitaan bahwa tak cuma satu
anaknya yang kena tangkap. Pada penangkapan pertama, ada lima anaknya;
penangkapan kedua, ada tiga anaknya.

“Yang ditahan pertama masih kuat besuk. Yang kedua *tra* lagi. Kaki *su*
sakit semua,” ujar Yohana, memendam kepedihan.

Yohana tak mampu besuk juga karena penahanan ketiga anaknya dibawa ke Jawa.
Ruben dan Yohanis Saija di Nusakambangan, dan Arens Saija di Lapas
Kedungpane. Selain itu, ia harus merawat cucu-cucunya yang masih balita.

“Saat Ruben dan Arens di penjara, *beta *yang asuh anak-anak mereka,”
ceritanya.

Johana Teterisa, istri Ruben, tahu betul pahitnya ditinggal suami. Sama
seperti istri-istri tapol lain, ia tanam pisang, tanam kasbi, memikul batu
dan pasir sebagai buruh bangunan agar bisa bertahan. Makanan bisa dicari di
kebun tetapi cari duit susah sekali di Aboru, “Setengah mati. Hari-hari
mati cari pekerjaan.”

Setengah mati juga ia mengumpulkan duit buat membelikan susu anaknya. ”Anak
*seng* bisa minum susu. Duit dari mana? Minum teh gula saja.”

Tak tahan dengan kemiskinan, ia berusaha keluar kampung dan pergi ke Kota
Ambon. Anaknya yang masih balita dititipkan mertuanya.

“Ruben ditahan dua tahun di Ambon, lalu dipindah ke Nusakambangan. *Beta*
ke Ambon cari kerja,” cerita Johana, sembari berlinang airmata.

Bermodalkan ijazah SMP, ia mencari kerja di Ambon. Ini bukan perkara
gampang. Susah bagi penduduk umumnya dan lebih susah lagi bagi istri
aktivis. “Bertahun-tahun baru dapat pekerjaan,” kata Johana, “Teman diminta
cari kerja. Enam kali lamar kerja. Rumah makan, toko, *seng *mau.”

Johana akhirnya bekerja di rumah makan di Ambon. Ia bekerja tujuh hari
tanpa henti untuk penghasilan Rp1 juta lebih dikit per bulan. Lebih dari
separuhnya ia pakai untuk sewa tempat tinggal, sisanya dikirim ke kampung.

“Kirim beras, uang buat jajan. Titip orang yang bawa *speedboat*,” jelasnya.

Ia juga tak tentu menengok anaknya di Aboru, paling cepat dua bulan sekali,
kadang tiga bulan sekali. Namun, sejak Desember tahun lalu, ia belum juga
pulang menengok anaknya.

Anaknya, Vike Saija yang waktu ditinggal Ruben berusia setahun, kini sudah
kelas satu SMP. Ia sudah tahu artinya kesepian dan rindu ayah dan ibunya.

“Mama *seng *ada, Papa *seng *ada, Vike sendiri. Sunyi,” kata Vike bila
ditelepon.

Johana tak tahu harus jawab apa. Ia minta anaknya berdoa. “Sembahyang saja,
nanti Papa pulang,” jawab Johana sekenanya.

Yang menyenangkan Johana adalah Vike anak yang pintar; sering dapat ranking
bagus di sekolah. Namun, ia sedih bila mendengar Vike menangis ingat Papa
dan Mamanya.

Vike juga sering sakit perut bagian bawah. Yohana memprediksi karena
putrinya suka jajan sembarangan. Karena tak ada duit, Vike belum dibawa ke
dokter.

“*Su* lama sakit. Sebelum dia besuk ke Nusakambangan itu dia *su* sakit.
Kalau kumat, dia sampai jongkok-jongkok kesakitan,” ujar Mamanya.

Setahun lalu, saat kami mengantar Johana dan Vike bertemu Papanya di
Nusakambangan, Vike tak mengenal Papanya.

“Waktu istri dan anak saya tiba di pintu portir, anak saya melewati saya.
Itu pun saya sengaja: Apakah anak saya masih kenal dengan saya atau tidak?
Ternyata saya dilewati oleh anak saya,” kata Ruben Saija, yang lantas
mendekati Yohanna.

Vike mendekati Mamanya dan bertanya, “Mama, itu Om siapa?”

“Itu Bapa,” jawab Johana. Vike heran dan terkejut dan memandangi Papanya
lama sekali.

Lantas Ruben membuka pembicaraan, “Ini Papa … coba dilihat, muka Papa dan
Vike sama atau tidak?”

Putrinya mengangguk. Seketika Ruben menarik anaknya. Memeluk. Mencium.
Memangkunya.

Vike cepat dekat dan mereka bermain dan mengobrol.

Dua jam waktu besuk—tanpa diberi keistimewaan khusus padahal perjalanan ini
sangat berarti bagi keluarga-keluarga tapol—berlalu begitu cepat. Saat
disuruh pulang, Vike menolak; ia ingin menginap di Nusakambangan bersama
Papanya.

“*Beta mo *tidur *deng *Papa,” rajuk Vike.
*Sampai Kapan Mereka Harus Berpisah?*

Semakin lama Papa mereka ditahan, dan semakin banyak anak-anaknya, kondisi
keluarga yang ditinggalkan pun semakin sulit.

Setidaknya itu yang dialami Yacomina Usmany, istri Fredy Akihary, tapol
Maluku yang hingga kini masih mendekam di Lapas Porong.

Saat ditangkap pada 2007, Fredy meninggalkan enam anak yang masih
kecil-kecil. Dua di antaranya sudah lulus SMP dan tak bisa melanjutkan
studi SMA.

“*Seng* ada uang,” tutur Yacomina, kini 57 tahun. “Mereka dua bantu *beta*
kerja kebun untuk sekolah adik-adiknya.” Empat anak lain masih sekolah.

Meski dibantu dua anaknya bekerja di kebun, kondisi keluarga tak banyak
berubah. Biaya sekolah tiap bulan, sekitar Rp80 ribu, terlalu mahal bagi
keluarga tapol. Anak-anaknya satu per satu berhenti sekolah karena
kesulitan biaya.

“Anak nomor 4, 5, dan 6 *seng* lulus SMP,” ujar Yacomina.

Tanpa pendidikan cukup, tentu mencari kerja formal bertambah sulit.
Ditambah cap buruk terhadap keluarga tapol. Ini kian menyulitkan anak-anak
Akihary untuk dapat pekerjaan.

“Enam-enamnya *seng *kerja. Kalau habis sekolah bisa kerja. Kalau *seng*
habis, *seng* bisa. Sehari-hari cuma kerja kebun semua,” ujar Mama mereka.

Satu harapan Yacomina adalah suaminya segera dipulangkan dan dibebaskan
untuk membantu kehidupannya yang sangat kesusahan. Ini harapan yang sama
dari semua istri tapol Maluku.

“Satu jalan saja. Kasih pulang suami *torang*. Supaya bisa bantu kehidupan
sekarang,” tutur Yacomina.

“Hidup susah. Uang *seng *ada itu kekurangan kita. Karenanya (anak-anak)
kita *seng* bisa sekolah.”


Baca juga artikel terkait KEBEBASAN BERPENDAPAT
<https://tirto.id/q/kebebasan-berpendapat-ciR?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Imam Shofwan
<https://tirto.id/author/imamshofwan?utm_source=internal&utm_medium=topauthor>

(tirto.id - Politik)

Reporter: Imam Shofwan
Penulis: Imam Shofwan

Kirim email ke